Entah siapa yang memulai, surau Nurul Iman itu berubah nama menjadi Surau Imam Malik? Setiap penduduk yang ditanya dimana letak Surau Imam Malik, tentu dapat menunjukkan dimana letak surau itu. Tidak demikian halnya, jika ditanya dimana Surau Nurul Iman? Kebanyakan dari mereka akan balik bertanya, Surau yang mana ya? Rasanya baru mendengar nama surau itu. Lalu mengapa pula, kok jadi bernama Imam Malik? Apakah karena Marbot Mesjid itu bernama Malik? Lalu darimana kata Imam? Apakah karena Marbot itu sering mengimami sholat di surau itu? Bisa jadi, semua jawaban itu benar. Bisa juga karena masyarakat ingin mudahnya saja. Daripada susah menghafalkan nama Nurul Iman, yang nama itu sendiri sudah tak ada yang melekat pada tubuh surau itu, maka disebutlah surau Imam Malik. Yang artinya, Surau dimana Malik suka menjadi Imam di surau itu. Mungkin saja begitu penjelasannya, Wallahu A’laam. Hanya Allah yang tahu segalanya.
Surau Imam Malik, berada di Muara Sungai Batang Gadis. Nama Sungai yang memiliki nama mubazir. Betapa tidak, Batang itu sendiri sudah berarti Sungai, maka, jika disebut Sungai Batang Gadis, maka artinya Sungai Sungai Gadis. Tapi, begitulah yang terjadi, mungkin maksudnya untuk lebih menegaskan saja. Seperti Pelabuhan laut, mana pula ada pelabuhan kalau bukan dilaut, kan lucu, jika disebut pelabuhan Bus. Yang ada, tentu Terminal Bus.
Dulu, Muara Sungai Batang Gadis ini, merupakan daerah yang maju. Disini adalah daerah pemukiman nelayan yang makmur, selain perahu nelayan, ada juga beberapa kapal yang sandar, untuk memuat hasil hutan dan pertanian, disamping ada juga beberapa orang yang pergi ke seberang melalui pelabuhan kecil di Muara Batang Gadis ini. Daerah ini juga, merupakan daerah setingkat Kawedanaan. Semacam daerah pemerintahan diatas sedikit kecamatan dan dibawah Kabupaten. Sekali lagi, itu dulu. Sebelum dibangun pelabuhan besar di Daerah Madang, yang berjarak 8 km dari Muara Batang Gadis..
Alasannya jelas. Jika dibangun Pelabuhan di Muara Batang Gadis, maka akan banyak dijumpai kendala, kendala yang disebabkan akibat banjir yang kerap melanda daerah ini. Belum lagi jika dirunut dengan segala akibat turunannya, semisal jalan yang terendam, kantor pemerintahan yang terendam dan lain sebagainya.
Maka, seiring berjalannya waktu, daerah Madang berkembang pesat, terjadi Urbanisasi penduduk ke daerah Madang, demikian juga kantor pemerintahan, pindah ke Madang, tumbuh Pasar dan segala aktifitas masyarakat. Jika Madang maju berkembang, lain halnya dengan Muara Batang Gadis, perlahan-lahan surutdan redup, hingga kini tinggallah hanya berbentuk sebuah Kampung dengan perkampungan nelayan yang masih tersisa serta surau Imam Malik.
Surau Imam Malik, terletak di tanah luas milik Haji Adenan, beliau adalah wedana terakhir di Muara Batang Gadis. Di Hadapan surau ini, ada tanah lapang. Jika iedul Fitri tiba, tak jarang, sholat Ied dilakukan di tanah lapang di depan Surau Imam Malik. Atau jika menyambut peringatan kemerdekaan, tujuh belas Agustus. Banyak pertandingan dilakukan di lapangan itu. Mulai dari kompetisi sepak bola, yang bisaanya, final sepak bola dilakukan sore tanggal 16 Agustus lalu penyerahan Tropy pemenang, lomba panjat pinang dan lain-lain. Tetapi sekali lagi, itu dulu. Kini, semuanya sudah berubah. Tak ada lagi yang tersisa. Selain kenangan akan kejayaan masa lalu.
*****
Malik duduk di tangga Surau Imam Malik, sholat Ashar baru saja selesai ditunaikan, tadi, ketika menjalankan sholat Ashar, hanya Malik sendiri. Dia yang mengumandangkan Adzan Ashar, lalu dia sendiri yang Iqamat, lalu dia sendiri pula yang menjadi Imam tanpa ada makmum yang berdiri dibelakangnya. Awalnya Malik masih berharap, jika saja ada yang terlambat datang, lalu menjadi makmumnya, tetapi, hingga Malik mengucapkan salam terakhir, dibelakangnya tetap saja kosong.
Malik melayangkan pandangnya pada lapangan yang kosong di hadapannya. Hari ini, tanggal sepuluh Agustus, biasanya, lapangan itu sudah ramai pada jam-jam begini, olehmereka yang bermain bola dan penontonnya, pertandingan tarkam yang memperebutkan piala kecamatan. Semakin hari semakin ramai saja, hingga puncaknya ketika final pada tanggal 16 Agustus sore. Bisaanya, pak Wedana sendiri, atau yang terakhir, ketika kawedanaan dirubah menjadi kecamatan, pak Camat sendiri yang menyerahkan piala bagi pemenangnya.
Tetapi kini, lapangan di depannya kosong, lengang, tanpa ada yang bertanding, bahkan hanya untuk mereka yang bermain bola, melewatkan sore saja, tak ada.
Malik, lalu menoleh ke dalam Surau. Juga kosong. Tak ada satupun manusia di dalamnya. Dulu selesai Ashar, akan berdatangan anak-anak usia SD untuk belajar mengaji di surau ini. Malik akan sibuk mengajar anak-anak itu mengaji, bisaanya, malik dibantu oleh mereka yang sudah besar, yang besar akan mengajarkan yang kecil, yang sudah bisa mengeja akan mengajar yang belum bisa mengeja, sebelum akhirnya, satu-satu maju kehadapan Malik untuk menerima pelajaran langsung dari Malik. Tapi, kini surau ini kosong melompong.
Negri ini sudah maju, sudah banyak berdiri SDIT, di sekolah SD Islam Terpadu itu, anak-anak sudah diajarkan mengaji, sehingga mereka sudah tidak perlu lagi belajar mengaji ketika sore hari. Memang Pemda sudah mengeluarkan Peraturan Daerah, yang mensyaratkan bahwa lulusan SD yang akan meneruskan pendidikan ke SMP haruslah memiliki serifikat bisa membaca Al-Qur’an. Bagi SD negri, akan ada pelajaran ekstra kurikuler mengaji, lalu SD yang bersangkutan akan mengeluarkan sertifikat mampu membaca Al-Qur’an, bagi siswanya ketika telah lulus SD. Pertanyaannya, lalu untuk apa mereka harus belajar mengaji pada Surau Imam Malik lagi? Tokh, meskipun mereka dapat mengaji, Surau Imam Malik tidak mengeluarkan sertifikat mampu membaca Al-Qur’an.
Kondisi lapangan kosong, surau kosong, Muara Batang Gadis yang semakin lengang, usia Malik yang semakin senja, makin merisaukan Malik. Suasana yang digambarkan oleh orang tua-tua dulu sebagai “laruik sanjo”. Larut Senja. Perlahan-lahan, tetapi pasti, hari mendekati senja, lalu semakin senja, mentari terbenam bersama sinar yang menyertainya, suasana menjadi gelap, gelap gulita, hitam pekat. Lalu berakhirlah semuanya. Tak ada lagi Surau Imam Malik, Tak ada lagi Muara Batang Gadis. Semuanya hanya tinggal cerita yang diwartakan melalui sejarah lisan, bahwa disana pernah ada kampung nelayan yang makmur, yang pernah menjadi daerah kawedanaan, yang telah banyak melahirkan cerdik pandai dan banyak ulama, tetapi kini telah hilang, karena ditinggalkan penduduknya dan tak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan Zaman.
*****
Telah banyak malam-malam dilalui Malik dengan ratapan dan jeritan pada sang Khaliq. Agar dia diberikan kesempatan untuk mengunjungi rumahnya di Baitullah, kalaupun tak dapat berhaji, umrahpun tak apa. Di rumah Allah itu, dimana kiblat semua umat berada, Malik akan mengadu, meminta dengan sepenuh harap, agar anaknya yang sudah jadi orang diperantauan ada yang pulang untuk meneruskan perjuangannya, menghidupkan kembali Surau Imam Malik yang nyaris koma. Mengembalikan kembali “batang terandam” pada Muara Batang Gadis. Mengembalikan Muru’ah Batang Gadis yang nyaris punah, berharap akan ada pembaharuan yang memang dia telah gagal untuk melakukannya..
Pada siapa lagi dia akan mengadukan masalah umat ini, jika bukan pada sang Pemilik Alam Semesta itu sendiri. Pada Haji Adenanjelas tak mungkin, beliau telah berpulang ke rahamatullah, pada anak-anaknya juga tak mungkin, mereka sudah menjadi orang hebat di seberang, dilingkar kekuasaaan, mereka sudah melupakan tanah kelahiran dan tanah leluhurnya. Begitu juga anak-anaknya sendiri, mereka yang Malik kirim untuk sekolah ke Seberang agar menjadi orang lalu kembali membangun negri, tak kunjung kembali. Bahkan ketika mereka sudah memiliki segalanya, tak ada kontribusinya untuk Muara Batang Gadis.
