Banyak yang dapat kita sumbangkan untuk Negara ini, ketika BBM naik misalnya, dengan cara meninggalkan kendaraan pribadi di rumah, kita ramai-ramai beralih ke angkutan massal, tidak melakukan kunjungan kedaerah wisata ketika liburan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Mengurangi konsumsi BBM untuk hal-hal yang tidak sangat perlu.
Ketika tarif PLN naik, kurangi konsumsi listrik, matikan lampu jika tidak benar-benar kita butuhkan, ketika harga daging naik, mengapa harus membeli daging di Jakarta? Sesungguhnya kenaikan harga daging hanya di Jakarta, untuk daerah lain tidak naik. Tidak mengkonsumsi makanan yang selalu dimasak, sebagai akibat gas Elpiji yang naik. Secara cerdas mengganti tanaman hias dengan tanaman sayuran di halaman rumah, sebagai cara cerdas mengakali mahalnya sayuran.
Ketika Dollar naik, masih banyak kuliner asli Indonesia yang dapat kita konsumsi. Bukankah kuliner asli Indonesia, dominan menggunakan bahan lokal. Kacang panjang, tauge, kol, jangan di buat pecel, karena kacang, sebagai bahan dasar pecel, sebagian besar barangnya di import. Melainkan, buatlah menu “sayur urap”. Karena sayur urap, bahan dasarnya dari kelapa. Kelapa asli bahan lokal, tidak perlu import.
Bagaimana dengan PHK massal? Bukankah itu akibat dari melemahnya rupiah terhadap Dollar, Inilah yang menjadi PR bagi pemerintah, kelak, jika krisis telah berlalu. Ada kebijakan yang salah dalam pengelolaan Negara. Sudah saatnya berpikir serius tentang cara percepatan pertumbuhan ekonomi dengan tidak bergantung pada bahan import. Negara ini, kaya potensi, tinggal mau atau tidak mengusahakannya dengan cerdas. Bagaimana menaikkan harga sawit, bagaimana harga karet dapat dinaikan, bagaimana tanaman aren bisa dijadikan Primadona, kayu manis, cengkeh lada, dan tanaman-tanaman komoditi khas Negara kita yang kini, jangankan untuk eksport, untuk diperoleh guna konsumsi dalam negri saja sulit. Bagaimana menaikan harga sawit, karet Aren dll itu? Dengan mengolah sawit, karet, cengkeh, aren dll itu menjadi bahan jadi, deratif lanjutan dari hasil bumi itu, memberikan banyak keuntungan, membuka lapangan kerja yang tidak sedikit dan hasil paling krusial, kita terbebas dari ketergantungan terhadap Dollar. Bagaimana regulasi daging sapi. Karena, ternyata kelangkaan daging, akar masalahnya, bukan pada ketiadaan stok, melainkan lemahnya regulasi, sehingga membuka peluang mafia daging untuk bermain. Lupakan percepatan sektor manufaktur, mari kembali ke jati diri ekonomi bangsa, fokus pada derifatip hasil alam Indonesia. Bukankah Negara ini, merupakan pasar yang sangat besar.
Saya membayangkan, jika saja, semua elemen anak bangsa mau dan bisa mensinergikan semua potensi yang ada padanya, lalu berbuat secara cerdas untuk sedikit memberi “sumbangsih solusi” dari problem yang kita hadapi kini. Maka, bencana carut-marut yang kita hadapi kini, akan punya solusi. Sehingga kita dapat dengan lantang berujar “Kita Tidak Butuh Jokowi” . Tetapi, kita butuh semua elemen bangsa, termasuk Jokowi di dalamnya. InsyaAllah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H