Membicarakan motivator yang tumbang, sebenarnya bukanlah membicarakan sang motivator an sich. Melainkan, membicarakan kita semua. Membicarakan kompasianer secara keseluruhan. Mengapa? Karena, kerja kita –kompasianer- mirip dengan apa yang dilakukan sang motivator. Memberikan pencerahan pada masyarakat –baca pembaca, yang menyimak tulisan kita-
Berangkat dari kejatuhan sang motivator dan rasa “sayang” pada kompasianer, tulisan ini dimaksudkan.
Tak ada makan siang yang gratis, tak ada kejadian yang tak dapat diambil hikmahnya, begitu juga dengan kejatuhan sang motivator. Untuk itu, marilah kita lihat, mengapa sang motivator bisa jatuh? Hal yang sama mungkin saja terjadi pada kita semua. Diantara sebab-sebabnya, antara lain.
Satu, tidak runutnya peristiwa.
Seorang motivator atau penulis, idealnya melakukan kerjanya dengan runutan peristiwa yang benar. Awalnya, dimulai dengan belajar –di sekolah atau belajar pada mereka yang lebih tahu atau membaca- dari pengetahuan yang peroleh, lalu dipraktekan dalam praktek keseharian kita, setelah itu, barulah apa yang kita ketahui layak untuk dimotivasikan pada orang lain. Pada peristiwa kedua –mempraktekan apa yang kita ketahui, jika gagal kita lakukan, maka akan sangat tidak layak untuk kita motivasikan pada khalayak-. Pertimbangannya, saya aja gagal, lalu, apakah saya akan mengajak khalayak lain untuk gagal juga. Ada empati yang mengiringinya, ketika kita putuskan untuk tidak menuliskannya
Dua, satu kata dengan perbuatan.
Berusahalah untuk jujur, menyatukan antara kata dan perbuatan. Point pertama diatas, jika konsekuensi dilakukan, maka otomatis akan terjadi “satu kata dengan perbuatan”. Apa yang kita katakan –tulis- memang sudah kita lakukan. Apa yang kita suruh kerjakan, sudah kita perbuat. Sehingga, ketika audience bertanya, apakah ada contoh tokoh sukses, seperti yang kita katakana –tulis- dengan enteng kita dapat mengatakan. Saya. Lakukan saja apa yang sudah saya katakan atau lakukan, maka kamu akan sampai pada posisi saya sekarang. Ketika pertanyaan audience demikian sulitnya, jujurlah menjawab. Bahwa yang saya perbuat –tulis- tentu tidak sempurna, meski saya sudah berusaha untuk mengarah ke arah sana. Kesempurnaan, hanya milik Allah. Saya berdo’a, semoga anda mampu melakukannya, lebih sempurna dari apa yang telah saya usaha lakukan.
Tiga, teruslah belajar.
Tak ada kata selesai dalam belajar, dalam menulis atau memotivasi, kita perlu selalu harus belajar. Belajar dari kesalahan yang telah dilakukan, belajar dari hal-hal yang belum diketahui, mencoba dari hal-hal yang diketahui, namun belum dilakukan. Learn from the cradle, into the grave, Utlubul 'ilmi minal mahdi ilal lahdi, belajarlah sejak dari buayan hingga ke liang lahat.
Teruslah membaca, menambah ilmu. Ketika penulis –motivator- berhenti belajar, maka tunggu saja kematiannya. Motivasi –tulisan- yang disajikan akan “kering”, out of date. Sehingga tak menarik lagi untuk audience –pembaca-.
Kegagalan untuk terus belajar, merupakan sinyal, sesungguhnya kita bukanlah seorang motivator –penulis-. Melainkan, justrus seorang yang perlu dimotivasi. Benarkah? Pembaca yang lebih tahu, jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H