Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kusumbangkan Pemuda Ini untuk Indonesia

16 Oktober 2014   19:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:46 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan di Indonesia sedemikian akutnya, berbagai usaha telah dilakukan, namun kemiskinan itu,masih juga tak beranjak pergi. Tentu ada yang salah dalam management negri tercinta ini.

Bermula dari era pak Harto, pembangunan dilakuan dengan system top down, hasilnya berakhir pada krisis moneter, masyarakat miskin masih berjibun, masih diangka dua digit. Lalu pemerintahan berganti, pola pembangunanpun berganti jika masa orde baru dengan pola top down, maka pola pembangunan Pasca era orde baru menggunakan pola Bottom up. Masyarakat diajak untuk ikut menyumbangkan saran, berupa apa yang mereka butuhkan untuk daerah mereka. Sehingga ketika pembangunan dilakukan, apa yang dibangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Istilah sederhananya, ketika pemerintah orde baru memberikan sepatu pada masyarakat, maka pada era Pasca orde baru, masyarakat dapat menyuarakan nomer sepatu yang mereka butuhkan nomer sekian, sehingga sepatu yang mereka terima sesuai dngan kebutuhannya. Semua itu tertuang dalam RPJM. Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Namun, sekali lagi, pola pembangunan model begini, belum mampu mengentaskan kemiskinan.

Jika pola pembangunan Zaman orde baru diistilahkan sebagai ayah, lalu Pasca orde baru disebut sebagai ibu. Jika pola ayah dan pola ibu, ternyata gagal mengentaskan kemiskinan. Kemudian, timbullah pemikiran, bagaimana jika ayah dan ibu dikawinkan saja, sehingga akan timbul pola pembangunan alternative lain, sebagai anak, dari hasil perkawinan antara ayah dan ibu.

Pola alternative ini, menghasilkan pola pembangunan yang pada bagian-bagian tertentu masih menggunakan pola Top down, pada bagian-bagian tertentu menggunakan pola Bottom up, dan pada pada bagian-bagian tertentu menggunakan pola gabungan antara kedunya.

Pola Top down, untuk yang sifatnya nasional, dimana kebutuhan itu, diperlukan untuk seluruh daerah, pekerjaan ini sifatnya memiliki skala besar, dana besar dan dikerjakan oleh tenaga yang memiliki keahlian khusus.

Pola Bottom up, sifatnya sangatkedaerahan, bahkan pada bagian yang paling kecil, Desa. Pola inilah yang diatur dalam UU Desa no.6 taun 2014. Sifatnya skala kecil, dana yang dibutuhkan juga kecil, pada kisaran angka sekitar satu milyard, dikerjakan dengan tenaga yang tidak begitu akhli, atau Madya. Meliputi pekerjaan infrastruktur perDesaan dan pengembangan ekonomi perDesaan.

Pola gabungan antara keduanya, adalah pekerjaan yang meliputi gabungan beberapa Desa dalam satu kecamatan atau beberapa kecamatan dalam satu kawasan. Inilah yang disebut dengan pola pembangunan yang berpola Kawasan. Pada pola ketiga, masih dibutuhkan tenaga akhli, dana yang dibutuhkan tidak begitu besar, hanya pada kisaran 5 M hingga 10 M.

Kini, timbul pertanyaan, bagaimana Desa dapat mengelola dana pembangunan dengan angka satu Milyard itu? Sebab, kegagalan dalam mengelola dana satu milyard, akan berimbas pada sanksi hukum, mengingat angka satu Milyard sudah masuk pada ranah KPK. Akankah kelak, para Kepala Desa, menjadi pesakitan dari KPK? Mengingat selama ini, hanya para Bupati dan jajaran yang selevel dan diatasnya yang menjadi pesakitan KPK. Jika hal demikian terjadi, bukankah dana pembangunan Desa satu Milyard tidak sesuai dengan tujuan awal digulirkan. Dana yang awalnya dimaksudkan agar terjadi percepatan kesejahteraan di Desa, kini berubah menjadi malapetaka untuk Desa itu sendiri.

Kegagalan dalam mengelola dana pembangunan Desa, bukan hanya disebabkan kenakalan Kepala Desa, tetapi, bisa juga disebabkan karena tidak tersedianya tenaga dengan kemampuan madya di Desa. Langkanya tenaga Madya inilah yang akhirnya menyebabkan kegagalan, sehingga akibatnya akhirnya, menjadikan kepala Desa sebagai pesakitan KPK.

Sadar akan kebutuhan akan tenaga dengan kemampuan Madya, serta tahu akibat dari ketidak tersediaan tenaga madya itu, maka saya mendirikan lembaga pendidikan yang dimakudkan untuk melahirkan tenaga-tenaga madya yang kelak akan berkiprah dalam proyek pembangunan di Desa, sehingga percepatan kesejahteraan Desa dapat tercapai, tanpa menimbulkan ekses negatife, berupa dikandangkannya kepala Desa oleh KPK.

Kusumbangkan pemuda-pemuda Desa ini untuk Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan akan syarat dipenuhinya kesejahteraan di Desa.

Tetapi, tak ada gading yang tak retak, tak ada hal yang dapat sempurna jika hanya dikerjakan oleh orang perorang. Pendidikan yang saya lakukan hanya bermodalkan empat computer, system pembelajaran dengan system non profit, artinya, tak ada profit oriented disana, sedangkan kebutuhan akan tenaga ini sangat besar dan mendesak, mengingat jumlah Desa di Indonesia pada angka 78.609 Desa. Maka idealnya, jenis pendidikan yang saya lakukan dikerjakan banyak orang atau badan swasta lain. Bisa juga untuk mereka yang peduli akan jenis pendidikan ini, membantunya dengan peralatan yang dibutuhkan.

Apapun kondisinya, pekerjaan menyumbangkan pemuda untuk Indonesia akan tetap saya lakukan. Hanya waktu kelak, yang akan menilai, apakah sumbangan ini, akan menjadi manfaat atau sebaliknya. Saya akan terus berbuat, sekecil apapun itu konstribusinya untuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun