Selesai dengan kegiatan di Seminari Mataloko, perjalanan diteruskan ke Bajawa. Tidak membutuhkan banyak waktu, akhirnya urusan di Bajawa selesai.
Waktu baru menunjukkan pukul satu siang. Lalu kemana selanjutnya? pilihan akhirnya jatuh, pada kampung Bena. Sebuah perkampungan Megalitikum yang terletak sekitar 19 km selatan Bajawa. Tepatnya berada di desa Tiwuiwu, kecamatan Aimere, kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Ada dua pilihan jalan, satu jalan yang tidak begitu berliku, namun ruas jalannya sangat sempit, sehingga jika berpapasan dengan mobil yang lain, akan membuat jantung berdegub kencang, tersebab di kiri-kanan jalan, jurang terjal yang landasannya gelap tidak terlihat. Sementara pilihan kedua, agak jauh dengan jalan berliku dan tikungan tajam, dengan kontur naik turun, tetapi ruas jalannya cukup lebar. Ketika kami, tanyakan pada beberapa pemuda yang bertemu di pinggir jalan, mereka menyebut jalan berliku naik turun itu sebagai “jalan Gajah”.
Kondisi jalan menuju kampung Bena, perlu diberikan acungan jempol pada Pemda Ngada, jalan yang menurun dan menanjak tajam dengan belokan yang patah-patah itu, kondisinya begitu mulus.
Setengah jam kemudian, tibalah kami di kampung Bena. Waktu seakan berhenti di kampung Bena, kami seakan keluar dari ujung time tunel lalu berakhir ke zaman Megalitikum. Sebuah perkampungan kuno yang masih dihuni masyarakat dengan bahasa yang kami mengerti. Hanya bedanya, bentuk rumah dan adat istiadatnya masih berada pada zaman Megalitikum.
Kuburan-kuburan yang masih tetap dipelihara dan dirawat, jelas terlihat sisa pembakaran lilin, sebagai bukti mereka mengadakan kebaktian di sana. Di antara beberapa kuburan, ada batu-batu berlempeng tipis dan panjang serta tajam yang terhunjam ke dalam tanah dan menjulang keatas, membentuk semacam kurungan. Dipercaya, di antara kurungan batu itulah letak mayat dikuburkan. Beberapa di antaranya juga, ada yang pada ujung batu sisi atas diletakkan lempengan batu, sehingga membentuk semacam meja.
Rangkaian batu pekuburan itulah yang dinamakan megalitikum. Zaman batu besar.
Seorang pengunjung, yang berasal dari Mbay menceritakan pada saya, bahwa orang Bena menganut system kekerabatan mathrialchat. Garis keturunan dari Ibu.
Ketika memasuki kampung Bena, saya diminta untuk mengisi buku tamu. Tak ada tarif resmi yang harus dibayarkan. Hanya saja, penerima tamu yang menunggu buku tamu, meminta saya untuk memberikan sumbangan suka rela ke dalam kotak yang tersedia.
Hampir pada setiap rumah yang saya datangi, ada rangkaian untaian kepala Kerbau beserta tanduknya yang digantung, juga pajangan rahang dan taring Babi. Sebagai lambang status social, jumlah hewan yang dikorbankan saat upacara adat.
Makin ke selatan kita harus melewati undakan-undakan batu, hingga diujung paling selatan kampung Bena, akan tibai pada ujung tertinggi dan di bawahnya jurang yang cukup terjal. Melihat kondisi demikan. Saya membayangkan, kampung Bena, adalah bak sebuah perahu besar yang terdampar di punggung Gunung Inerie.
Sore itu, ketika saya hendak meninggalkan kampung Bena, saya berjumpa dengan sekelompok rohaniawan yang baru tiba, saya memperkirakan akan ada semacam missa yang akan berlangsung di kampung Bena.
Sebuah harmoniisasi, antara adat istiadat dan tradisi nenek moyang dapat berjalan harmonis dengan agama telah terjadi. Paling tidak, saya telah melihatnya sore itu di Kampung Bena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H