Oki Setiana (sumber gambar Bintang)
Beberapa waktu lalu, marak tulisan tentang Ustadzah Oki Setiana. Ada tulisan, menganjurkan untuk memboikot sang Ustadzah, dengan alasan Oki Setiana belum fasih melafalkan al-Qur’an dan Hadist, memamerkan gaya hedonis dan minta fasilitas berlebih setiap ceramah serta melakukan plagiat. Benarkah semua tuduhan yang diarahkan pada Oki itu benar?
Tulisan ini, tidak dimaksudkan untuk menjawab semua pertanyaan diatas. Sudah banyak tulisan yang membahas masalah itu. Saya hanya ingin fokus, membicarakan apa sebenarnya makhluk yang bernama Ustadz dan Ustadzah itu.
Istilah Ustadz dan Ustadzah adalah perkembangan istilah dari kata ustaz, yang berarti pendidik atau Guru. Sampai sini, kita tidak mempermasalahkan istilah Ustadz atau ustdzah. Kata Ustadz dimaksudkan untuk pendidik/Guru pria, sedangkan pendidik/Guru wanita disebut Ustadzah.
Pertanyaannya, jika kata Ustadz/Ustadzah berarti Guru, mengapa kata itu, tak pernah diganti saja dengan istilah Guru? Paling tidak, ketika kita melihat seorang penceramah menyampaikan ceramahnya, istilah Ustadz/Ustadzah, selalu saja digunakan.
Memang ada perbedaan mendasar antara Guru dengan Ustadz/Ustadzah. Perbedaan itu antara lain, sebagai berikut:
Satu, Ustadz/Ustadzah adalah mereka yang mengajarkan keilmuan tentang agama, dalam hal ini, Islam. Salah satu syaratnya, Ustadz/Ustadzah haruslah mampu melafadzkan bacaan al-Qur’an dan Hadist dengan fasih, minimal dengan dialek Qureish, dialeg yang paling dasar dalam pembacaan al-Qur’an dan Hadist. Untuk mampu melafadzkan dengan fasih, mereka paling tidak, harus mengerti dan menguasai tajwid (cara melafadzkan) dengan benar.
Dua, Seorang Guru boleh saja memiliki segudang ilmu, lalu, dengan ilmu yang dimilikinya, seorang Guru langsung menularkan keilmuan yang dimiliki pada murid atau mahasiswanya. Tetapi, tidaklah demikian dengan seorang Ustadz/Ustadzah. Disamping memiliki keilmuan,, Seorang Ustadz/Ustadzah, haruslah mempraktekan apa yang telah mereka ketahui itu, dalam hidup kesehariannya. Lalu, setelah apa yang mereka praktekan dalam kehidupan keseharian itu, menjadi prilaku kesehariannya. Barulah, sang Ustadz/Ustadzah mengajarkan pada muridnya atau mahasiswanya.
Inilah maksud salah satu tafsir surat As-Shaff 2-3. “wahai orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan”.
Jadi, prinsip pengajaran yang dilakukan oleh Ustadz/Ustadzah adalah bukan teoritis an sich, melainkan, menceritakan apa yang telah mereka lakukan, sesuai dengan teori yang diajarkan oleh agama. Bukan sekedar transfer ilmu, melainkan juga transfer praktek lapangan.
Tiga, Tujuan akhir dalam pengajaran ilmu keislaman, bukan hanya memenuhi memori otak dengan berbagai ilmu semata. Melainkan, merubah perilaku peserta didik keilmuan Islam, agar dapat berprilaku dan berpikir sesuai dengan teori ilmu yang dimilikinya. Makin banyak ilmu yang dimiliki, mestinya makin “beretika” sang pemilik ilmu. Penambahan pengetahuan keislaman berbanding lurus dengan perilaku yang sesuai dengan keilmuan yang mereka miliki.
Empat, Islam itu, prinsipnya Rahmatan lil Alamien. Artinya, rahmat untuk semesta alam, bukan hanya untuk manusia, tak peduli apa ras, agama dan kebangsaan, juga rahmat untuk hewan, apapun jenisnya, apakah hewan jinak atau buas, besar atau kecil. Tetapi untuk semesta alam, tempat keberlangsungan kehidupannya seluruh makhluk. Jika pada kenyataannya, apa yang diajarkan oleh Ustadz/Ustadzah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar itu. Maka, perlu dipertanyakan wawasan keilmuan sang Ustadz/Ustadzah.
Lima, Dalam penyampaian materi, idealnya menggunakan ilmu metodik-didaktik, prinsipnya, pesan yang ingin disampaikan oleh Ustadz/ Ustadzah sampai pada audience. Salah satu caranyai, menjaga agar audience tetap memiliki kesadaran penuh, tidak terlena dengan kantuk yang datang. Untuk itulah, beberapa Ustadz/Ustadzah, menggunakan metode, dengan cara melakukan sedikit “guyonan”. Tujuannya, hanya pelepas kantuk. Tetapi, ada yang kebablasan dalam melakukan metode tersebut. Hingga, guyonan menjadi dominan dan penyampaian materi hanya sampingan. Akibatnya, tuntunan yang awalnya menjadi tujuan berubah menjadi tontonan yang dominan.
Enam, dalam menyampaikan materi keilmuan, seorang Ustadz/Ustadzah tidak menitik beratkan berapa nominal yang akan mereka terima dari kegiatan itu. Uang lelah, uang narasumber atau apapun itu namanya, sifatnya hanya sebagai uang tanda cinta audience pada sang Ustadz/Ustadzah. Bukan sesuatu yang menjadi tujuan bagi seorang Ustadz/Ustadzah. Itu sebabnya seorang Ustadz/Ustadzah umumnya memiliki sumber penghasilan lain di luar kegiatannya menyampaikan keilmuan Islam. AR Fakhruddin sebagai ketua Muhammadiyah misalnya, berjualan eceran bensin untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Abu Bakar memenuhi kebutuhan keluarganya dengan berniaga.
Dari keenam ciri-ciri Ustadz/Ustadzah diatas, apakah kita temui pada mereka yang kita sebut sebagai Ustadz/ Ustadzah? Jika tidak, maka gelar ke-Ustadz/Ustadzah-an mereka patut kita pertanyakan.
Bisa juga, kesalahan itu berada pada kita semua. Kita begitu mudah menyebut mereka yang dapat membaca satu dua ayat sebagai Ustadz/ustadzah. Kita begitu mudah terpesona dengan tampilan fisik mereka, terpesona kemampuan mereka memberikan guyonan pada setiap ceramah mereka, terpesona apa yang mereka gunakan, terpesona pada keartisan mereka atau terpesona dengan latar belakang kehidupan mereka.
Sehingga dengan segala “pesona” yang kita ciptakan untuk seorang Ustadz/Ustadzah. Akhirnya menjebak mereka untuk melakukan pemenuhan dari semua sayarat yang kita buat itiu. Sehingga, mereka patut disebut sebagai Ustadz/Ustadzah.
Jadi, masalahnya, pada mereka atau pada kita? Wallahu a’laam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H