Malam sebelumnya, ketika di Maumere seorang sahabat berpesan, jika jadi mengunjungi Larantuka, jangan lupa mengunjungi Kapela Tuan Ma. Saya hanya mengangguk, tidak mengiayakan juga tidak membantah, saya pikir, bagaimana nanti saja.
Siang itu, ketika memasuki gerbang kota Larantuka, saya langsung disuguhi patung selamat datang, seorang suci Reinha Rosari. Belum terjawab pertanyaan siapa gerangan Reinha Rosari? Tiba-tiba mata ini disuguhi, panduan kunjungan yang seluruhnya beraroma agama.
Plank Nama itu bertuliskan acara yang patut dikunjung. Al,;
1.Miscericordia Chapel
2.Tuan Ma Chapel
3.Larantuka King’s Place
4.Tuan Ana Chapel
5.Reinha Rosaria Chatedral
6.Museum of Bishop Gabriel Manek
7.Tuan Meninu Chapel.
Saya tersentak, Tuan Ma menempati urutan kedua dari panduan tempat yang direferensikan untuk dikunjungi. Siapakah Tuan Ma? Dari namanya, terkesan jika Tuan Ma seorang Tionghoa. Apa pula peran seorang Tionghoa dalam perkembangan agama Khatolik di Larantuka, sehingga nama Kapela diatas namakan dengan nama beliau, dan fantastiknya, menjadi agenda untuk dikunjungi.
Selepas mengabadikan keuskupan Larantuka, segera saya bertemu dengan plank Nama Tuan Ma, saya pun mengikuti petunjuk arah yang terpasang di tepi jalan Don Lorenzo itu. Sayangnya, tempat yang dimaksud tidak saya temui, sebagai gantinya, saya disuguhi sebuah Taman Mater Delarosa. Taman dimana ada Patung Bunda Maria sedang memangku lelaki dalam kondisi lemah, sementara pada bagian-bagian kecilnya, ada semacam diorama tentang perjalanan kehidupan sekitar Bunda Maria. Dari kunjungan pada Taman yang diresmikan oleh Gubernur NTT Herman Musakabe pada tanggal 15 April 1995 itu, malah menyisakan pertanyaan. Apakah arti Mater itu? Apa pula arti Dolorosa?
Tak ingin membuang waktu, saya kembali menuju jalan Don Lorenzo, kali ini, kembali ada plank menunjuk sejajar arah dengan petunjuk arah kapela Tuan Ma. Namun, kata-katanya, sungguh menarik, Istana Raja Larantuka. Saya kembali menapaki arah jalan sesuai petunjuk. Sasaran yang saya cari berhasil. Sebuah Istana. Namun sayang, Istana yang dimaksud kosong. Tak ada keterangan yang didapatkan, hanya beberapa view dari Istana dapat saya koleksi. Selebihnya nihil.
Kembali lagi ke jalan semula, jam telah menunjukkan pukul dua siang, agaknya perut sudah tak mau lagi kompromi, akhirnya, diujung jalan Don Lorenzo, saya menemukan warung Padang. Tak ada keterangan yang dapat diperoleh dari Pemilik Rumah Makan kecuali dia sudah berada selama tiga puluh tahun di Larantuka.
Selesai makan, baru saja kendaraan melaju, saya menangkap sebuah Gereja cukup besar, reflex saya memasuki halamannya, mengambil beberapa view di halaman Gereja besar tanpa nama itu. Tiba-tiba dari Rumah sebelah Gereja, yang kelak saya ketahui sebagai Asrama pastor, keluar lelaki setengah baya, yang saya kira seorang Pastor. Menurut keterangan Pastor yang saya temui, nama Gereja itu Katedral Reinha Rosaria. Tak dinyana, apa yang saya cari bertemu tanpa sengaja.
Tujuh lokasi yang direperensikan sudah saya kunjungi, sementara siapa Tuan Ma, masih belum terjawab. Untuk alasan itulah, kembali saya menuju rumah beratap ilalang, untuk kembali mencari jawaban akan pertanyaan yang masih menggantung itu. Semoga saja, sang pemilik rumah sudah kembali.
Alhamdulillah, sang pemilik rumah atap ilalang, berhasil saya temui, meski harus menunggu cukup lama. Sosok yang saya tunggu itu, ternyata lelaki setengah Umur dengan wajah bersahabat, dengan tutur kata hangat, yang bernama wilhelmus Resiona. Biasa dipanggil dengan Om Wimpi. Om Wimpi, menurut penuturan beliau, adalah generasi ke 19 dari Pemuda Resiona yang nanti akan saya ceritakan, siapa pemuda ini.
Ternyata, arti Tuan Ma, jauh panggang dari api, sebagaimana perkiraan awal saya. Tuan Ma, berasal dari kata Ema, yang dalam bahasa lamaholot, bahasa tua Larantuka, memiliki arti wanita terhormat dan wanita baik-baik. Akhirnya, lahirlah sebutan sebagai Bunda Maria…. Lalu, sesuai perkembangan lidah Larantuka, akhirnya berubah menjadi Tuan Ma.
Ada banyak versi yang menceritakan bagaimana Tuan Ma hingga tiba di Larantuka, mulai versi yang sangat memuja-muja hingga meninggalkan nalar sehat, hingga versi yang sesuai akal sehat.
Diantara versi yang memuja yang berlebihan itu, menyatakan bahwa pada zaman dulu, ada seorang nelayan muda yang sedang melaut mencari ikan. Nama sang nelayan, Resiona. Di Tengah laut, dalam gelap malam ditingkahi sinar rembulan, tiba-tiba dari dalam laut muncul sesosok wanita yang sangat cantik, penuh pesona dan memiliki charisma luar biasa. Sadar bahwa hal demikian tidak mungkin, nelayan muda ini terkejut luar biasa, hingga akhirnya jatuh pingsan. Ketika sadar, sang nelayan sudah berada di tepi pantai, disebelahnya tergolek sebuah patung wanita, yang dipercaya sang nelayan muda Resiona, sebagai perwujudan dari sosok wanita yang ditemuinya di tengah laut itu.
Hingga akhirnya, ketika Portugis membawa agama Khatolik ke Larantuka, masyarakat sadar bahwa patung wanita mulia yang selama ini mereka sanjung dan hormati, ternyata patung Bunda Maria atau Tuan Ma.
Selanjutnya, sebagaimana cerita diatas, patung yang diterima Resiona diletakkan pada tempat yang sudah diceritakan diatas. Orang kafir (istilah om Wimpi sebelum kedatangan agama Khatolik), begitu memuja sang patung dengan segala macam sesembahannya. Patung yang menurut mereka mendatangkan segala kebaikan dan menghalangi segala kejahatan.
Hingga, ketika Portugis datang, Portugis merasa terkejut, bahwa Patung yang penduduk larantuka puja-puja selama ini ternyata Bunda Maria. Portugis meluruskan kepercayaan yang selama ini salah menjadi benar, sesuai ajaran Khatolik.
Sejak Agama Katholik menjadi agama resmi kerajaan Larantuka, yang ditandai dengan dibaptisnya Raja Ola Adobala pada tahun 1665 dengan nama Don Francisco Ola Adobala Dias Vieira de Godinho. Lalu, memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari. Sejak itulah prosesi jalan salib rutin dilakukan.
Upacara Prosesi jalan salib itu sendiri, dimulai dari dengan upacara peribadatan di Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana. Selanjutnya menghantar Tuan Ma dan Tuan Ana ke Katedral Reinha Rosari, dari Katedral Reinha Rosari, lalu dibawa keliling kota hingga berakhir dini hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H