Dengan dukungan Garuda Indonesia (GA), kesempatan untuk berkunjung ke Thailand dalam rangka pertemuan dengan Asean University Network (AUN) dan Mahidol University, dapat terwujud awal tahun ini. Cuaca cerah, kendaraan yang dapat melaju sampai kecepatan 80 perjam, serta antrian lapor diri dan pemeriksaan paspor di imigrasi mengiringi keberangkatan.
Ketika beranjak dari Stasiun Gambir, menuju ke tempat parkir bis Damri yang khusus menuju bandara Soekarno-Hatta, langkah terhenti ketika ada tawaran sopir taksi yang meneriakkan harga Rp. 50.000. “termasuk pembayaran toll ya?” tanya saya. Sang sopir pun menjawabnya “iya, nanti saya ambil penumpang tambahan ya!”.
Tiba di bandara masih ada satu jam empat puluh menit sebelum boarding. Fasilitas kartu kredit yang saya miliki memungkinkan untuk masuk ke lounge, tersedia lounge Mutiara. Tidak selengkap yang ada di penerbangan domestik, tetapi ini sudah lumayan. Hanya membayar Rp. 1, kemudian dapat memanfaatkan seluruh fasilitas yang disediakan, aneka kue, makan siang, minuman, kulkas yang penuh dengan buah dan minuman bersoda, juga fasilitas internet.
Begitu sepuluh menit sebelum boardin menuju ke pintu E6, khawatir tidak mendengar panggilan. Karena sepertinya suara panggilan tidak terdengar nyaring. Sementara masih ada proses imbas yang juga dilalui. Dengan perkiraan sepuluh menit itu cukup santai untuk sampai ke pintu keberangkatan.
Pesawat yang digunakan GA ke Bangkok masih Boeing 787. Sementara dari Makassar sudah menggunakan Air Bus. Mungkin, rute ini masih relatif sepi dibanding peminat Makassar ke Jakarta. Makan siang yang disediakan sangat spesial. Ikan yang dibalut dengan telur dadar. “hidangan lezat” sahut saya ke pramugari yang bernama Putri ketika mengangkat peralatan yang sudah digunakan. Diapun menawari untuk menambah. Tapi saya tersenyum saja seraya berkata “kelezatannya akan berkurang kalau menambah satu porsi lagi”.
Setelah menyelesaikan santapan siang, mencoba ngobrol dengan penumpang yang ada di sebelah kiri. Saya menyalaminya dan bertanya “tinggal di Bangkok?”. Rupanya beliau orang Thailand tetapi menguasai bahasa Indonesia dengan sangat fasih. Sudah tiga belas tahun di Indonesia, sekarang perusahannya berlokadi di Dobo, Maluku. Penangkapan ikan menjadi pekerjaan sehari-harinya dengan perusahaan bernama “Pusaka Bahari”.
Sepertinya laut kita sudah dikuasai negara tetangga. Sementara daya ekspansi orang Indonesia tidaklah sekuat mereka. Laut sudah dikuasai, darat sejak dulu, sebentar lagi udara segerapun dikuasai asing. Ketidakmampuan kita mengurusi bandara dan menara pengatur lalu lintas, maka Australia, Singapura dan Malaysia bersiap-siap menawarkan teknologi yang mereka miliki. Sungguh ironis, ataukah pemimpin kita lebih sibuk mengurusi persiapan 2014 karena mereka menyebutnya “tahun politik”.
Padahal di Bangkok, demonstrasi bisa menjadi atraksi wisata. Usai mengadakan demo, mereka bersama-sama membersihkan jalanan dan mengumpulan sampah yan diakibatkan aksi demo mereka. Sebuah tindakan yang langka atau bahkan tidak ada sama sekali kita dapatkan di negeri yang kita cintai.
Sementara sepuluh perguruan tinggi Thailand sudah mengajarkan bahasa Indonesia, kita hanya UGM yang mengajarkan bahasa Thailand. Padahal ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN dibuka akan terjadi arus barang dan jasa. Lagi-lagi, Indonesia tidak akan siap menghadapi serbuan itu. Kemampuan penguasaan bahasa ASEAN kita tidak pernah terasah dengan baik. Selalu saja terlambat dan gagal memahami perkembangan dunia.
Bali cukup hanya menjadi tuan rumah ASEAN Summit, APEC, WTO, dll. Setelah itu ditutup, maka keriuhan juga berlalu. Tidak ada rencana tindak lanjut untuk mengapai peluang itu. Maka, kita hanya akan menjadi bangsa pelanggan, bukan produsen. Sementara bangsa lain berlomba-lomba menjadikan Indonesia sebagai wilayah “jajahan” baru.
Namun, ada juga Putra Indonesia yang punya daya juang yang bagus. Terlihat iklan bilboard Lion Thai Air ketika kereta Airport Ekspress melintas di stasiun Makkasan. Lion dengan merah putihnya sudah membuka ekspansi ke Thailand, ini akan menjadi capaian penting bagi perusahaan Indonesia.
Perjalanan Jakarta ke Bangkok tidaklah lebih lama dibanding Jakarta ke Kota Sorong di Papua Barat. Harga tiket pesawatpun lebih murah ke Bangkok dibanding ke Papua. Wajar saja, kalau pesawat GA yang saya tumpangi ini penuh dengan wisatawan Indonesia yang akan berlibur ke Bangkok, lagi-lagi devisa dan uang tunia terbang ke negara orang.
Turbulensi pesawat disertai arahan pilot untuk memasang sabuk pengaman menyadarkan kalau ternyata perlu usaha untuk menuju kemajuan Indonesia. Pesawatpun mendarat, disambut senja. Sementara kawan yang belajar di Mahidol University sudah menunggu di area kedatangan, sayapun bergegas untuk keluar dan ikut menikmati keriuhan Bangkok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H