[caption caption="ilustrasi Polygami (dok.Pribadi)"][/caption]Belum lama ini, saya bertemu dengan seorang teman yang sudah sukses. Kami yang biasanya ngobrol di warung kopi pinggir jalan, kini berpindah ke warung kopi dengan pendingin ruangan. Tak terasa obrolan jadi ngelantur kemana-mana. Mulai dari perjuangannya meraih sukses pasca perpisahan kami yang terakhir, hingga niatnya untuk menikah kembali. Ingin menambah Istri lagi. Tokh, hal itu tidak salah, demikian penuturan teman saya, sudah ada Presedennya, sudah ada contohnya, yang dalam bahasa agama disebut dengan sunnah. Teman saya menyebutnya dengan istilah sunnah Rasul.
Saya terkejut dengan istilah “sunnah Rasul” itu. saya katakan pada sang teman, jika ingin menambah istri. Maka, lakukan saja, tanpa ditambah dengan istilah sunnah Rasul. Tokh agama mengijinkannya dengan beberapa syarat yang mengiringinya. Tetapi, sekali lagi, kata saya, jangan gunakan istilah sunnah Rasul.
Teman saya bertanya, mengapa saya keberatan untuk menggunakan sunnah Rasul? Untuk menjawab pertanyaannya itu, maka saya buat tulisan ini.
Sunnah artinya mengikuti jejak, baik cara berpikir ataupun perilaku dari yang diikuti. Sunnah Rasul artinya, mengikuti pola pikir, cara berbuat dan apa-apa yang telah dilakukan oleh Rasul. Namun, perkembangan yang terjadi,sunnah Rasul mengalami perkembangan arti dan maksud. Maka, jika ada yang berkata tentang Sunnah Rasul, maka yang ada pada pemikiran mereka yang mendengarnya, yang dimaksud adalah bagaimana berperilaku, sesuai apa yang dilakukan oleh Rasul.
Sampai disini saja, saya masih setuju. Namun, yang menyedihkan, sunnah Rasul, hanya untuk beberapa kasus yang menyenangkan untuk yang mengikuti sunnah, sedangkan untuk hal-hal yang berat dan tidak menyenangkan tidak dilakukan. Dengan kata lain, sunnah hanya dilakukan sebagian-sebagian saja. Sehingga konotasi arti dari sunnah Rasul, mengalami transformasi yang justru bukan meninggikan “posisi” Rasul atau mereka yang mengikuti “sunnah”, melainkan justru sebaliknya, menimbulkan arti negative dan merendahkan mereka. Inilah yang sangat saya sayangkan. Alih-alih untuk meninggikan status keberagamaannya, malah sebaliknya, merendahkan agama dengan cara yang mereka lakukan.
Oke, kita mulai saja membahas tentang Polygami, yang katanya sunnah itu. kita bagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut;
Satu, Proses Melamar.
Jika ingin melakukan sunnah Rasul, maka lakukan secara keseluruhan, secara total, mulai melamar calon istri kita itu dengan cara yang sunnah juga. Sebagaimana halnya Rasul melamar isterinya, maka lakukan hal itu, juga pada kita.
Rasul ketika melamar Istri pertamanya, Khadijah dengan mahar 40 (empat puluh) onta mata merah, jenis onta terbaik yang ada hingga saat ini. harga satu ekor onta mata merah, jika dihargakan dengan mata uang yang berlaku saat ini, seharga satu buah mobil Jaguar. Artinya, Rasul melamar isteri pertamanya dengan 40 Jaguar.
Apakah kita, ketika menikah untuk pertama kali dulu, melamar isteri kita dengan 40 Jaguar? Jika jawabannya tidak. Maka, kita sudah tidak mengikuti sunnah. Secara kaffah, atau total, kita sudah gagal untuk mengklaim diri, mengikuti sunnah untuk hal-hal lain dalam berumah tangga.
Jika, kemudian, dalam perkembangan berumah tangga, kita diberi kesempatan memperoleh rezeki yang banyak, ketahuilah, bahwa rezeki banyak, yang kita peroleh itu, tidak terlepas dari kontribusi istri kita dalam memperolehnya. Bahkan, mungkin saja, rezeki yang banyak itu, sesungguhnya rezeki milik isteri kita, yang datang melalui tangan kita. Jika demikian halnya, maka sesungguhnya, pemilik rezeki yang banyak itu, bukan kita, melainkan istri kita. Kita hanya sebagai perantara saja untuk datangnya rezeki itu. Jika demikian halnya, patutkah seorang perantara mengklaim memiliki apa yang diantarkannya, lalu meninggalkan sang pemilik sahnya atau membagi harta pemilik sahnya dengan wanita lain, yang jelas-jelas tidak memiliki kontribusi pada datangnya harta yang akan di bagi itu.