Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ini Beasiswa atau Beasiksa?: Mempertanyakan Beasiswa DIKTI

13 September 2014   05:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:50 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

DIKTI memberikan bantuan beasiswa untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Sebagai tanggungjawab pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, maka program ini merupakan sebuah keperluan bahkan mestinya dari dulu. Terobosan ini juga perlu diapresiasi karena memberikan kesempatan untuk memperluas cakrawala dan wawasan. Selama ini hanya lembaga donor saja seperti AMINEF, AusAid, DAAD, dll yang memberikan dukungan bagi pengembangan kapasitas generasi muda Indonesia.

Beberapa kendala dalam pelaksanaan beasiswa tersebut antara lain adalah pencairan. Tidak pernah tepat waktu. Kriteria tepat waktu di sini adalah setiap awal bulan. Kadang untuk tahun anggaran tertentu cairnya di bulan Oktober. Bagi mahasiswa yang mengalami kondisi ini harus mengutang terlebih dahulu. Ada juga professor yang mau berbaik hati mengirim surat ke bagian Pasca Sarjana untuk menunda pembayaran SPP. Sekaligus menalangi kebutuhan laboratorium untuk penelitian.

Itu bagi yang sudah mendapatkan beasiswa dan berada di negara tujuan. Sementara sebelum mendapatkan beasiswa sudah ada persyaratan mendapatkan LOA (Letter of Acceptance). Padahal, untuk mendapatkan ini perlu perjuangan tersendiri dan juga dana dalam memperolehnya. Penerjemahan dokumen menjadi terjemaan tersumpah, pengiriman berkas, tes bahasa Inggris, dan segala keperluan administrasi lainnya. Semuanya ditanggung sendiri oleh calon pelamar.

Tidak ada bimbingan apalagi supervisi dalam mendapatkan LOA. Setiap calon pelamar harus berjuang secara mandiri untuk memilikinya. Saat aplikasi dokumen juga tidak respon yang cepat untuk mengetahui status. Sehingga kadang dalam mengurus permohonan beasiswa selalu berharap-harap cemas. Sementara ketika menelpon ke kantor Dikti tidak juga mendapatkan informasi yang memuaskan. Sementara kalau mengirim surat eletronik, juga tidak terbalas dengan baik.

Tidak untuk membandingkan tetapi sekadar memberikan gambaran. Beasiswa IFP yang digelontorkan Ford Foundation memberikan fasilitas pelatihan bahasa Inggris selama sembilan bulan. Bahkan ada perpanjangan bagi yang belum menguasai bahasa Inggris sebelum keberangkatan. Selama proses pelatiha itulah calon mahasiswa dibantu untuk melamar ke perguruan tinggi yang sesuai dengan minat dan ketersediaan jurusan yang disetujui.

Tidak hanya belajar bahasa Inggris tetapi juga bagaimana operasional power point dan juga penggunaan SPSS. Termasuk pula pembekalan untuk beradaptasi ketika berada di negara tujuan. Kegiatan ini secara khusus disebut Pre Departure Orientation.

Bahkan saat berangkat dari bandara, seorang staf akan mendampingi saat check in dan nanti berpisah ketika sudah memasuki wilayah imigrasi. Sebuah perhatian untuk mengantar belajar sekaligus memberikan semangat. Semua itu tidak pernah ada dalam beasiswa DIKTI. Penerima beasiswa berangkat secara mandiri dan juga tidak mendapatkan tuntunan.

Padahal, dari penerima beasiswa itu tidak smeuanya pernah ke luar negeri. Tentu kecemasan akan menjadi bagian dari persiapan untuk berangkat. Sementara tidak ada satu orang yang mendampingi untuk memberikan informasi bagaimana kondisi perjalanan yang akan ditempuh.

Sepertinya apa yang dilakukan DIKTI bisa-bisa bukan menjadi beasiswa tetapi punya potensi untuk menjadi beasiksa. Uang yang diterima mahasiswa tidak digunakan sebagai biaya untuk belajar tetapi biaya yang ada merupakan penyiksaan. Mudah-mudahan anggapan ini tidak akan pernah terjadi. Karena apa yang dilakukan DIKTI dalam menyediakan beasiswa sesungguhnya adaah niatan untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat.

Hanya saja, niatan yang baik harus dijalankan dengan cara yang baik. Sudah saatnya DIKTI menyiapkan mekanisme yang lebih baik dan juga memberikan layanan. Karena ketika mahasiswa bermasalah di luar negeri, maka yang akan mendapatkan getahnya juga adalah DIKTI. Sampai muncul guyonan professor di Jepang kalau bukan beasiswa DIKTI namanya jika tidak bermasalah.

Begitu pula dengan komponen beasiswa harus mendapatkan proporsi yang lebih baik. Beberapa bidang ilmu perlu disediakan biaya riset sehingga akan membantu proses penyelesaian studi. Kalau ini diperhatikan dan juga mendapatkan perbaikan yang berkesinambungan, maka program beasiswa menjadi salah satu instrumen dalam meletakkan pondasi pendidikan Indonesia lebih baik.

Beasiswa juga akan menjadi sarana dalam membangun kapasitas generasi muda Indonesia. Pada saatnya mereka kembali tentu yang akan mendapatkan keuntungan sepenuhnya adalah rakyat Indonesia. Dengan demikian perlu perhatian DIKTI mulai dari menteri sampai staf untuk mengupayakan pelayanan yang terbaik bagi mahasiswa yang juga menjadi duta bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun