Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Guru OCD

26 Januari 2016   00:23 Diperbarui: 26 Januari 2016   00:43 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Seperti burung Onta Sembunyi (sumber gambar disini)"][/caption]Selalu saja, ruang pemeriksaan pada bagian kriminal tindak pidana, dianggap, sebagai ruang yang menakutkan. Di balik meja, di depan tersangka, ada Polisi yang bertanya, dibalik layar monitor. Semua pertanyaan dan jawaban, langsung diketik. Pertanyaan yang diajukan, selalu, berulang-ulang. Ketika jawaban yang di berikan berubah-ubah, akan ada Polisi lain, yang akan mengingatkan, atau bisa juga marah. Pesakitan akan grogi. Sangat melelahkan.

Tapi, untuk kasus yang satu ini, tidak ada polisi yang bertanya, tidak ada polisi yang duduk diseberang meja, dibalik layar monitor. Karena, kasus yang sedang diselidiki kini, bukan kasus kriminal biasa. Kasus pembunuhan mutilasi yang berbeda.

Pelakunya seorang guru, korban mutilasi, juga guru. Pelakunya seorang suami dan korban mutilasi adalah isterinya sendiri. Pelaku dan korban, adalah keluarga bahagia. Keluarga yang membuat iri keluarga-keluarga lain. karena, kebahagiaan dan keharmonisan yang mereka sudah perlihatkan pada tetangganya, pada masyarakat sekitarnya. Bukan hanya kini, tapi, jauh sebelumnya. Paling tidak, yang dokter Fadli tahu, sejak dia SMA. Pelaku, adalah guru Fisika dokter Fadli ketika dia di SMA. Pak Ridwan, siapa yang tidak kenal dengan beliau?. Guru SMA yang paling populer. Ganteng, baik, cerdas dan mempunyai isteri yang cantik, Ibu Guru Dessy. Guru SMP mata pelajaran bahasa Indonesia, di sekolah yang sama. Dalam yayasan yang sama.

Yayasan “Gemah Ripah”. Siapa yang tak kenal yayasan ini? Yayasan yang sangat terkenal, memiliki sekolah  lengkap sejak SMP dan SMA di satu kompleks. Lulus dari “Gemah Ripah”, itu artinya, sudah jaminan akan di terima di Universitas terkenal negri ini, sebut saja, ITB, UI, ITS, UNPAD dll. Dokter Fadli, alumnus “Gemah Rifah” yang masuk FK UI, lalu mengambil spesialisai kejiwaan.

*****

Ruangan itu, cukup lebar. 6 x 8 M. seluruh dinding ruangan dicat putih bersih. Pada bagian pojok ruangan, ada lemari panjang dan tinggi, isinya berbagai macam buku. Khas layaknya ruang perpustakaan. Di tengah ruangan hanya ada satu meja, ukuran Meja ukuran 1,2 x 2,4 M, ada 4 buah kursi. Tepat diatas meja, ada lampu yang terhantung dengan nyala 16 watt.

Dokter Fadli sudah duduk di satu kursi. Tak lama kemudian, masuk pesakitan, pak Ridwan. Menyalami dokter Fadli dan duduk di kursi yang lain, diseberang meja dari kursi yang diduduki dr Fadli.

“Apakah pak Ridwan sehat?” tanya dokter Fadli, berusaha menyapa seramah mungkin.

“Sehat dok…” jawab pak Ridwan singkat.

Hampir tak ada yang berubah pada pak Ridwan. Pakaian yang dikenakannya, masih serapih yang dulu, wajah itu masih bersih, pada kening dan raut wajahnya, menampakkan kecerdasan yang hingga kini, masih di kagumi dr Fadli. Ketenangan sikapnya, belum juga berubah.

“Kita kemarin sampai mana ya pak?” lanjut Tanya dr Fadli.

“Sampai saya memiliki dua putra?” jawab Guru Ridwan.

“ooo.. ya. Sekarang anak pak Ridwan sudah menikah semua?”

“Belum dok. Yang tua, kuliah di kedokteran USU, sdh selesai, sedang menjalani Koas”

“Yang kedua?”

“Baru selesai sidang S1 di Unibraw Malang, seminggu sebelum kejadian itu”

“Sungguh orang tua yang beruntung… ya pak” kata dokter Fadli.

Dia belum masuk pada pokok masalahnya. Untuk mengetahui kejiwaan pelaku, harus digali semua aspek kehidupan. Tak perlu buru-buru. Yang penting, kesimpulan akhir, jalan meleset. Sebab, kesimpulan akhir yang akan direkomendasikan dr Fadli akan mempengaruhi nasib Guru Ridwan selanjutnya.

“Begitulah dok, jika saja tidak terjadi peristiwa itu” jawab Guru Ridwan lirih.

“Bisa cerita sedikit tentang Ibu, pak?” tanya dokter Fadli lagi.

