Udara lembab menyergapku, rindang pohon besar di area ini, menyejukkan udara, ketika terik sengat Matahari membakar mereka yang berada di luar. Sore ini, udara jadi lembab, setelah siang tadi di guyur hujan. Aku berjongkok di sisi sebongkah batu tegak besar. Sementara satu meter delapan puluh senti di belakangnya berdiri satu batu yang lebih kecil lagi. Antara kedua batu berdiri itu, ada batu-batu sebesar kepalan orang dewasa yang menghubungkannya. Inilah makam Bapak, tempat aku kembali ketika lelah.
Komplek pemakaman ini, berada di ujung areal persawahan, pada gundukan tanah yang agak tinggi, menyerupai anak bukit. Pepohonan besar melindunginya, sepanas apapun udara di luar, dikomplek pemakaman itu, udara selalu segar. Orang kampung kami menamakan komplek pemakaman ini dengan nama Astana.
Aku masih berjongkok di Sisi Nisan sebelah kepala, tak ada tulisan apa-apa di situ, nama siapa, kapan lahir, lalu ketika pulang menghadap Sang Penguasa Jagat Alam Semesta. Karena demikianlah yang dipercaya orang kampungku. Tetapi aku, kenali, bahkan sangat aku kenali, karena akulah pewaris jasad yang sedang berbaring di bawah nisan itu. Dialah orang tuaku. Tempat ku kembali, ketika rindu ini, menyergap, ketika bathin ini lelah.
Ketika itu, aku masih kecil, baru kelas dua SD, ketika negri ini sedang bergejolak dengan suasana politik kiri dan kanan, yang akhirnya kelak aku tahu, era peralihan antara orde lama ke orde baru.
Jaman itu, semua penduduk desa kami susah, kami makan Ubi dan Jagung. Beras merupakan barang langka dan sangat mahal. Ubi diolah oleh ibu-ibu menjadi oyek, awalnya ubi direbus dulu, hingga hamper setengah matang, lalu ditumbuk hingga setengah pecah. Dengan peralatan tampah di goyang sedemikian rupa, kemudian di jemur kering. Inilah pengganti nasi bagi masyarakat kami. Sedangkan Jagung, ditumpuk hingga pecah setengah. Untuk masayarakat awam, makanan utama pengganti nasi hanya oyek, tanpa tambahan lagi, sedangkan untuk mereka yang sedikit berada, jagung merupakan tambahan disamping oyek yang sudah menjadikan makanan pokok pengganti nasi.
Tetapi, untuk keluargaku, kondisi umum itu, tidak sepenuhnya berlaku. Ada nenek di rumah. Bapak yang terkenal galak di luar, yang digelarkan orang kampungku sebagai “singa”. Merupakan anak yang sangat berbhakti pada orang tuanya, pada nenek. Setiap pagi Bapakselalu membuat bubur untuk nenek. Dan luar biasanya, bubur itu dibuat dari beras. Benda yang sangat berharga ketika itu. Luar biasanya, Bapak sendiri yang membuatkannya untuk nenek.
Sedangkan kami, mak, aku dan Bapak makan oyek, khusus untukku, jika bubur untuk jatah nenek tidak habis, maka aku dapat kesempatan makan bubur nasi. Kadang aku berdo’a, agar nenek tidak menghabiskan jatahnya hari itu, hingga ketika makan malam tiba, aku akan makan bubur nasi.
“Mengapa Bapak sendiri yang memasak buburnya” tanyaku pada Bapak
“Bapak hanya menjaga perasaan mak’mu nak, Bapak hanya mampu memberikan nenek bubur beras. Sedangkan untukmu dan mak’mu Bapak hanya mampu memberikan oyek”
“Tapi kan mak bisa membuat bubur beras itu”
“Kelak kau akan tahu nak, bhakti seorang anak tak akan pernah selesai hingga akhir hayatnya, meskipun dia telah beristri. Bapak kini, bukan hanya sebagai anak dari nenek, tetapi juga suami dari mak’mu dan Bapak dari kamu. Membuat bubur ini, bagian dari bhakti Bapak sebagai anak, sedangkan mencintai, memberi nafkah, memberikan perlindungan untuk kamu dan mak’mu merupakan bhakti seorang suami dan Bapak. Mungkin, ketika Bapak bicara ini, kamu belum paham, tetapi kelak, kau akan tahu dan paham semua ini nak”
“Iya pak”
“Kau tahu nak, dimasyarakat luar, nilai Bapakmu ini, ditentukan oleh kumis Bapak yang melintang, kepalan tinju Bapak yang besar ini dan isi kepala Bapak yang kata mereka encer. Tetapi dimata Tuhan, nilai Bapak ditentukan dari berapa banyak Bapak dapat memberikan kalian kasih sayang, seberapa banyak Bapak dapat melakukan kewajiban pada kalian dengan keikhlasan, seberapa dapat Bapakmu ini mencintaimu dan mak’mu, seberapa banyak dan hebatnya Bapak dapat melindungi kalian semua dari ancaman yang datangnya dari luar. Apakah itu ancaman fisik atau ancaman budaya asing yang akan melunturkan nilai-nilai baik yang kita miliki sekarang. Seberapa banyak Bapak dapat meneruskan bhakti Bapak pada nenekmu, seberapa hebat Bapak mampu menjaga perasaan nenekmu, sehingga kehadiran kau dan mak’mu, tidak merupakan ancaman bagi berkurangnya rasa bhakti Bapak pada nenekmu”
“iya pak”
“Bapak berharap, kau juga akan dapat melakukan apa-apa yang telah Bapak lakukan pada nenekmu, untuk kau lakukan pada mak’mu. Walaupun ketika itu, kau telah beristri, telah memiliki anak-anak. Tak peduli kau akan jadi apa kelak, tak peduli apa posisimu, tak peduli apa jabatan yang kau pegang, karena semuanya itu hanya alat, tetapi tujuan dari alat yang kau miliki itu, adalah bagaimana kau realisasikan untuk kebahagian orang-orang yang kau cintai, orang-orang yang telah diamanahkan Allah untuk kau jaga”
“iya pak”
“Kau tahu nak, kita laki-laki ini, sudah ditakdirkan menjadi “singa” ketika berada diluar rumah, tetapi menjadi pemimpin sekaligus pelayan ketika di dalam rumah. Kau pimpin keluargamu untuk sampai pada titik terakhir perjalanan yang sesuai dengan yang diinginkanNya, kau layani mereka agar perjalanan yang kau kehendaki itu tidak terlalu mengalami aral melintang yang menyusahkan. Itulah fungsi kelelakianmu. Itulah tujuan diciptakan kau sebagai lelaki, sebagai anak Bapak”
*******
Itulah dialog-dialog yang masih kuingat pada sosok Bapak, Bapak yang kini telah berbaring nyenyak di balik batu besar yang berada dihadapanku ini. Tidur panjangnya setelah dia letih dan penat dalam bersusah payah membesarkanku dan menjadikan aku kini seorang besar. Sebagai orang besar dengan sejibun masalah, aku terkadang letih juga. Maka ketika itulah aku kembali, untuk kembali mendo’akan Bapak, kembali mengingat nilai-nilai yang diajarkannya, kalimat-kalimat yang pernah diucapkannya, yang walaupun ketika itu, aku tidak paham. Tetapi kini, kalimat itu, merupakan solusi dari sejibun masalah yang kuhadapi.
Udara di sekitarku makin lembab, senja mulai merayap mendatangi tanah Astana ini, temaram suasana senja makin terasa, perlahan aku berdiri, meninggalkan Astana, di langit kulihat awan mulai menebal, tanda sebentar lagi akan turun hujan. Aku masih menoleh ke belakang, ke tanah Astana, tempatku kembali ketika rindu dan letih menggelayut diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H