Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ruteng Pu’u Manggarai di Flores, Satu Nenek dengan Saya

26 September 2016   16:16 Diperbarui: 26 September 2016   21:54 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki Kota Ruteng ada rasa lega. Untuk sementara, perjalanan yang penuh dengan medan berat, naik-turun, dan berliku-liku berakhir sudah. Jam menunjukkan pukul 15.30, masih siang. Kota Ruteng terasa sejuk. Ke mana saya akan pergi? Saya putuskan untuk mengunjungi Ruteng Pu’u. Sebuah kampung yang terletak sekitar lima kilometer dari pusat Kota Ruteng. Tepatnya, lokasi yang ingin saya tuju itu, berada di Kelurahan Golo Dukal. Kecamatan Langke Rembong. Manggarai, NTT.

Mengapa Ruteng Pu’u? Untuk mengetahui budaya suatu daerah, idealnya, ketahui dulu akarnya budayanya. Ruteng Pu’u adalah cikal bakal budaya Ruteng. Itulah alasan kuat mengapa saya perlukan datang ke Ruteng Pu’u.

Untuk tiba di kampung Ruteng Pu’u tidak sulit. Di samping jaraknya yang di pinggir kota dengan jarak sekitar 5 km, akses jalan menuju Ruteng Pu’u juga sangat baik. Dari jalan utama, masuk sekitar 1 km. Pada jalan masuk ini pun kondisinya mulus.

Rumah Gendang, sedang ada acara latihan paduan suara, untuk persiapan menyambut acara adat. (dok.Pribadi)
Rumah Gendang, sedang ada acara latihan paduan suara, untuk persiapan menyambut acara adat. (dok.Pribadi)
Setelah meng"abadi"kan beberapa view di sekitar kampung Ruteng Pu’u, saya mengetuk pintu yang terbuka. Maksudnya, ingin bertanya, sedikit banyak tentang Ruteng Pu’u. Sang pemilik rumah, dengan sangat antusias menyuruh saya masuk. Mempersilakan saya duduk di atas tikar yang dibentangkan, bersandar ke dinding rumah, sedang tuan rumah bersandar pada tiang utama rumah. Belakangan saya tahu, bahwa apa yang saya alami itu, bagian dari cara menyambut tamu yang dihormati. Padahal, awak ini apalah, hanya seorang pengembara yang menyusuri Pulau Flores dengan sepeda motor.

Tak dinyana, saya telah masuk ke rumah kepala suku Ruteng Pu’u. Dan oleh beliau, Bapak Lambertus Dapur, saya diperlakukan sangat baik bak tamu terhormat. Sungguh, sebuah kesan pertama yang mengesankan bagaimana tingginya budaya masyarakat Ruteng.

Setelah saya memperkenalkan diri, Bapak Lambertus Dapur memperkenalkan diri pula. Beliau mengatakan bahwa beliau kepala suku Ruteng Pu’u. –saya terkejut mendengarnya- lalu, beliau juga, mengatakan bahwa suku Ruteng Pu’u, yang merupakan cikal bakal suku Manggarai dengan ibu kota Ruteng itu, nenek moyangnya berasal dari Minangkabau. –sekarang saya bukan hanya terkejut, tetapi terkejut pakai tambahan bingiiit.

Percayakah saya dengan penuturan Lambertus Dapur tentang asal nenek moyang mereka? Belum sepenuhnya percaya. Saya melihat beliau memakai lilitan kepala kebesaran suku Ruteng Pu’u. Saya tanyakan bahwa topi yang beliau pakai sungguh indah. Mendengar pujian saya, Bapak Lambertus Dapur mengoreksi saya bahwa yang beliau pakai bukan topi, melainkan destar. Mendengar teguran Bapak Lambertus Dapur, saya percaya bahwa memang Ruteng Pu’u nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Karena istilah Destar itu adalah bahasa Minangkabau kuno, yang bahkan, orang Minangkabau sekalipun, tidak semuanya mengetahui tentang istilah itu.

Compang yang berbentuk oval ini, dipercaya sebagai tempat dikuburnya pada leluhur, perhatikan pada ujung Compang, ada pohon Haju Kalo -pohon Dadap- (dok. Pribadi)
Compang yang berbentuk oval ini, dipercaya sebagai tempat dikuburnya pada leluhur, perhatikan pada ujung Compang, ada pohon Haju Kalo -pohon Dadap- (dok. Pribadi)
Masih menurut Bapak Lambertus Dapur, nenek moyang mereka nan dari Minangkabau itu, masuk melalui Goa, Sulawesi selatan, lalu menyusur melewati NTB dan akhirnya mendarat di Manggarai Barat. Di Manggarai Barat, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, dengan dipandu oleh Binatang Landak. –itulah sebabnya, kami tidak makan Landak, demikian Lambertus Dapur- perjalanan yang menyusuri punggung pegunungan itu, akhirnya berhenti di daerah yang disebut Ndosor.

Di tempat yang disebut Ndosor itu, rombongan beristirahat cukup lama. Mereka menangkap babi hutan dan membakar hasil tangkapan mereka. Melihat asap yang mengepul, suku asli Manggarai yang berada di bawah datang menemui mereka. Rombongan yang datang dari bawah dijamu oleh kepala suku Nggoang. –Nggoang nama nenek moyang suku Ruteng. Suku yang datang dari bawah ini sungguh terkesan. Hidangan yang mereka makan sungguh terasa nikmat. Rahasianya? Karena masakan itu dibakar. Sesuatu yang belum pernah mereka rasakan selama ini.

Di Depan Rumah Tambor dan diujung Compang, ada pohon Haju Kalo. (dok.Pribadi)
Di Depan Rumah Tambor dan diujung Compang, ada pohon Haju Kalo. (dok.Pribadi)
Sepeninggalnya suku dari bawah, nenek moyang orang Ruteng –Nggoang- keceewa karena api yang mereka gunakan selama ini dicuri oleh mereka yang datang dari bawah. Lalu, mereka menuntut apa yang telah dilakukan oleh suku dari bawah. Akhirnya, dibuatlah kesepakatan bersama sebagai penebusan dosa terhadap apa yang telah dilakukan suku dari bawah itu. Suku yang di bawah menyerahkan tanah yang kini menjadi Kampung Ruteng Pu’u. Demikianlah penuturan Bapak Lambertus Pu’u.

Setelah saya kemukakan bahwa saya juga orang Minangkabau, komunikasi di antara kami semakin cair. Istri Pak Lambertus Dapur, anak perempuan beliau, dan anak lelaki lain semakin terbuka dan akrab.

Di Ruteng Pu’u ini, pernikahan dilakukan antar sesama warga Ruteng Pu’u dan garis keturunan masih didasarkan pada wanita. Demikian juga, pengantin lelaki yang datang ke rumah wanita, bukan wanita yang mengikut ke rumah pengantin lelaki. Demikian penjelasan Lambertus Dapur. Penjelasan yang semakin meyakinkan saya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau.

Coba lihat pada ujung bangunan rumah kami. Di atas itu, masih terdapat tanduk kerbau, khas bangunan Minangkabau. Jelas Bapak Lambertus Dapur ketika saya dan beliau berjalan di luar rumah.

Batun Ndotuk, pada jalan like, dimaksudkan untuk mengikatkan Kuda atau Kerbau. (dok.Pribadi)
Batun Ndotuk, pada jalan like, dimaksudkan untuk mengikatkan Kuda atau Kerbau. (dok.Pribadi)
Pada Kampung Ruteng Pu’u, rumah tradisional yang dihuni oleh Lambertus Dapur dinamakan Rumah Tambor. Sedangkan rumah yang berdiri sebelah rumah beliau bernama Rumah Gendang. Di Rumah Gendang, semua masalah kemasyarakatan dimusyawarahkan. Acara-acara yang menyangkut masyarakat juga dilakukan di Rumah Gendang.

Sore itu, di Rumah Gendang sedang dilakukan latihan paduan suara sebagai persiapan menyambut acara adat yang akan dilakukan Kampung Ruteng Pu’u. Sore itu juga, datang rombongan Pastur dan Suster dari Kota Ruteng untuk melihat sampai mana persiapan paduan suara. Pastor yang datang sore itu juga membenarkan apa yang dikatakan Bapak Lambertus Dapur. Hanya saja, Pastor Herman menyayangkan kurangnya data tahun kejadian yang diceritakan Bapak Lambertus.

Kampung Ruteng Pu’u berbentuk lingkaran oval. Ada halaman lebar yang berada di tengahnya. Di depan rumah itu, ada jalan yang terbuat dari susunan batuan yang disebut dengan Like. Jika kita masuk melewati tengah halaman, kita harus naik ke jalan Like, baru masuk ke rumah. Pada tepian jalan Like, ada batuan yang menonjol lebih tinggi dari jalan like yang berbentuk kapak dan berada pada setiap rumah. Batuan tinggi berbentuk kapak ini disebut Ndotuk, dimaksudkan untuk mengikatkan kuda atau kerbau.

Lambertus Dapur, isteri Lambertus Dapur, Dua suster dari Katedral Ruteng, Putri Lambertus Dapur dan Pastor Herman, di depan Rumah Tambur. (dok.Pribadi)
Lambertus Dapur, isteri Lambertus Dapur, Dua suster dari Katedral Ruteng, Putri Lambertus Dapur dan Pastor Herman, di depan Rumah Tambur. (dok.Pribadi)
Pada halaman tengah, ada tumpukan batuan yang disebut compang. Compang yang berbentuk oval ini dipercaya sebagai tempat dikuburnya pada leluhur dan tetua adat yang sudah meninggal. Untuk setiap kali penguburan, dilakukan upacara adat. Caranya, pihak keluarga harus memotong dua ekor kerbau. Satu kerbau dikorbankan saat penggalian lahat, satu kerbau lagi dipotong pada saat upacara kenduri.

Di muka rumah Tambor, di ujung Compang ada Pohon Haju Kalo (pohon Dadap) yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para arwah leluhur dan sebagai cikal bakal tanah tumpah darah suku Ruteng Pu’u. Tak terasa, waktu Maghrib telah tiba, gelap mulai menyelimuti kampung Ruteng Pu’u, tak ingin mengganggu kenyamanan kediaman Bapak Lambertus Dapur. Saya pun pamitan untuk menuju Kota Ruteng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun