“Kedatangan adik Ipar yang bernama Desol itu, membawa shock phsicyst pada saya dok”
“kok bisa?”
Bayangkan! Saya yang puluhan tahun, setiap pagi menyemir sepatu untuk Dessy, pagi itu, tidak melakukan hal yang sama. Kenapa? Karena Desol yang melakukannya. Saya yang puluhan tahun, setiap pagi menyuguhkan teh manis untuk Dessy, pagi itu, tidak melakukan hal yang sama. Kenapa? Karena Desol yang melakukannya. Bahkan ketika, si Bungsu mengantarkan Ibunya ke sekolah, ketika saya berdua dengan Desol, Desol menyuguhkan teh manis untuk saya, sesuatu yang tak pernah dilakukan Dessy. Menghidangkan makan siang di meja untuk saya. Bahkan sepatu saya yang sudah dua hari tidak saya semir, disemir oleh Desol. Saya tersadar dok.
“Terhadap apa?” tanya dokter Fadli.
Terhadap kelelakian saya. Terhadap fungsi suami bagi isterinya. Betapa selama ini, saya bukan seorang lelaki yang sejati, bukan seorang suami yang sebenarnya. Melainkan, hanya seorang pembantu bagi wanita yang dicintainya. Seorang yang menghamba pada wanita yang menjadi isterinya, pada wanita yang dicintainya.
“Lalu, apa yang pak Ridwan lakukan pada Desol?”
Saya tak melakukan apa-apa sama Desol. Wanita itu, telah mengembalikan kesadaran saya akan fungsi saya sebagai lelaki, kedudukan saya sebagai suami. Saya menaruh hormat padanya dok. Esok hari dan keesokan harinya lagi, secara rutin, Desol mengulangi dan menggantikan apa-apa yang selalu saya kerjakan untuk Dessy. Demikian juga, pelayanannya untuk saya dok. Sempat saya tanyakan pada Desol, mengapa dia lakukan semua itu? Desol menjawab, bahwa dia kasihan pada saya, sekaligus menaruh hormat yang sangat. Karena saya, dimata Desol adalah suami sempurna, berbeda dengan mantan suaminya. Yang kasar dan tidak bertanggung jawab pada keluarga, hingga diujung rasa putus asanya, dia putuskan untuk berpisah dengan suaminya.
Siang itu, ketika saya ke warung untuk beli rokok, saya ingat Desol yang begitu baik, saya putuskan untuk membeli ice cream untuknya, sebagai hadiah kecil, juga perhatian kecil, karena kebaikan yang telah diberikannya pada saya. Ketika saya menyorongkan ice cream yang saya beli di warung depan rumah itu, Desol menerima dengan penuh haru, ada sembab mata yang disebabkan air mata yang tertahan di sana, tak tahu siapa yang mendahuluinya. Kami sudah berpelukan. Disaat yang sama pula. Dessy telah berdiri diantara kami. Saya tak tahu kapan dia pulang dari sekolah.
Dessy meraung-raung, semua sumpah serapah yang selama ini tidak pernah saya dengar. Siang itu, masuk dengan gamblang di telinga saya dok. Saya jelaskan padanya. Tak ada apa-apa antara saya dengan Desol. Apa yang Dessy lihat, sesungguhnya tak sama dengan yang dipikirkannya.
Saat itu juga, Desol diusir Dessy. Saat itu Desol meninggalkan rumah kami. Suasana mencekam. Apakah sudah selesai? Ternyata belum. Dessy masih dengan sumpah serapahnya. Segala tuduhan yang tak berdasar ditujukannya pada saya. Saya bereaksi dok. Sekali raih, kayu base ball sudah ditangan saya, sekali pukul, Dessy langsung meninggal. Saya panik dok. Tak tahu harus berbuat apa? Terbayang di depan mata saya. Bagaimana kalau masyarakat tahu, bagaimana jika lingkungan sekolah saya tahu. Bagaimana, membuang mayat Dessy? Bagaimana, menghilangkan semua jejak? Itulah semuanya dok. Hingga mutilasi itu terjadi.
“Ok, kita sudahi dulu, pak Ridwan” ujar dokter Fadli.