Sepulangnya kedua tamu, setelah larut malam itu. Bapak menyuruh saya untuk membuka laci meja, yang selama ini saya gunakan untuk belajar. Memang laci meja itu, selama ini, kuncinya di pegang oleh Bapak. Sehingga saya tidak tahu persis apa yang tersimpan di dalam meja itu.
Malam itu, saya tahu, bahwa di dalam meja yang selama ini saya gunakan untuk belajar, tersimpan rahasia besar. Di laci meja itu, tersimpan naskah-naskah tulisan drama Tonil Kelimutu yang diketik Bapak, baju-baju pakaian yang dipakai pada drama Tonil kelimutu dan spanduk-spanduk Drama Kelimutu. Bapak berkata, bahwa benda-benda bersejarah itu, sudah tidak aman lagi. Mereka yang datang tadi, menghendaki barang-barang bersejarah itu, untuk diberikan pada mereka. Demikian kata Pak Ibrahim pada Yusuf.
Akhirnya, pada bulan Mei 1963 Pak Ibrahim bersama seorang rekannya, Bapak Molonggoro berlayar ke Jakarta dengan menumpang Kapal Laut “Stella Maris”. Maksudnya jelas. Menyelamatkan benda bersejarah yang selama ini diamanatkan padanya, dengan cara mengembalikan benda-benda itu, pada pemilik syahnya, Bung Karno.
Namun, kenyataan yang dihadapi Pak Ibrahim dan Molonggoro tidak semudah yang mereka bayangkan. Bung Karno, tidak mudah untuk mereka temui. Beberapa orang yang dianggap dekat dengan Bung Karno, seperti Frans Seda dan Ir. Soeratman telah mereka hubungi. Namun, upaya untuk bertemu dengan Bung Karno, masih menemui jalan buntu. Selama penantian antara 1963 – 1965. Pak Ibrahim dan Molonggoro tinggal di Rawa Badak. Tanjung Priok. Jakarta Utara.
Pada Akhir Maret 1965 di Jakarta, diadakan hari jadi Partai Nasional Indonesia, yang ditandai dengan kongress PNI. Berbagai utusan datang ke Ibu kota. Suasana “Politik” di Jakarta ketika itu, sedang panas. Beberapa Partai mengadakan demo di lapangan Monas. Melihat kondisi ini, Pak Ibrahim dan kawan-kawan ikut berdemo. Berbeda dengan para demonstran lain, pak Ibrahim dan kawan-kawan tidak membentangkan tuntutan. Melainkan mengibarkan Spanduk-spanduk pertunjukan Tonil Kelimutu yang mereka bawa dari Ende.
Ketika oleh pihak yang berwajib, para demonstran diminta untuk mengakhiri demo, mereka segera membubarkan diri, kecuali Pak Ibrahim dan Kawan-kawan. Hingga akhirnya pasukan Cakrabirawa menemui pak Ibrahim. Pak Ibrahim hanya mau membubarkan diri, jika spanduk-spanduk Tonil Kelimutu sudah lapuk dimakan usia. Selama spanduk-spanduk masih berkibar, mereka akan tetap bertahan.
Rupanya, peristiwa itu, diketahui oleh Bung Karno. Akhirnya, dijanjikan bahwa pak Ibrahim akan ditemui oleh BK. Untuk sementara, mereka diminta untuk mendaftarkan diri sebagai peserta kongress PNI. Kebetulan pak Ibrahim dkk masih menyimpan kartu anggota PNI. Jadilah pak Ibrahim dkk menjadi anggota kehormatan congress. Untuk menghormati Pak Ibrahim dkk, mereka ditempatkan di Hotel Indonesia dengan segala fasilitasnya, sementara menunggu tersedianya waktu BK untuk menemui mereka.
Pada tanggal 2 April 1965 pak Ibrahim dkk diterima Bung Karno di Istana Negara. Pada kesempatan itu, Bung Karno menyatakan dengan tegas, bahwa semua benda bersejarah yang dibawa oleh pak Ibrahim dkk adalah milik masyarakat Ende. Oleh karenanya, benda-benda bersejarah itu, harus dibawa kembali ke Ende.
Beberapa tahun berselang, ketika pak Ibrahim telah wafat. Bupati Ende ketika itu. Drs. Hy Gadijo berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh benda-benda bersejarah yang ada kaitannya dengan Bung Karno. Termasuk naskah-naskah Tonil Kelimutu berserta kelengkapannya.
Maka dikumpulkanlah seluruh sisa-sisa pasukan Tonil Kelimutu yang masih hidup di Rumah bapak Ibrahim Roja. (Ibrahim Roja, berbeda dengan Ibrahim H. Umarsyah). Pada seluruh mereka yang hadir diminta untuk bercerita tentang Soekarno semasa di Ende.