Tak tega dokter Fadli, menyebut Bu Dessy dengan kata korban. Bukankah antara pelaku dan korban adalah suami isteri, dua-duanya Guru dokter Fadli sendiri. Meski Guru Ridwan tak mengetahuinya. Wajar saja, karena dr Fadli tak menyebutnya.

“Bisa dok”

Kami dulu, satu kampus, sama-sama di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP). Saya di fakultas MIPA jurusan Fisika, sedang isteri saya jurusan Bahasa Indonesia. Petemuan itu, terjadi di tahun kedua saya kuliah. Saya, ketika itu, sedang melakukan POSMA untuk adik-adik yang baru masuk. Pada kegiatan POSMA itulah pertemuan itu terjadi. saya sangat mencintainya, demikian juga dia. Kami saling cinta. Saya yang suka melindungi cocok dengan dia yang manja, cenderung untuk selalu dilindungi.

“lalu, akhirnya menikah?” tanya dokter Fadli lagi.

Tidak secepat itu dok, kami cukup lama pacaran. Selesai kuliah, saya ngajar di sebuah yayasan yang cukup terkenal, dengan mata pelajaran sesuai disiplin ilmu yang saya tempuh ketika kuliah. Saya yang memiliki kecenderungan untuk melayani, selalu mengantar dan menjemput dia kuliah. Semua saya lakukan dengan senang hati dok. Refleksi cinta yang saya miliki. Dia yang memiliki sifat yang suka dilayani, menjadi tergantung pada saya dok.

Pernah, ketika di sekolah ada rapat yang sangat penting, saya tak sempat menjemputnya pulang, dia menunggu hingga menjelang malam dok. Saya semakin menjadi berarti dok, paling tidak untuk orang yang sangat saya cintai. Semacam hero githu dok, untuk orang yang saya cintai.

“Lalu?”

Kami menikah dok. Awalnya, saya senang-senang saja dok, menyediakan sarapan pagi, mengepel rumah, setrika, hingga menyemir sepatu isteri setiap pagi, sebelum kami pergi mengajar. Karena kami, mengajar di yayasan sekolah yang sama. Anak-anakpun lahir, saya makin repot, hampir semua pekerjaan rumah, yang mengerjakan saya. Isteri saya belum juga berubah. Menyemir sepatu masih tetap saya lakukan. Rutin setiap pagi. Bahkan ketika sepatu saya sendiri tidak saya semir, saya masih melakukannya untuk isteri saya.

“Bagaimana dengan anak-anak?”

Anak-anak, mulai mandiri dok, mereka pelan-pelan, dapat melakukan pekerjaan, untuk kebutuhan mereka sendiri. Bahkan yang tua, sudah dapat membuat sarapan, jika pulang sekolah duluan, masak nasi. Si kecil sudah dapat mengepel dan mencuci. Tapi, isteri saya tetap tidak berubah dok. Saya, setiap pagi, masih selalu menyemir sepatu untuknya, menghidangkan teh  manis untuknya.

“Tapi, keluarga pak Ridwan, terkenal dengan keluarga bahagia?”

Pandangan orang luar begitu dok. Kami memang tampil dengan kebahagiaan. Saya sangat cinta pada isteri saya. Isteri saya sangat cinta dan tergantung pada saya. Kami tak pernah bertengkar. Pergi dan pulang sekolah selalu bersama. Saya suka kebersihan dok, tampil perlente, isteri saya juga demikian, meski, semua yang dia kenakan itu, saya semua yang mengerjakan. Hingga akhirnya….

“Akhirnya apa pak?”

Saya jatuh sakit. Dokter menganjurkan saya untuk beristirahat. Menyarankan saya untuk cuti. Diagnosa dokter, saya mengalami kelelahan. Saran dokter itu saya turuti, saya mengajukan cuti dan dikabulkan oleh pihak yayasan. Isteri saya, menyarankan agar adiknya yang berada di lain kota, untuk tinggal bersama kami. Akhirnya, jadilah anggota keluarga kami menjadi empat orang kembali, setelah sebelumnya, si sulung ke Medan untuk kuliah kedokteran di USU.

“Baik pak Ridwan, hari ini, kita cukupkan sampai sini dulu, dua hari lagi kita lanjutkan” kata dr Fadli.

“Baik dok” jawab Guru Ridwan.

Mereka bersalaman, Guru Ridwan, meninggalkan ruang, sementara dokter Fadli mengemasi catatatan dan alat rekam yang dia gunakan.

*****

“Apakah pak ridwan Sehat?” tanya dokter Fadli.

Pertemuan kali ini, dr Fadli melihat, Guru Ridwan makin segar, wajahnya tak sekeruh dua hari yang lalu, hanya memang, agak kurusan sedikit. Kalau saja, dokter Fadli tak memiliki referensi tentang guru SMAnya ini, perubahan fisik itu, tentu, tak terlihat.

“Sehat dok, sebagaimana dokter lihat” jawab Guru Ridwan pula.

“Apakah bisa kita lanjutkan pak Ridwan?”

“Bisa dok”

“Silahkan…”

“Kedatangan adik Ipar yang bernama Desol itu, membawa shock phsicyst pada saya dok”

“kok bisa?”

