Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bandung Riwayatmu kini

10 September 2012   15:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:40 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_211574" align="alignleft" width="500" caption="Emplasemen Stasiun Bandung kini (dok Pribadi)"][/caption]

Soal lebaran, soal mudik, selalu membawa efek pada kita, kita diingatkan akan masa lalu, sejarah hidup yang telah kita alami, apakah kita sebagai diri pribdi an sich atau kita dengan lingkungan kita, hubungan dengan lingkungan inilah yang ingin saya ceritakan, lingkungan kota Bandung, bagaimana beda Bandung sekitar th 75-an dengan Bandung kini…..

[caption id="attachment_211575" align="alignleft" width="500" caption="Mesjid di Jalan Wastukencana, dulu tidak ada (dok pribadi)"]

13472895811447953690
13472895811447953690
[/caption]

Sekitar th 75an sebagai siswa SLTA, saya yang berdomisili di daerah Pecinan, tepatnya Jalan Pecinan lama depan pasar baru , setiap pagi, selalu pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki dengan rute, viaduck, kantor Walikota Bandung,Jalan Merdeka, Jalan Aceh. Ketika itu Bandung masih sejuk, jarak tempuh sekitar tiga kilo itu nyaris tidak mengeluarkan keringat, kalaupun saya duduk-duduk di Taman di halaman walikota Bandung, diseberang Universitas Parahiyangan (waktu itu Tehknik Sipil dan Arsitek masih di jalan Merdeka) bukan disebabkan karena letih, tapi lebih disebabkan ingin santai. Tapi, bayangkan dengan sekarang, dengan kendaraan roda empat saja masih berkeringat, karena kaki asyik menginjak rem dan gas, sebabnya jelas, karena route itu sekarang macet setiap harinya.

[caption id="attachment_211576" align="alignleft" width="500" caption="(dok pribadi)"]

1347289701542345
1347289701542345
[/caption]

Sekitar sekolah SMA top (st Aloysius) sangat asri, inilah sekolah dengan keasrian yang sangat ideal, sangat terkenal sesuai dengan namanya SMA top di samping SMA Negri tiga Bandung, tapi bandingkan dengan sekarang, saya tidak dapat membayangkan bagaimana anak-anak SMA ini bisa belajar dengan tenang, sejumlah factory outlet dan touris local mememenuhi areal ini setiap hari. Suasananya demikian gaduh, dan arealnya penuh sesak dengan mobil yang diparkir.

[caption id="attachment_211577" align="alignleft" width="500" caption="halaman IKIP Bandung, kini UPI (dok pribadi)"]

13472897981403214311
13472897981403214311
[/caption]

Ketika kita duduk di emplasment stasiun Bandung, suasanya demikian tenang, dengan kursi tunggu yang masih terbuat dari kayu, alunan suara Edi Silitonga dengan lagu “Mama”, Titik Puspa dengan “kupu-kupu Malam” serta Bimbo dengan “balada gadis Desa” demikian dominan, diiringi sesekali datangnya lokomotif Uap yang memasuki Stasiun, penduduk menyebutnya Kereta “Hideung”. Tapi kini suasana itu sudah tidak ada lagi, riuh rendah, elevasi lantai sudah berbeda-beda, penunjuk arah sudah menggunakan beragam bahasa, dari bahasa Indonesia ditambah dua bahasa asing, nyaris tiada lagi suasana dulu yang tersisa.

[caption id="attachment_211578" align="alignleft" width="500" caption="Icon IKIP Bandung kini UPI, tidak banyak berubah (dok pribadi)"]

13472899571677048194
13472899571677048194
[/caption]

Jika kita berjalan di Jalan Braga, diawal jalan Braga, pada simpang empat Naripan, kita akan temui, seorang pengamen Tuna Netra yang dikenal dengan Braga stone, memetik kecapi dengan membawakan lagu-lagu Rolling stone, The Purple dan TheBeatles, Toko Lukisan dan diujung jalan yang lain ada Bioskop Braga Sky, di Bioskop ini diputar fil-film yang sudah lama beredar, artinya setelah diputar di bioskop-bioskp lain, tapi bagi penggila Braga Sky mereka akan sabar menunggu hingga film tersebut diputar di Braga Sky, karena interior dalamnya sangat khas, dan yang paling mengesankan bunyi Bell sebelum film dimulai. Tapi sekarang semua itu tidak ada, yang tertinggal hanya toko lukisan dan wayang saja, dan yang paling mengejutkan, ketika saya mengarahkan kendaraan ke Jalan Braga, seorang ponakan protes, karena memasuki daerah “malam”…..sungguh Ironis.

[caption id="attachment_211579" align="alignleft" width="500" caption="Monumen Kereta "]

1347290103791685788
1347290103791685788
[/caption]

Masih banyak hal-hal yang sangat berubah jika dirunut satu persatu, sehingga saya takut pembaca akan jenuh, tapi itulah perubahan, semuanya tidak ada yang statis, karena hakekat kehidupan itu adalah perubahan, yang tetapadalah perubahan itu sendiri. Saya jadi ingat seloroh seorang teman di stasiun Gambir ketika seorang tua yang duduk disebelah saya bercerita tentang gambir tempo dulu, dimana semua serba teratur dan asri, dengan menyebut zaman itu zaman ketika Belanda masih menjajah kita, dengan seloroh yang enteng teman saya berkata “bagaimana kalau kita panggil saja Belanda untuk menjajah kita lagi agar semua kembali seperti yang bapak katakan”

Hakekatnya bukan demikian, tapi bagaimana tugas kita menata kembali kota yang terlanjur “maju” ini dengan prinsip-prinsip yang ramah lingkungan, hijau dan asri, bisa apa saja istilahnya atau yang lagi trend sekarang dengan konsep ecotourism………….semoga!!! 

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun