"Aneh," Jawabku. "Aku penasaran, apa yang mereka lakukan di situ?"
"Na, ingat pesan Pak Kades tadi. Jangan hiraukan apapun yang kamu lihat dan kamu dengar jika itu tak biasa."
Aku menoleh ke arah Laila. Dia benar. Pak Kades sudah berpesan seperti itu sore tadi, selepas makan malam.Â
"Bapak ingatkan pada kalian, nanti jika kalian mendengar sesuatu yang tak biasa, jangan hiraukan. Pura-pura tak mendengar saja, lanjut tidur."
"Kenapa, Pak?" tanyaku penasaran.
"Saya tidak bisa menjelaskan, cukup lakukan saja. Selamat malam, selamat tidur. Jangan lupa berdoa." Pak Kades meninggalkan kami berdua di kamar ini.
Seminggu yang lalu Ibuku yang seorang penjahit terkenal, mendapat pesanan sebuah kebaya kutu baru warna merah marun, sebuah kain jarik motif parang kusumo, dan selembar selendang senada. Pemesannya bernama Ratih Ayu, tinggal di desa ini. Dia sudah membayar lunas pesanannya, dan minta diantar sore ini. Aku ditemani Laila bersemangat mengantarkan pesanan itu sesuai dengan alamat yang ditunjukkan Ibu. Tetapi tak ada yang mengenal orang tersebut, bahkan mereka meyakinkanku, tak ada penduduk desa itu yang bernama Ratih Ayu.
Hari menjelang mahrib, aku memutuskan untuk menemui Pak Kades. Aku yakin beliau punya data seluruh warga desa ini. Ternyata nama tersebut tak ada dalam daftar warga desa. Pak Kades berjanji membantu esok hari. Karena hari sudah gelap, beliau menawarkan kami menginap di rumahnya.
"Benar, La. Ayo tidur lagi."
Kami kembali berbaring di atas kasur tipis dipan kayu itu. Laila menarik selimutnya, mengangkatnya hingga ke leher. Sedetik kemudian dia langsung terlelap. Akupun berusaha memejamkan mata.
Ning nong ning nong ....