Mohon tunggu...
isyesoentoro
isyesoentoro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nyanyian Fajar

13 Desember 2011   11:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Yusuf membuat flu saya reda. Ia yang berniat kuliah eko-nomi terpaksa meng-ambil jurusan kepen-detaan, sebab uang-nya tak cukup untuk biaya masuk. Masa kuliah itupun harus ditempuhnya selama sepuluh tahun, lagi-lagi karena biaya yang harus dicarinya dahulu dengan membanting tulang sekuat tenaga. Waktu boleh membungkus segala sisi kehi-dupannya yang paling kelam sekali pun, tetapi tidak dengan cita-citanya. Ketika ia berusaha menjauh selalu saja ada jalan untuk kembali. Kesempatan itu kerap terbuka tanpa sanggup ditolaknya. Ia akhirnya harus berdamai de-ngan jurusan bukan pilihan hatinya. Ia terus berusaha mengerti makna yang tersimpan di balik segala keinginan dan rencana dengan kenyataan yang dihadapinya. Baginya Tuhan sedang mengasah kesanggupannya. Meski kadang sejuta tanya ia adukan dalam doa, tentang segala beban yang harus dilalui. Mengapa Tuhan..., mengapa Tuhan? Begitu keluhnya tanpa henti. Hingga air matanya pun berurai, ketangguhan-nya pun sirna. Perja-lanan panjang yang te-lah dilaluinya belum lagi berakhir. Ia kini tengah menghitung hari. Saat buku ini terbit tentunya Yusuf sudah boleh berbangga deng-an jubah kebesarannya sebagai seorang wisudawan. Toga lambang pengakuan almamater terhadap ilmu yang kini dalam genggamannya, boleh jadi membuat kepalanya dapat lebih tegak menatap kesu-litan di ujung sana. Saatnya untuk tersenyum. Melupakan sejenak perjalanan sepuluh tahun yang melelahkan. Hampir empat jam saya mendengar kisahnya. Saya pun paham ada yang "keterlaluan" telah saya lakukan. Sejak tadi sebenarnya sensor alam bawah sadar saya sudah memberi tanda. Tapi tak saya hiraukan, karena saya tak rela kehilangan kisah Yusuf yang begitu tajam menikam dada. Mengha-rukan, seharu cinta terlarang. Sedih, sesedih kepergian kekasih tercinta. Senang, seriang merebut impian. Detik demi detik mencekam, membuat saya tak rela menghentikan kisah.

Karena untuk menciptakan emosi wujud dari ingatan yang terurai diperlukan tempo. Tem-po itulah yang tetap saya jaga. Akibatnya saya tidak memberinya segelas air sebagai penawar dahaga! Setelah segalanya reda, saya pun berulang-ulang meminta maaf dan segera berlari ke dapur. Mengambil segelas air putih, Yusuf meneguknya hingga tandas.

Kami berpisah.

Yusuf sudah menghilang dari pandangan saya, tetapi kisahnya tetap melekat, erat, dalam batin ini. Kini saya mengerti mengapa sepupu saya yang berprofesi sebagai dosen begitu bersemangat meminta saya bertemu dengan Yusuf. Saya paham mengapa ia begitu ngotot sampai-sampai tak memberi saya pi-lihan.

Bila saja kisah Yusuf kemudian saya tulis dalam sebuah buku kecil yang tak seberapa tebal ini, tak lain dise-babkan dorongan untuk membagi kisah men-jadi sebuah bahan perenungan kita bersama.

Boleh jadi ada beberapa pihak yang tak se-nang dengan buku ini karena saya berusaha untuk selalu jujur pada fakta dan data. Selama segalanya dilihat dengan kacamata kearifan maka tak perlu prasangka dan kecurigaan ber-main di ranah tak bertuan. Segalanya menjadi manis bila saja hati yang lapang selalu mem-beri tempat pada segala ketidak sempurnaan.

Pada akhirnya biarlah buku ini bisa memberi arti, sekecil apa pun itu.

Sekaligus saya mengucapkan terimakasih tak terkira pada Doli Situmeang, pada Anas. Pada kakak dan adikku tercinta Butet, Tio, Osye, Erlin, Denny, Ina. Khususnya Butet, Ancah, Erlin, Denny dan Ina sekali lagi terima kasih atas doa dan semangatnya. Pada semua teman di FB yang memberi dorongan dan "tekanan" penuh! Saya sebut tekanan karena setiap bertemu dengan mereka selalu ditanya, "Bagaimana, sudah jadi bukunya?" Namun, karena itulah buku ini bisa mulai dan berakhir dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Kepada Yusuf Ayakeding, semoga buku ini menjadi catatan bagimu untuk selalu mengingat betapa Tuhan tak pernah berpisah da-rimu. Meski sejengkal jarak sekalipun. Tetap-lah maju jangan pernah ragu.

Isye Soentoro

Inspirasi Motor Bambu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun