Memasuki Kota Ruteng ada rasa lega. Untuk sementara, perjalanan yang penuh dengan medan berat, naik-turun, dan berliku-liku berakhir sudah. Jam menunjukkan pukul 15.30, masih siang. Kota Ruteng terasa sejuk. Ke mana saya akan pergi? Saya putuskan untuk mengunjungi Ruteng Pu’u. Sebuah kampung yang terletak sekitar lima kilometer dari pusat Kota Ruteng. Tepatnya, lokasi yang ingin saya tuju itu, berada di Kelurahan Golo Dukal. Kecamatan Langke Rembong. Manggarai, NTT.
Mengapa Ruteng Pu’u? Untuk mengetahui budaya suatu daerah, idealnya, ketahui dulu akarnya budayanya. Ruteng Pu’u adalah cikal bakal budaya Ruteng. Itulah alasan kuat mengapa saya perlukan datang ke Ruteng Pu’u.
Untuk tiba di kampung Ruteng Pu’u tidak sulit. Di samping jaraknya yang di pinggir kota dengan jarak sekitar 5 km, akses jalan menuju Ruteng Pu’u juga sangat baik. Dari jalan utama, masuk sekitar 1 km. Pada jalan masuk ini pun kondisinya mulus.
Tak dinyana, saya telah masuk ke rumah kepala suku Ruteng Pu’u. Dan oleh beliau, Bapak Lambertus Dapur, saya diperlakukan sangat baik bak tamu terhormat. Sungguh, sebuah kesan pertama yang mengesankan bagaimana tingginya budaya masyarakat Ruteng.
Setelah saya memperkenalkan diri, Bapak Lambertus Dapur memperkenalkan diri pula. Beliau mengatakan bahwa beliau kepala suku Ruteng Pu’u. –saya terkejut mendengarnya- lalu, beliau juga, mengatakan bahwa suku Ruteng Pu’u, yang merupakan cikal bakal suku Manggarai dengan ibu kota Ruteng itu, nenek moyangnya berasal dari Minangkabau. –sekarang saya bukan hanya terkejut, tetapi terkejut pakai tambahan bingiiit.
Percayakah saya dengan penuturan Lambertus Dapur tentang asal nenek moyang mereka? Belum sepenuhnya percaya. Saya melihat beliau memakai lilitan kepala kebesaran suku Ruteng Pu’u. Saya tanyakan bahwa topi yang beliau pakai sungguh indah. Mendengar pujian saya, Bapak Lambertus Dapur mengoreksi saya bahwa yang beliau pakai bukan topi, melainkan destar. Mendengar teguran Bapak Lambertus Dapur, saya percaya bahwa memang Ruteng Pu’u nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Karena istilah Destar itu adalah bahasa Minangkabau kuno, yang bahkan, orang Minangkabau sekalipun, tidak semuanya mengetahui tentang istilah itu.
Di tempat yang disebut Ndosor itu, rombongan beristirahat cukup lama. Mereka menangkap babi hutan dan membakar hasil tangkapan mereka. Melihat asap yang mengepul, suku asli Manggarai yang berada di bawah datang menemui mereka. Rombongan yang datang dari bawah dijamu oleh kepala suku Nggoang. –Nggoang nama nenek moyang suku Ruteng. Suku yang datang dari bawah ini sungguh terkesan. Hidangan yang mereka makan sungguh terasa nikmat. Rahasianya? Karena masakan itu dibakar. Sesuatu yang belum pernah mereka rasakan selama ini.
Setelah saya kemukakan bahwa saya juga orang Minangkabau, komunikasi di antara kami semakin cair. Istri Pak Lambertus Dapur, anak perempuan beliau, dan anak lelaki lain semakin terbuka dan akrab.
Di Ruteng Pu’u ini, pernikahan dilakukan antar sesama warga Ruteng Pu’u dan garis keturunan masih didasarkan pada wanita. Demikian juga, pengantin lelaki yang datang ke rumah wanita, bukan wanita yang mengikut ke rumah pengantin lelaki. Demikian penjelasan Lambertus Dapur. Penjelasan yang semakin meyakinkan saya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau.
Coba lihat pada ujung bangunan rumah kami. Di atas itu, masih terdapat tanduk kerbau, khas bangunan Minangkabau. Jelas Bapak Lambertus Dapur ketika saya dan beliau berjalan di luar rumah.
Sore itu, di Rumah Gendang sedang dilakukan latihan paduan suara sebagai persiapan menyambut acara adat yang akan dilakukan Kampung Ruteng Pu’u. Sore itu juga, datang rombongan Pastur dan Suster dari Kota Ruteng untuk melihat sampai mana persiapan paduan suara. Pastor yang datang sore itu juga membenarkan apa yang dikatakan Bapak Lambertus Dapur. Hanya saja, Pastor Herman menyayangkan kurangnya data tahun kejadian yang diceritakan Bapak Lambertus.
Kampung Ruteng Pu’u berbentuk lingkaran oval. Ada halaman lebar yang berada di tengahnya. Di depan rumah itu, ada jalan yang terbuat dari susunan batuan yang disebut dengan Like. Jika kita masuk melewati tengah halaman, kita harus naik ke jalan Like, baru masuk ke rumah. Pada tepian jalan Like, ada batuan yang menonjol lebih tinggi dari jalan like yang berbentuk kapak dan berada pada setiap rumah. Batuan tinggi berbentuk kapak ini disebut Ndotuk, dimaksudkan untuk mengikatkan kuda atau kerbau.
Di muka rumah Tambor, di ujung Compang ada Pohon Haju Kalo (pohon Dadap) yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para arwah leluhur dan sebagai cikal bakal tanah tumpah darah suku Ruteng Pu’u. Tak terasa, waktu Maghrib telah tiba, gelap mulai menyelimuti kampung Ruteng Pu’u, tak ingin mengganggu kenyamanan kediaman Bapak Lambertus Dapur. Saya pun pamitan untuk menuju Kota Ruteng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H