Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Labuhan Bajo, Kota Terakhir, Hari-hari Terakhir di Tahun 2016

29 Desember 2016   15:20 Diperbarui: 30 Desember 2016   09:36 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah tiba dilokasi  dan membayar tiket masuk, mulailah perjalanan dengan berjalan kaki dimulai menuju mulut Goa. Di kiri-kanan jalan dipenuhi pohon bambu, hingga berjalan kaki diantaranya, sedikit terasa ringan.

View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
Perjalanan memasuki mulut Goa dimulai dengan menuruni anak tangga, memakai helm dan dibekali senter. Ternyata, senter memang diperlukan, karena gelapnya ruangan di dalam Goa. Entah karena usia tua atau lelahnya perjalanan yang sudah sekian hari dari larantuka, saya merasakan keletihan disertai keringat yang cukup deras mengucur pada seluruh tubuh. Namun, semuanya terbayar lunas ketika menyaksikan stalaktit dan stalagmit  yang berkilau. Sangat disayangkan, semua peristiwa di Goa Batu Cermin tak ada yang terrekam, karena batu kamera LSR saya low batt. Kekonyolan yang harus saya sesali, karena peristiwa ke Goa Batu Cermin, entah kapan akan terulang kembali.

Sekembali dari Goa Batu Cermin saya sengaja beristirahat sambil mencharge batu kamera LSR. Saya tak ingin, kejadian konyol yang baru saya alami akan berulang kembali. Tokh tujuan yang kedua, Bukit Cinta hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di lokasi.

Selesai mengisi baterey LSR, saya melanjutkan perjalanan Bukit Cinta, jaraknya tidak jauh dari kota Labuhan Bajo, hanya saja, untuk mencapai lokasi, jalan yang tersedia, menanjak terus dan berkelok-kelok  hingga lokasi, meski demikian, kondisi jalan cukup baik. Setelah melewati Gereja Salom dan Chez Felix lalu berbelok ke kiri,  tibalah di lokasi Bukit Cinta.

View lain dilihat dari Dermaga Labuhan Bajo (dok. Pribadi)
View lain dilihat dari Dermaga Labuhan Bajo (dok. Pribadi)
Mengapa disebut Bukit Cinta?  Menurut beberapa sumber yang saya tanya. Konon, karena tempatnya yang ketinggian, dari bukit Cinta, kita dapat melihat dengan jelas kondisi kota Bajawa serta pulau-pulau kecil yang mengitarinya, serta kapal dan Perahu yang sedang sandar, dan dari Bukit cinta juga, kita dapat melihat pesawat yang landing dan take off dari Bandara Internasional Komodo Labuhan Bajo.  Maka, ketika malam tiba, sajian view yang terhampar sangat memikat karena ditingkahi lampu yang gemerlap, dan itu dimanfaat oleh muda-mudi sebagai area kencan. Dari kegiatan muda-mudi ini, lahirlah istilah Bukit Cinta.  Wallahu a’laam.

Turun dari Bukit cinta, jam sudah menunjukkan pukul 16 WITA, saya bergegas menuju Pelabuhan penyebrangan untuk menuju Pelabuhan Sape di NTB. “Kapal berangkat jam lima Bapa” demikian keterangan petugas loket penyeberangan. Itu artinya, masih ada waktu untuk mengisi perut dan melihat kondisi pasar tradisional dan pasar kuliner yang terletak bersebelahan dengan Dermaga penyeberangan. Saya terkagum-kagum melihat air laut yang demikian jernih tanpa sampah, sementara disebelahnya ada pasar tradisionil dan pasar kuliner. Untuk soal menjaga kebersihan laut tanpa sampah ini, Labuhan Bajo, layak diacungi jempol.

Selesai mengisi perut, saya kembali menuju ke Dermaga dan segera naik ke kapal penyeberangan. Tepat pukul lima lewat sepuluh, Kapal Cakalang II  meninggalkan Dermaga, membawa saya menuju ke Pelabuhan Sape di NTB. Diperkirakan pada tengah malam sekitar pukul satu Dinihari Kapal Cakalang II akan sandar di Pelabuhan Sape, NTB.

Dan perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua menyusuri daratan Flores pun berakhir.

NB: Seluruh kisah perjalanan menyusuri Pulau Flores ini, saya muat di Kompasiana dan akan dibukukan. Jika  sesuai rencana, pada bulan Januari atau Februari 2017 kelak, akan segera terbit. Mohon do’a seluruh Kompasianer.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun