Empat, Islam itu, prinsipnya Rahmatan lil Alamien. Artinya, rahmat untuk semesta alam, bukan hanya untuk manusia, tak peduli apa ras, agama dan kebangsaan, juga rahmat untuk hewan, apapun jenisnya, apakah hewan jinak atau buas, besar atau kecil. Tetapi untuk semesta alam, tempat keberlangsungan kehidupannya seluruh makhluk. Jika pada kenyataannya, apa yang diajarkan oleh Ustadz/Ustadzah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar itu. Maka, perlu dipertanyakan wawasan keilmuan sang Ustadz/Ustadzah.
Lima, Dalam penyampaian materi, idealnya menggunakan ilmu metodik-didaktik, prinsipnya, pesan yang ingin disampaikan oleh Ustadz/ Ustadzah sampai pada audience. Salah satu caranyai, menjaga agar audience tetap memiliki kesadaran penuh, tidak terlena dengan kantuk yang datang. Untuk itulah, beberapa Ustadz/Ustadzah, menggunakan metode, dengan cara melakukan sedikit “guyonan”. Tujuannya, hanya pelepas kantuk. Tetapi, ada yang kebablasan dalam melakukan metode tersebut. Hingga, guyonan menjadi dominan dan penyampaian materi hanya sampingan. Akibatnya, tuntunan yang awalnya menjadi tujuan berubah menjadi tontonan yang dominan.
Enam, dalam menyampaikan materi keilmuan, seorang Ustadz/Ustadzah tidak menitik beratkan berapa nominal yang akan mereka terima dari kegiatan itu. Uang lelah, uang narasumber atau apapun itu namanya, sifatnya hanya sebagai uang tanda cinta audience pada sang Ustadz/Ustadzah. Bukan sesuatu yang menjadi tujuan bagi seorang Ustadz/Ustadzah. Itu sebabnya seorang Ustadz/Ustadzah umumnya memiliki sumber penghasilan lain di luar kegiatannya menyampaikan keilmuan Islam. AR Fakhruddin sebagai ketua Muhammadiyah misalnya, berjualan eceran bensin untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Abu Bakar memenuhi kebutuhan keluarganya dengan berniaga.
Dari keenam ciri-ciri Ustadz/Ustadzah diatas, apakah kita temui pada mereka yang kita sebut sebagai Ustadz/ Ustadzah? Jika tidak, maka gelar ke-Ustadz/Ustadzah-an mereka patut kita pertanyakan.
Bisa juga, kesalahan itu berada pada kita semua. Kita begitu mudah menyebut mereka yang dapat membaca satu dua ayat sebagai Ustadz/ustadzah. Kita begitu mudah terpesona dengan tampilan fisik mereka, terpesona kemampuan mereka memberikan guyonan pada setiap ceramah mereka, terpesona apa yang mereka gunakan, terpesona pada keartisan mereka atau terpesona dengan latar belakang kehidupan mereka.
Sehingga dengan segala “pesona” yang kita ciptakan untuk seorang Ustadz/Ustadzah. Akhirnya menjebak mereka untuk melakukan pemenuhan dari semua sayarat yang kita buat itiu. Sehingga, mereka patut disebut sebagai Ustadz/Ustadzah.
Jadi, masalahnya, pada mereka atau pada kita? Wallahu a’laam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H