Sidang itsbat dikoordinasikan oleh Kementerian Agama. Kemudian juga haji dan umrah diurus oleh institusi ini. Namun dengan iktikad dan ikhtiar itu selalu saja menghadirkan kisruh. Sementara hisab dan rukyat dua metode yang berbeda. Maka, hasilnya pasti juga akan menemukan ujung yang berbeda. Perlu beberapa catatan untuk memainkan peran ini.
Lalu dimana Kementerian Agama?
Sepatutnya Negara tidak perlu mengurusi Puasa. Biarkanlah masyarakat melalui institusi masyarakat sipil yang mengurusi. Kalau mau? Ada jalannya. Gunakan ilmu pengetahuan yang terbaik. Tempat terbaik dan dengan personil terbaik.
Kita punya laboratorium astronomi, maka rukyatul hilal dilaksanakan di tempat ini. Pantai-pantai indah dan tidak tertutup mendung ada di Papua dan Aceh. Maka, rukyatul hilal dilakukan di tempat-tempat ini. Lalu personelnya? Terjunkan para ilmuwan yang terampil di bidang falak dan juga pakar-pakar dari laboratorium astronomi.
Kalau saja, hanya sekedar rapat, maka lebih baik Kementerian Agama memberikan porsi perhatian pada soal lain yang lebih penting. Karena dengan semata-mata siding isbath dengan menghabiskan anggaran dan waktu, sementara ikhtiar yang dilakukan sangat terbatas. Rukyatul hilal semata-mata menggunakan alat manual dan dengan mata telanjang. Tentu mata mempunyai keterbatasan. Hal yang juga susah diterima nalar, mendung dijadikan sebagai alasan tidak terlihatnya hilal.
Kalau semua kekuatan terbaik dan cara terbaik dilakukan tetap saja muncul perbedaan, maka itu sah-sah saja. Urusan keyakinan tidak bias dipaksakan, apalagi kalau itu dalam urusan beragama. Kementerian Agama harusnya menjadi fasilitator bagi kemajemukan beragama. Termasuk dalam urusan internal agama masing-masing.
Bagaimana ke Depan?
Perbedaan hakiki bukan pada metode. Sesungguhnya yang berbeda adalah kesepakatan tentang derajat wujudul hilal. Kalau dengan negara tetangga se Asia Tenggara saja bias sepakat, maka tentu akan lebih mudah kalau itu urusan dalam negeri Indonesia sendiri. Kementerian Agama dapat berperan sempurna dengan menyatukan perbedaan antara semua elemen masyarakat tentang derajat yang disepakati untuk dijadikan patokan sebagai wujudnya hilal.
Atau paling ringkas, serahkan saja ini kepada masing-masing warga Negara untuk menentukan sendiri. Tanpa perlu campur tangan pemerintah. Biarlah Kementerian Agama fokus pada tata kelola pemerintahan yang baik, lalu bagaimana upaya terbaik menghadirkan agama dalam ruang publik yang ramah. Masalah utama kita adalah agama hanya hadir di ruang ibadah. Tetapi tidak hadir dalam bangunan publik. Akibatnya, agama menjadi ritual semata, tetapi bukan menjadi amalan keseharian.
Ada ketidakmampuan jajaran Kementerian Agama dalam mengemban misi kebangsaan. Mestinya agama harus dijadikan sebagai landasan dalam mengelola negara. Malangnya, justru pengadaan al-Quran dan perbaikan laboratorium madrasah tetap dikorupsi. Lalu bagaimana dengan yang lain?
Untuk kemasalahatan umat manusia saja selalu tidak sejalan dengan prinsip keagamaan. Apatah lagi kalau itu untuk kepentingan politik semata-mata. Maka, penentuan 1 ramadhan dan 1 syawal sudah digunakan sebagai alat politik. Tidak murni lagi menjadi urusan keagamaan. Kalau begitu, 1 ramadhan dan 1 syawal cukuplah menjadi urusan Kementerian Dalam Negeri. Kalau perlu ada komisi khusus yang dipilih untuk masa jabatan lima tahun dalam mengurusi kalender hijriyah ini.