[caption caption="Pelangi di Pantai Pasput Malingping Banten (dok.Pribadi)"][/caption]
Keindahan memang relative, kondisi gedung tinggi pencakar langit mungkin indah bagi mereka yang sekali-sekali melihatnya. Pantai mungkin indah bagi mereka yang hidup di dataran tinggi. Demikian juga pegunungan, mungkin oase pelepasan segala rutinitas bagi yang hidup di kota sesumpek Jakarta. Semua itu, gambaran tentang keindahan.
Semua gambaran diatas tentang keindahan. Tetapi soal rasa, adalah sesuatu hasil dari pengalaman yang berulang-ulang. Sehingga, bisa dikatakan ada beda yang terbentang antara rasa dan keindahan.
Hanya mereka yang terbiasa sejak kecil, makan rendang, akan tahu apakah rendang yang dia makan saat itu enak atau tidak? Bagaimana pula akan mengetahui nikmatnya gudeg, kalau baru mencoba gudeg. Nikmatnya rasa spaghety hanya orang Italia yang tahu. Nikmatnya Papeda hanya orang Papua yang tahu.
Jangan tanya nikmatnya punya anak pada mereka yang masih lajang dan jangan pula tanya nikmatnya uang receh yang dibawa pulang tukang ojek pada sang Jutawan.
Tulisan ini, akan bercerita tentang indah dan nikmat tentang Indonesia, ketika Negara Indonesia sudah dikepung oleh ISIS. Lho… kok, bisa? Jawabannya, iya.. bisalah.
Sore itu, seperti sore-sore yang lainya, saya mengendarai kendaraan pribadi saya menuju laut. Di samping saya duduk anak semata wayang saya. Sedangkan isteri saya, duduk dibagian belakang. Biasalah, memang begitu biasanya. Anak saya selalu ingin duduk dekat dengan bapaknya untuk menunjukan kelelakiannya, sedangkan isteri lebih nyaman di tengah sambil tiduran kala ngantuk menjelang.
Tak ada yang istimewa, sore itu seperti sore-sore yang lainnya, tujuan kepergian juga sama, masih dengan tujuan ke laut untuk mandi bersama dengan anak semata wayang. Karena, ibunya lebih suka duduk di pasir daripada ikut mandi di perairan laut selatan yang ombaknya terkenal tidak ramah. Kalaupun mau disebut hal istimewa. Sore itu, waktu dipenghujung musim kemarau, hujan sudah mulai turun sekali-sekali dengan waktu singkat dan tidak deras.
Sesampai di pantai, saya dan anak semata wayang segera buka baju dan menyeburkan diri di air laut. Sedangkan isteri seperti biasanya duduk manis di pasir pantai yang putih dan lembut. Setelah asyik dengan nikmatnya mandi di air laut, saya melihat hujan turun dan saya melihat isteri melangkah menuju pondok yang ada di sekitar pantai itu.
Lelah mandi yang nikmat di laut, saya dan anak semata wayang segera menyusul ke tempat mamanya anak-anak istirahat. Di langit semburat cahaya pelangi begitu indahnya terlihat oleh saya.
Indah dan nikmat bercampur berkelindan menjadi satu, nikmat karena mandi di laut dan hidangan kopi kupu-kupu yang disajikan isteri tercinta. Indah karena view pantai laut selatan yang dilingkupi sinar pelangi pasca hujan ketika saya berenang di laut tadi.
“Indahnya Indonesia ketika di kepung ISIS ya pak?” kata Isteri saya tiba-tiba.
Saya terkejut bukan main. Apa maksud istri saya mengatakan demikian? Bukankah ISIS adalah semacam species baru yang begitu menakutkan.
“Maksudny apa” tanya saya.
“Akh… pura-pura gak tahu atau memang gak tahu bener?” kini isteri saya yang balik bertanya.
“Bener-bener gak tahu” jawab saya singkat
“hehehehe…. ISIS itu, Indonsesia Semakin Indah Saja” jawab isteri saya kalm.
Saya tak menjawab perkataan isteri lagi, diam-diam saya mengangkat gelas kopi, lalu menghirupnya beberapa teguk, sambil memandang laut Pantai Selatan yang indah terbentang, sementara diatasnya sinar pelangi itu, belum juga memudar.
Dalam hati saya menggumam, Indahnya Indonesia, Indahnya negriku, apalagi ketika sore ini keindahan dan kenikmatan itu benar-benar menyatu jadi satu. Indonesia sudah benar-benar terkepung ISIS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H