Bayangkan! Saya yang puluhan tahun, setiap pagi menyemir sepatu untuk Dessy, pagi itu, tidak melakukan hal yang sama. Kenapa? Karena Desol yang melakukannya. Saya yang puluhan tahun, setiap pagi menyuguhkan teh manis untuk Dessy, pagi itu, tidak melakukan hal yang sama. Kenapa? Karena Desol yang melakukannya. Bahkan ketika, si Bungsu mengantarkan Ibunya ke sekolah, ketika saya berdua dengan Desol, Desol menyuguhkan teh manis untuk saya, sesuatu yang tak pernah dilakukan Dessy. Menghidangkan makan siang di meja untuk saya. Bahkan sepatu saya yang sudah dua hari tidak saya semir, disemir oleh Desol.  Saya tersadar dok.

“Terhadap apa?” tanya dokter Fadli.

Terhadap kelelakian saya. Terhadap fungsi suami bagi isterinya. Betapa selama ini, saya bukan seorang lelaki yang sejati, bukan seorang suami yang sebenarnya. Melainkan, hanya seorang pembantu bagi wanita yang dicintainya. Seorang yang menghamba pada wanita yang menjadi isterinya, pada wanita yang dicintainya.

“Lalu, apa yang pak Ridwan lakukan pada Desol?”

Saya tak melakukan apa-apa sama Desol. Wanita itu, telah mengembalikan kesadaran saya akan fungsi saya sebagai lelaki, kedudukan saya sebagai suami. Saya menaruh hormat padanya dok. Esok hari dan keesokan harinya lagi, secara rutin, Desol mengulangi dan menggantikan apa-apa yang selalu saya kerjakan untuk Dessy. Demikian juga, pelayanannya untuk saya dok. Sempat saya tanyakan pada Desol, mengapa dia lakukan semua itu? Desol menjawab, bahwa dia kasihan pada saya, sekaligus menaruh hormat yang sangat. Karena saya, dimata Desol adalah suami sempurna, berbeda dengan mantan suaminya. Yang kasar dan tidak bertanggung jawab pada keluarga, hingga diujung rasa putus asanya, dia putuskan untuk berpisah dengan suaminya.

Siang itu, ketika saya ke warung untuk beli rokok, saya ingat Desol yang begitu baik, saya putuskan untuk membeli ice cream untuknya, sebagai hadiah kecil, juga perhatian kecil, karena kebaikan yang telah diberikannya pada saya. Ketika saya menyorongkan ice cream yang saya beli di warung depan rumah itu, Desol menerima dengan penuh haru, ada sembab mata yang disebabkan air mata yang tertahan di sana, tak tahu siapa yang mendahuluinya. Kami sudah berpelukan. Disaat yang sama pula. Dessy telah berdiri diantara kami. Saya tak tahu kapan dia pulang dari sekolah.

Dessy meraung-raung, semua sumpah serapah yang selama ini tidak pernah saya dengar. Siang itu, masuk dengan gamblang di telinga saya dok. Saya jelaskan padanya. Tak ada apa-apa antara saya dengan Desol. Apa yang Dessy lihat, sesungguhnya tak sama dengan yang dipikirkannya.

Saat itu juga, Desol diusir Dessy. Saat itu Desol meninggalkan rumah kami. Suasana mencekam. Apakah sudah selesai? Ternyata belum. Dessy masih dengan sumpah serapahnya. Segala tuduhan yang tak berdasar ditujukannya pada saya. Saya bereaksi dok. Sekali raih, kayu base ball sudah ditangan saya, sekali pukul, Dessy langsung meninggal. Saya panik dok. Tak tahu harus berbuat apa? Terbayang di depan mata saya. Bagaimana kalau masyarakat tahu, bagaimana jika lingkungan sekolah saya tahu. Bagaimana, membuang mayat Dessy? Bagaimana, menghilangkan semua jejak? Itulah semuanya dok. Hingga mutilasi itu terjadi.

“Ok, kita sudahi dulu, pak Ridwan” ujar dokter Fadli.

Tak tega dokter Fadli melihat mantan gurunya itu, tersedu sedan. Menyesali apa yang sudah dia lakukan. Beban psyikis yang baru saja dia rasakan berkurang karena kedatangan Desol, harus dibayar dengan kehilangan orang yang dia cintai, Dessy. 

*****

Dokter Fadli baru saja, menutup pintu ruangan pemeriksaan Pshykis pelaku, sayup masih terlihat olehnya, Guru Ridwan dikawal yang berwajib menuju ruangannya. Satu lagi, pelajaran berharga dia dapatkan siang ini. Bagaimana rumah tangga yang dibina tanpa kerja sama, dapat berakibat vital. Jika saja, Dessy mau berbagi dengan Ridwan, dalam segala hal, mungkin saja Ridwan tak mengalami OCD. Obsesif Confulsif Disorder.

Tapi, yah… semuanya sudah terjadi. Selalu saja, penyesalan datang terlambat.

 

 

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun