Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok: Politisi yang Tidak Tahu Tata Krama

12 September 2014   05:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:55 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_358629" align="aligncenter" width="614" caption="sumber: www.deviantart.com"][/caption]

Anda tak perlu mengangkat senjata atau menyambung nyawa seperti para pejuang kemerdekaan kita dulu; cukup JANGAN KORUPSI saja; itu sudah menolong negara kita; (Ahok).

Saat Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil Ahok terpilih menjadi Wakil Gubernur Jakarta, maka inilah buah dari pilihan rakyat. Dengan pemilihan langsung, siapapun jika disepakati rakyat bisa saja menjadi pejabat publik. Tanpa melihat status etnisitas dan juga karakter pribadinya. Semuanya bergantung kepada rakyat. Proses ini melahirkan pemimpin seperti Risma di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, Daniel Pomanto di Makassar, Fahimah Iskandar di Kota Sorong, dan Suko Raharjo di Kabupaten Sorong.

Semuanya karena pemilihan diserahkan kepada rakyat. Kedaulatan rakyat dan adanya keinginan untuk memunculkan pemimpin yang tidak hanya populer tetapi juga memiliki kapasitas kepemimpinan yang memang selalu berpikir untuk orang banyak. Bukan hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan politisi seperti Ahok yang berasal dari etnis minoritas tetapi ada jalan untuk duduk dalam kursi kekuasaan.

Kalaupun ada kritik mengenai masifnya politik uang, itu semata-mata karena politisi yang tidak yakin akan kemampuan dirinyalah yang selalu menyediakan uang sogokan. Sementara bagi politisi yang memiliki kapasitas dan kemampuan, selalu saja banyak jalan yang tidak memerlukan uang untuk mendapatkan tempat di hari rakyat.

[caption id="attachment_358630" align="aligncenter" width="540" caption="Sumber: whatanews.net"]

14104503701965363207
14104503701965363207
[/caption]

Ahok kembali menuai perhatian ketika menolak sistem pemilihan Walikota, Bupati, dan Gubernur melalui DPRD. Partai Gerindra, tempatnya bernaung salah satu pendukung sistem perwakilan. Tidak setuju dengan sikap partainya, maka ia memilih untuk mengundurkan diri. Keluar ataupun masuk ke partai tertentu hanyalah soal pilihan bagi politisi. Partai politik adalah tempat mereka untuk beraktivitas. Hanya saja, keberanian Ahok untuk berbeda pendapat dengan partai yang memberikannya jalan untuk menduduki kursi wakil gubernur, merupakan sikap yang justru menuai pujian dari lintas kalangan. Tentu bagi petinggi Partai Gerindra, ini membuat gerah juga.

Dengan pengunduran diri ini, Prabowo Subianto, Dewan Pembina Partai Gerindra berkata “Kalau tahu tata krama. Kalau etika antar-manusia, ada norma-norma ya," komentar Prabowo menunjukkan ia juga tidak nyaman dengan pengunduran diri ini. Walaupun juga di akhir komentarnya ditambahkan “Kalau masuk suatu partai, mengundurkan diri dari partai (atau) keluar dari partai, itu hak politik. Tidak ada masalah". (Kompas, 10 September 2014). Bahkan beberapa pengurus partai lainnya justru mengusulkan pemecatan Ahok (Tribun). Pro kontra selalu saja menyertai segala gerak dan langkah. Maka, potensi pro kontra juga akan selalu menjadi bagian dari aktivitas Ahok.

Ukuran demokrasi tidak hanya pada soal pemilihan langsung. Walaupun juga tdak ada jaminan bahwa dengan pemilihan langsung akan menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Hanya saja dengan pemilihan langsung, selama satu dekade terakhir pemimpin yang peduli akan kesejahteraan rakyat mulai bermunculan.

Sepuluh tahun terakhir juga menunjukkan betapa korupsi menjadi masalah dan menjadi urusan yang harus diselesaikan segera. 318 kepala daerah dari 524 orang (Jawa Pos), 7 gubernur (Radar Pekanbaru), 2545 anggota DPRD (Republika), semuanya harus berurusan dengan pihak penegak hukum atas penyelewengan kekuasaan yang dilakukannya. Tetapi ini bukan menjadi alasan sehingga pemilihan langsung harus dihentikan. Tidak juga ada jaminan bahwa dengan pemilihan melalui lembaga DPRD kemudian korupsi akan berhenti begitu saja.

Kalaupun ini disebut sebagai kemunduran demokrasi, tidak sepenuhnya benar. Demokrasi ada soal memilih. Bisa saja pemilihan melalui sistem perwakilan. Sehingga demokrasi bukan hanya dengan pemilihan langsung. Sehingga penerapan pemilihan langsung maupun pemilihan melalui sistem perwakilan, keduanya tetap saja demokrasi. Hanya saja, ketika transformasi politik Indonesia yang sudah menggunakan sistem pemilihan langsung lalu berusaha dikembalikan oleh Koalisi Merah Putih menjadi pemilihan lewat DPRD, sepertinya tidak berada di waktu yang tepat. Dimana dengan pemilihan langsung rakyat dilibatkan langsung untuk menentukan pilihan.

Jikalau dengan dalih politik uang, maka praktik yang terjadi selama ini hanya karena peluang yang juga diciptakan oleh politisi. Saat para politisi berusaha meraih kekuasaan dengan niat dan jalan yang baik, tentu saja politik uang akan segera berakhir. Namun, bagi politisi yang busuk, dengan uanglah mereka meraih kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu untuk mengumpulkan uang.

[caption id="attachment_358631" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: finance.detik.com"]

1410450412598362882
1410450412598362882
[/caption]

Satu hal lagi, Ahok sudah memilih jalannya sendiri. Bagi kita, rakyat yang memilih kekuasaan tertinggi, akan memberikan hukuman kepada partai yang menghianati amanat dan mandat rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun