Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Ada Keistimewaan Jokowi

9 Januari 2014   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rabu (8/1) transit di Jakarta, tidak lebih dari 48 jam. Dalam perjalanan ke Bangkok, penerbangan Garuda Indonesia tersedia penerbangan langsung dari Ibu Kota. Hujan menyambut sejak di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, mengantar hingga ke pusat Jakarta.

Ini kota yang dipimpin Jokowi. Sebagai Gubernur, maka sudah menjadi tata administrasi pemerintahan yang kita anut, komandannya adalah Gubernur. Kesempatan untuk merealisasikan ide dan inovasi juga terletak di tangan gubernur. Dasar hukum Otonomi Daerah, menjadikan keinginan, mimpi, dan angan yang ingin diwujudkan pribadi pemimpin daerah dapat saja diterapkan. Setinggi apapun mimpi itu.

Perjalanan dari stasiun Sudirman, Dukuh Atas, ditempuh satu jam empat puluh menit dengan ongkos enam puluh ribu. Hujan membuat air yang tumpah dari langit menggenang sampai tiga puluh sentimeter. Memperlambat gerak kendaraan. Sementara membawa koper dan sebuah tas dengan laptop menjadi agak sukar untuk bergerak di kereta. Sehingga pilihannya pada taksi.

Sepotong Malam di Matraman

Begitu usai menyimpan barang, bergerak untuk mengisi perut. Pilihannya ke arah Matraman. Malam ini menginap di kawasan Manggarai. Sedepa dari stasiun Manggarai.

Ditemani dua orang sahabat terbaik, Abdurrahman, lulusan universitas terkemuka di Thailand, sekarang menjadi bankir muda berprestasi dengan posisi manajemen pada bank yang berkantor pusat di London. Sementara kawan yang satu, aktivis mahasiswa di universitas ternama Jakarta. Syamsul Mubarak, qari, nasyider, relawan, dan banyak lagi status yang disandangya. Keduanya menjadi kawan ngobrol malam itu. Sembari menandaskan segelas kopi. Entah, beberapa pekan terakhir pilihan minuman saat santai justru pada segelas kopi. Padahal, sejatinya saya peminum teh.

Tidak membatasi diri pada minuman itulah, antara teh dan kopi kemudian saya menghabiskan segelas ukuran sedang. 7-Eleven, kedai aneka barang yang awalnya adalah Fuji Film, menjadi pilihan tempat santai. Dengan hanya membayar minuman, dengan pelbagai macam pilihan makanan ringan, tempat juga sudah disediakan. Melengkapi kedai dengan tempat seperti ini merupakan daya tarik tersendiri. Dimana Alfamart, dan kedai sejenisnya hanya semata-mata Kedai.

Begitu malam memindahkan tanggal ke putaran baru, kami bertiga bergegas meninggalkan kedai ini. Sementara masih beberapa meja lagi terisi dengan obrolan. Sekilas ketika menuruni tangga, tersedia sebuah ruangan yang dilengkapi dengan papan tulis. Dugaan saya, ruangan ini disediakan untuk pertemuan. Dimana dinamika kehidupan Jakarta yang senantiasa beriringan dengan bisnis dan usaha, menjadi perlu untuk melengkapi kedai dengan tempat bertemu. Ide yang cemerlang. Usaha yang dibangun setelah riset dan menjadikan kebutuhan dasar sebagai layanan.

Jokowi yang (tidak) Istimewa

Salah satu obrolan malam itu adalah tentang Jokowi. Keberhasilan menggarapa potensi pemilih dengan pendekatan tertentu. Kotak-kotak yang menjadi seragam pasangan dan juga tim kampanye menjadi ciri khas. Menurut Barak, begitu panggilan akrab Syamsul Mubarak, salah satu segmen yang berhasil diajaknya untuk memilih adalah kelompok mahasiswa. Padahal, dengan segala kekuatan birokrasi yang dipegangnya, Fauzi Bowo calon gubernur petahana yang menjadi rivalnya dapat saja menggunakan camat dan lurah untuk menjadi ujung tombak sosialisasi. Secara terselubung pula dapat digunakan sebagai tim kampanye.

Hanya saja dengan kekuasaan Fauzi Bowo itu, kekuatan Jokowi dan Ahok mampu menumbangkan pasangan lain dengan dua putaran. Baligho, spanduk, dan atribut kampanye yang menghabiskan banyak anggaran tidak digunakan sebagai pilihan utama. Justru sebuah langkah yang dikenal dengan istilah blusukan justru digunakannya dalam masa kampanye. Kunjungan ke pelosok Jakarta dilakukan. Menyapa masyarakat yang menjadi konstituennya.

Ini bukan cara baru. Alifian Mallarangeng dalam pemilu 2004 menjadikan ini sebagai salah satu cara kampanye. Menyambangi Senen dan kawasan lain yang menjadi kantong-kantong pemilih. Namun, Jokowi berhasil melangkah dengan cara ini dengan kekuatan penuh. Menggerakkan tim kampanye secara menyeluruh. Hasilnya kita sudah tahu semua. Gubernuran, ditempati Jokowi.

Lalu apa istimewanya Jokowi?. Tidak ada sama sekali. Hanya saja, menggerakkan pedagang kaki lima untuk memenuhi badan jalan. Kemudian, memindahkan penduduk yang selama ini menempati lahan waduk. Sehingga taman bisa lagi dibangun. Mencoba mengatasi banjir dengan mengecek langsung gorong-gorong. Tidak mengecek saja, tapi turun ke selokan dan merabanya.

Begitu juga, saat Ramadhan. Penjual kue untuk persiapan buka puasa di Benhil disapanya. Begitu akan pulang, membeli kue-kue itu untuk buka puasanya dan rombongan yang menyertainya. Diperkenalkan sistem lelang jabatan. Hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan adimistratif serta lulus tes yang diberikan kewenangan mengatur Jakarta. Akhirnya, model lelang ini menjadi trend penempatan pejabat.

Pesta rakyat digelar secara berkala. Malam tahun baru, dijadikan menjadi pesta untuk semua. Bagi yang berkantong tipis, dengan mengunjungi Monas dan Bundara HI, dapat menikmati musik yang beragam. Tergantung selera, dangdut, keroncong, rock, semuanya tersaji. Masyarakat kemudian merasa ada yang memperhatikan.

Ini yang istimewa. Beliau hadir di tengah masyarakat. Mengetahui betapa susahnya hidup dengan kemacetan. Tempat mengadu, karena mudah ditemui. Bukan saja di balaikota tetapi di banyak tempat. Apalagi media dalam jaringan senantiasa memberikan berita pergerakan beliau. Berit-beritanya terasa dekat.

Kehadirannnya, menjadi sebuah kado istimewa. Betapa susahnya bertemu pejabat. Protokoler yang berbelit-belit, gaya pakaian yang tidak sama dengan rakyat. Tetapi itu semua bukan gaya Jokowi. Hanya dengan baju putih yang digulung lengannya, semua ejekan dan celaan tidak diladeni, bekerja menyenangkan rakyat, selalu tepat mengambil solusi.

Kalaulah ini menjadi tipikal semua pejabat Indonesia, maka Jokowi tidak memiliki keitimewaan apa-apa. Hanya karena hadir sendiri dari ratusan orang yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun