Selepas mengabadikan keuskupan Larantuka, segera saya bertemu dengan plank Nama Tuan Ma, saya pun mengikuti petunjuk arah yang terpasang di tepi jalan Don Lorenzo itu. Sayangnya, tempat yang dimaksud tidak saya temui, sebagai gantinya, saya disuguhi sebuah Taman Mater Delarosa. Taman dimana ada Patung Bunda Maria sedang memangku lelaki dalam kondisi lemah, sementara pada bagian-bagian kecilnya, ada semacam diorama tentang perjalanan kehidupan sekitar Bunda Maria. Dari kunjungan pada Taman yang diresmikan oleh Gubernur NTT Herman Musakabe pada tanggal 15 April 1995 itu, malah menyisakan pertanyaan. Apakah arti Mater itu? Apa pula arti Dolorosa?
Tak ingin membuang waktu, saya kembali menuju jalan Don Lorenzo, kali ini, kembali ada plank menunjuk sejajar arah dengan petunjuk arah kapela Tuan Ma. Namun, kata-katanya, sungguh menarik, Istana Raja Larantuka. Saya kembali menapaki arah jalan sesuai petunjuk. Sasaran yang saya cari berhasil. Sebuah Istana. Namun sayang, Istana yang dimaksud kosong. Tak ada keterangan yang didapatkan, hanya beberapa view dari Istana dapat saya koleksi. Selebihnya nihil.
Kembali lagi ke jalan semula, jam telah menunjukkan pukul dua siang, agaknya perut sudah tak mau lagi kompromi, akhirnya, diujung jalan Don Lorenzo, saya menemukan warung Padang. Tak ada keterangan yang dapat diperoleh dari Pemilik Rumah Makan kecuali dia sudah berada selama tiga puluh tahun di Larantuka.
Selesai makan, baru saja kendaraan melaju, saya menangkap sebuah Gereja cukup besar, reflex saya memasuki halamannya, mengambil beberapa view di halaman Gereja besar tanpa nama itu. Tiba-tiba dari Rumah sebelah Gereja, yang kelak saya ketahui sebagai Asrama pastor, keluar lelaki setengah baya, yang saya kira seorang Pastor. Menurut keterangan Pastor yang saya temui, nama Gereja itu Katedral Reinha Rosaria. Tak dinyana, apa yang saya cari bertemu tanpa sengaja.
Tujuh lokasi yang direperensikan sudah saya kunjungi, sementara siapa Tuan Ma, masih belum terjawab. Untuk alasan itulah, kembali saya menuju rumah beratap ilalang, untuk kembali mencari jawaban akan pertanyaan yang masih menggantung itu. Semoga saja, sang pemilik rumah sudah kembali.
Alhamdulillah, sang pemilik rumah atap ilalang, berhasil saya temui, meski harus menunggu cukup lama. Sosok yang saya tunggu itu, ternyata lelaki setengah Umur dengan wajah bersahabat, dengan tutur kata hangat, yang bernama wilhelmus Resiona. Biasa dipanggil dengan Om Wimpi. Om Wimpi, menurut penuturan beliau, adalah generasi ke 19 dari Pemuda Resiona yang nanti akan saya ceritakan, siapa pemuda ini.
Ternyata, arti Tuan Ma, jauh panggang dari api, sebagaimana perkiraan awal saya. Tuan Ma, berasal dari kata Ema, yang dalam bahasa lamaholot, bahasa tua Larantuka, memiliki arti wanita terhormat dan wanita baik-baik. Akhirnya, lahirlah sebutan sebagai Bunda Maria…. Lalu, sesuai perkembangan lidah Larantuka, akhirnya berubah menjadi Tuan Ma.