Setelah tiba dilokasi dan membayar tiket masuk, mulailah perjalanan dengan berjalan kaki dimulai menuju mulut Goa. Di kiri-kanan jalan dipenuhi pohon bambu, hingga berjalan kaki diantaranya, sedikit terasa ringan.
Sekembali dari Goa Batu Cermin saya sengaja beristirahat sambil mencharge batu kamera LSR. Saya tak ingin, kejadian konyol yang baru saya alami akan berulang kembali. Tokh tujuan yang kedua, Bukit Cinta hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di lokasi.
Selesai mengisi baterey LSR, saya melanjutkan perjalanan Bukit Cinta, jaraknya tidak jauh dari kota Labuhan Bajo, hanya saja, untuk mencapai lokasi, jalan yang tersedia, menanjak terus dan berkelok-kelok hingga lokasi, meski demikian, kondisi jalan cukup baik. Setelah melewati Gereja Salom dan Chez Felix lalu berbelok ke kiri, tibalah di lokasi Bukit Cinta.
Turun dari Bukit cinta, jam sudah menunjukkan pukul 16 WITA, saya bergegas menuju Pelabuhan penyebrangan untuk menuju Pelabuhan Sape di NTB. “Kapal berangkat jam lima Bapa” demikian keterangan petugas loket penyeberangan. Itu artinya, masih ada waktu untuk mengisi perut dan melihat kondisi pasar tradisional dan pasar kuliner yang terletak bersebelahan dengan Dermaga penyeberangan. Saya terkagum-kagum melihat air laut yang demikian jernih tanpa sampah, sementara disebelahnya ada pasar tradisionil dan pasar kuliner. Untuk soal menjaga kebersihan laut tanpa sampah ini, Labuhan Bajo, layak diacungi jempol.
Dan perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua menyusuri daratan Flores pun berakhir.
NB: Seluruh kisah perjalanan menyusuri Pulau Flores ini, saya muat di Kompasiana dan akan dibukukan. Jika sesuai rencana, pada bulan Januari atau Februari 2017 kelak, akan segera terbit. Mohon do’a seluruh Kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H