[caption caption="coachin clinik paguyuban UPK & BKAD se Jawa Barat, bertempat di Purwakarta, dibuka oleh Bupati Purwakarta, Dedy Mulyadi (dok. Pribadi)"][/caption]Untuk menjadi penulis yang baik, dibutuhkan banyak membaca. Sedangkan, banyak membaca belum tentu mengakibatkan seseorang menjadi penulis. Agak bingung ya?. Arti sederhana Kalimat itu, kira-kira demikian. Untuk menjadi penulis yang baik, kita harus banyak membaca. Tetapi, membaca banyak saja, tidak otomatis menjadikan kita menjadi penulis. Ada syarat lain untuk menjadi penulis. Apa itu? ya banyak membaca, ya banyak menulis. Menulis tentang apa? Ya apa saja. Perjalanan waktulah, kelak yang yang menuntun “rasa” kita, kita cocoknya jadi penulis apa.
Lalu, apa hubungannya pemberdaya terhadap minat baca? Sudah tentu sangat berhubungan. Meskipun pemberdaya tidak diharapkan jadi penulis. Tetapi, profesi pemberdaya menuntut mereka untuk banyak membaca. Kenapa? Karena, pemberdaya adalah mereka yang melakukan pekerjaan volunting, mengajarkan masyarakat tentang apa yang harus mereka perbuat, apa yang tidak boleh mereka perbuat. Apapun jenis pemberdayaan yang mereka geluti, pada posisi apapun pemberdaya berada. Apakah itu di tingkat Desa, di tingkat Kecamatan, di tingkat Kabupaten, Provinsi atau Ibu kota sekalipun. Merekalah yang memberdayakan masyarakat, merekalah “Guru” masyarakat.
Bisa dibayangkan, apa jadinya kualitas murid, jika sang guru tidak banyak membaca, tidak memiliki banyak referensi. Tentunya, apa yang mereka ajarkan pada murid-muridnya, hanya sebatas pada apa yang tertulis pada buku textbook. Tanpa penambahan modifikasi, tanpa pendekatan phsykologis sang murid, tanpa analogi yang sesuai dengan kemampuan intelektual sang murid dan inovasi bagaimana bahan ajar yang mereka sampaikan akan memperoleh hasil maksimal dalam pencapaian prakteknya.
Dalam menganalisa minat baca pada pemberdaya, saya hanya membatasi diri pada pemberdaya yang berada pada program yang bernama PNPM, yang sebentar lagi, mereka akan berganti baju dengan nama pemberdaya “Pendamping Desa”. Mereka inilah yang diharapkan jadi “guru” masyarakat Desa, mampu memberikan advis pada masyarakat Desa dan perangkat Desa sesuai dengan ilmu dan budaya lokal Desa dimana mereka berada. Tentang apa yang boleh dikerjakan, apa yang tidak boleh dikerjakan, tentang bagaimana membuat rencana kerja pembangunan Desa, melihat semua kendala yang ada di Desa, lalu kendala yang ada di Desa itu, bagaimana dirubah menjadi sebuah potensi, hingga menjadikan Desa lebih maju dan berdaya. Bagaimana melihat dan merunut prioritas apa dulu yang akan dikerjakan.
Lihat… bagaimana kompleksnya masalah yang akan dihadapi oleh pendamping Desa. Meliputi hal-hal tekhnis seperti yang saya sebutkan diatas, serta masalah non tekhnis. Bagaimana beban berat tersebut harus tersampaikan dan terlaksana?. Pendekatan yang dilakukan secara Texbook tanpa sentuhan budaya lokal sudah dapat dipastikan akan mengalami kegagalan.
[caption caption="coaching clinik paguyuban UPK & BKAD se Jawa Barat, di hadiri Bapennas, Kemenhuk dan Ham, OJK, Kementrian Koperasi (dok.Pribadi)"]
Lalu bagaimana mengetahui budaya lokal, psykologi masyarakat Desa, mengetahui cara Inovasi terobosan pada masyarakat Desa, serta terobosan-terobosan cerdas lainnya, jika pemberdaya tidak banyak membaca, banyak mendengar dan menyerap informasi sebanyak-banyak dari rekan pemberdaya yang telah lama bergelut di bidang itu?
Metode ini juga, hanya berdasarkan tingkat pembelian bahan bacaan yang berhubungan dengan dunia pemberdayaan yang sudah terpraktekkan, sudah dialami sendiri oleh penulisnya, serta inovasi-inovasi yang telah dilakukan. Semua pengalaman lapangan, berupa kendala dan solusi penyelesaiannnya serta wacana perbaikan untuk masa depan, yang telah dikemas dalam sebuah buku yang berjudul “catatan kecil, perjalanan PNPM-MPd”.
Langkah yang saya lakukan dengan menawarkan buku tersebut pada kelompok pemberdaya dengan ragam level yang berbeda. Seperti;
Satu, fasilitator Kecamatan. Saya melakukan penawaran buku, pada acara rapat koordinasi yang dilakukan fasilitator Kecamatan yang dilangsungkan di Kabupaten tempat fasilitator bekerja. Pada rakor fasilitator Kecamatan itulah saya menerangkan bagaimana perjalanan buku itu, hingga terwujud menjadi sebuah buku, bagaimana isi kandungan buku, jumlah halaman, hingga cerita tentang bagaimana buku tersebut telah di bedah di Kompas Gramedia.
Pada rakor fasilitator Kecamatan, saya melakukan penawaran buku itu, di dua Kabupaten dengan waktu berbeda dan tempat berbeda. Hasil penjualan buku, jika dibandingkan dengan jumlah peserta yang hadir terdapat angka 46% dan 38%.