Tak terasa, waktu terus berjalan, mata Malik makin nanar memandang lapangan lengang dihadapannya, senja temaram makin turun merengkuh sunyi lapangan kosong itu. Mentari sudah tergelincir ke ufuk barat, membawa serta sinar yang menyertainya, senja makin kehilangan rona, pertanda waktu Maghrib akan segera tiba. Tak terasa ada dua bulir cairan bening yang jatuh dari mata tua Malik.
Malik berdiri, kembali memasuki surau tua itu. Kembali mengumandangkan Adzan Maghrib, mengisyaratkan penduduk Muara Batang Gadis untuk menunaikan kewajiban Magrib yang telah tiba. Seruan yang tak tahu, hingga kapan akan dapat dilakukannya.
*****
“Assalamu’alaikum” ucap Malik, sambil menoleh kekanan, lalu mengucapkan kalimat yang sama sambil menoleh ke kiri, sebagai isyarat bahwa sholat Maghrib telah ditunaikan. Tak ada yang berbeda dengan Ashar tadi, surau ini tetap sunyi. Hanya ada seorang Asing yang menjadi makmum sholat Malik. Malik tak memperdulikannya, dia lalu membaca wiridan dan do’a sebagaimana yang bisaa dilakukannya setelah selesai mengerjakan sholat berjamaah, hingga akhirnya ketika semua selesai, Malik menyalami makmum yang masih setia duduk dibelakngnya.
“Ustadz Malik lupa ya?” tanya makmum itu, ketika mereka bersalaman.
“Iya… mohon maaf, mungkin karena sudah tua” jawab Malik, dia tak berani tanya siapa, takut salah tanya, maklum orang ini, begitu bersih, manatau dia pejabat dari Madang yang kebetulan singgah di Suraunya.
“Saya Hasyim Tadz, anak Almarhum haji Adenan”
“MasyaAllah… “ hanya itu yang dapat keluar dari bibir Malik, mereka lalu berpelukan.
“Ustadz, sehat?” tanya Hasyim lagi.
“Alhamdulillah sehat… hanya surau ini makin mengkhawatirkan saja”
“Iya tadz, saya paham, makanya saya sengaja mau bicara sama ustadz, kalo ustadz setuju?” kata Hasyim lagi
“Tentu saja setuju, jika itu untuk sesuatu yang lebih baik” jawab Malik lagi.
Lalu, Hasyim pun mengutarakan niatnya. Beliau kini telah memasuki usia pension, beliau telah merintis usaha perkebunan yang cukup berhasil di daerah Madang, rencananya, beliau akan memugar Surau tua itu menjadi Mesjid yang cukup besar, lalu belakang surau itu, yang merupakan masih Tanah almarhum haji Adenan, akan didirikan SDIT, jika perkembangannya baik, maka akan dilanjutkan dengan SMP IT, setelah SDIT berjalan, tugas Malik tetap akan mengajar mengaji, tetapi bukan mengajar anak-anak SDIT, melainkan untukguru-guru SDIT, Malik akan tetap menjadi Imam Mesjid itu, paling tidak untuk guru-guru SDIT yang tinggal di Asrama di komplek SDIT itu.
“Bagaimana pendapat ustadz Malik?” tanya Hasyim
“Itu ide yang baik, saya setuju sangat” jawab Malik
“Masih ada satu lagi Tadz..”
“Apa itu?” tanya Malik lagi, apakah masih kurang cukup, ide yang baik itu, hingga masih ada yang perlu ditambahkan.
“Besok pagi kita kita akan ke Madang, saya akan jemput Ustadz, kita akan membuat passport untuk Ustadz, ustadz akan saya berangkatkan Umrah… saya harap Ustadz akan berdo’a disana, hingga rencana kita ini dipermudah olehNya” kata Hasyim lagi. Tak ada yang bisa dikatakan Malik lagi, semuanya terjadi diluar perkiraannya, ada tetes bening yang bergulir dari kedua matanya, peristiwa ini, sangat mengharukan Malik.
*****
Surau Imam Malik itu, kini telah hilang, ditempat yang sama, telah berdiri Mesjid yang Megah, namanya tetap Nurui Iman, tetapi masyarakat, tetap lebih mengenalnya dengan sebutan Surau Imam Malik. SDIT hanya bagian saja dari perguruan pada Surau Imam Malik, perguruan ini kini sudah ada SMA dan Pesantren Modern selevel Kuliyatul Muallimin dan Perguruan Tinggi, cita-cita alhamrhum Malik agaknya akan segera terwujud, arahnya jelas, menapak jalan yang semakin pasti, membawa kembali Muara Batang Gadis menuju marwahnya, sebagai tempat lahirnya cerdik pandai dan ulama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H