Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Analisa Minat Baca Pemberdaya

13 September 2015   14:50 Diperbarui: 13 September 2015   15:38 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua, Acara Coaching Clinik, Paguyuban UPK dan BKAD ditingkat Provinsi Jawa Tengah yang berlangsung di kota Solo dan Acara Coaching Clinik paguyuban UPK dan BKAD ditingkat Provinsi Jawa Barat di Kota Purwakarta. Kedua acara yang dihadiri oleh Bapennas, kementrain Hukum dan Ham, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan kementrian Koperasi itu, terjual buku 8.2% untuk Provinsi Jawa Tengah dan 9.2% untuk Provinsi Jawa Barat.

Tiga, fasilitator Kabupaten. Pada Acara Pelatihan Penyegaran fasilitator Pendamping Desa tingkat Kabupaten yang di lakukan di Jakarta, tepatnya hotel Boutique jalan Angkasa Jakarta Pusat ini, diikuti oleh fasilitator tingkat Kabupaten yang terdiri dari Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Lampung dan Provinsi Banten. Terjual buku hanya 2%.

Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana membaca angka-angka itu? bagaimana menjelaskan angka-angka itu, sehingga dapat dimengerti oleh kita semua. Terutama, pada masyarakat awam di luar dunia pemberdayaan.

Penjelasannya, dapat kita uraikan sebagai berikut:

Satu, fasilitator Kecamatan berminat membaca karena merekalah pelaku pada garda terdepan dari program pendampingan Desa. Mereka adalah anak-anak muda dengan strata pendidikan S1, dengan tingkat idealis tinggi. Gaji mereka kecil, tapi idealime yang mereka miliki, mengalahkan apa yang mereka terima. Mereka inilah para Bintara dan Tamtama yang diterjunkan langsung ke Medan pertempuran dengan satu tujuan memenangkan peperangan.

Dua, UPK dan BKAD adalah elemen yang secara hierarki tidak berada langsung pada medan fasilitasi. Tetapi, peran mereka demikian krusial, penyaluran dana fisik sarana prasarana melalui mereka, demikian juga dengan penyaluran dana kegiatan simpan pinjam. Kedudukan mereka di daerah Kecamatan. Para anak-anak muda UPK dan BKAD ini, strata pendidikan mereka sama dan atau kurang dari pada fasilitator Kecamatan, ada yang S1 dan non S1. Namun, keuletan dan daya juang UPK dan BKAD ini sudah teruji, indikasinya jelas, inilah satu-satunya jasa keuangan yang tetap bertahan, sementara jenis koperasi seperti KUD dll sudah almarhum. Indikasi lain, ketika program PNPM dihentikan di awal 2015, keberadaan UPK dan BKAD tetap eksis hingga kini.

Tiga, fasilitator Kabupaten adalah mereka yang memiliki autoritas pada fasilitator Kecamatan, sebagai atasan, tentunya mereka yang dilevel Kabupaten memiliki pengetahuan yang lebih dari mereka yang berada pada level Kecamatan, memiliki kebijakan yang lebih, memiliki inovasi yang yang lebih dan selalu update, memiliki semangat ingin tahu yang lebih. Namun, pada kenyataan hal-hal ideal demikian tidak selalu terjadi.

Mereka tidak memiliki pengetahuan yang lebih, kebijakan yang lebih, inovasi dan metode pendekatan yang lebih. Malah, cenderung texbookt, lebih kaku, lebih otoriter dan tak memiliki keinginan untuk selalu update pengetahuan. Inilah, mungkin, mengapa pada level fasilitator yang lebih atas itu, penjualan buku “catatan kecil, perjalanan PNPM-MPd” hanya berkisar pada angka 2%.

Atau juga, sebagaimana pendapat peserta coaching Clinik UPK & BKAD di Jawa Barat, ketika session Tanya jawab, tentang leading sector keberadaan UPK & BKAD untuk berada di bawah Kemendes, sang peserta mengeluarkan pendapat, sebagai “untuk apa kita harus berada dibawah mereka yang menyebut dirinya sebagai pemberdaya itu? sesungguhnya, merekalah yang tidak berdaya, bukan kita. Ketika program PNPM itu dihentikan, mereka hanyalah sekumpulan para penganggur yang merengek-rengek agar program dilanjutkan kembali, tujuannya bukan untuk kita, melainkan untuk mereka, agar mereka dapat bekerja kembali. Sedangkan kita, hanya dijadikan obyek alasan”

Atau pendapat seorang fasilitator Kecamatan dari Jawa Tengah yang menulis pada saya sebagai berikut : “Para pelaku pemberdayaan Kabupaten saat ini, sedang dilanda hipokrisi dengan munculnya bibit-bibit kesombongan. Karena, seolah-olah merekalah yang paling tahu soal pemberdayaan dan Desa. Jadi, ketika ada orang lain, sesama pelaku pemberdayaan menuliskan tentang PNPM dan Desa, yang ada hanyalah, mereka seolah-olah sudah tahu dan lebih tahu. Sehingga, apresiasi terhadap karya pemberdayaan dan desa menjadi sangat kurang…dan tidak aneh bila mereka asing dan bahkan cenderung apriori.

Lalu, bagaimana pendapat pribadi saya tentang fenomena ini? saya tidak ingin berpendapat, biarlah pembaca yang menyimpulkan sendiri, atas fenomena yang saya tuliskan diatas. Hanya saja, saya ingin menceritakan, bagaimana ketika buku ini dibedah di Kompas Gramedia, tidak seorangpun para “mbaurekso” yang di kemendes itu turut hadir. Padahal mereka sudah saya beri tembusan terhadap acara bedah buku yang dimaksud….. wallahu a’laam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun