Mohon tunggu...
Inovasi

Jurnalisme Fakta di Bawah Dominasi Hoax

16 Januari 2017   07:05 Diperbarui: 16 Januari 2017   07:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Tahun 2016 menjadi salah satu periode kelam dalam dunia jurnalisme. Kebebasan pers sebagai "anak" dari era reformasi seharusnya membawa dampak positif bagi masyarakat khususnya sebagai upaya mewujudkan ”diversity of content" namun apa yang akan terjadi jika momen tersebut dijadikan oleh segelintir kelompok untuk menyebarkan hoax?. Tahun 2016 yang lalu menjadi tahun "berjayanya" hoax yang berseliweran di media massa, bahkan informasi hoax sangat mempengaruhi momen besar seperti yang terjadi di pilpres AS, banyak yang menuding kemenangan Donald Trump sebagai presiden sangat terbantu dengan informasi hoax yang bertebaran , konflik yang terjadi di timur tengah, hingga menteri pertahanan pakistan yang mengancam israel dengan senjata nuklir akibat berita hoax.

Dalam konteks indonesia hoax sendiri jelas sangat berbahaya, karena bisa berdampak pada terjadinya konflik vertikal dan konflik horizontal, terlebih menjelang momen-momen politik seperti pilkada serentak 2017 mendatang, informasi hoax jelas hanya menguntungkan pihak yang menjadi "distributor", seperti kasus posmetro dan nusanews yang memanfaatkan hoax sebagai mata pencaharian, dimana seperti yang dilansir oleh cnnindonesia penghasilan kedua portal berita tersebut dalam setahun bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 600 sampai 700 juta.

Dominasi Hoax dan tantangan jurnalisme

Hoax memang menjadi segmen baru dalam industri media massa saat ini, bahkan kehadiran informasi hoax mulai menggeser informasi yang bersifat faktual, terlebih dengan kehadiran media online yang memudahkan masyarakat dalam menemukan berita hoax bahkan membantu distribusi penyebaran berita hoax tersebut. Ada beberapa alasan mengapa berita hoax begitu sangat digemari, pertama adanya anggapan masyarakat yang menilai media-media mainstream sudah tidak cocok lagi untuk dijadikan sebagai referensi informasi karena stigma yang menganggap media mainstream hanya menyudutkan masyarakat kecil dan telah menjadi partisan, pada titik ini masyarakat mendapati titik jenuh dan kehadiran informasi hoax menjadi pilihan baru dalam referensi berita.

Kedua, akses terhadap ketersediaan berita hoax sangatlah mudah, platform media sosial seperti facebook dengan pengguna yang mencapai ratusan juta pengguna menjadi "lahan basah" bagi para distributor berita hoax untuk menjangkau masyarakat. Ketiga, "tebalnya" echo chamber "bilik gema" yang masih sulit ditembus oleh para jurnalis, echo chamber dalam konteks jurnalisme adalah kondisi dimana seseorang hanya  mencari informasi sesuai dengan apa yang mereka anggap benar. penelitian Brendan Nyhan dan Jason Reifler pada tahun 2012 yang berjudul Misinformation and Fact-checking: Research Findings From Social Science, menunjukkan hal tersebut dimana para audiens cenderung menolak informasi jika tidak sesuai dengan apa yang mereka anggap benar, walaupun informasi tersebut terdapat data yang valid, begitupun sebaliknya

Dominasi hoax atas berita fakta memang sangat mengkhawatirkan, olehnya itu beberapa cara telah dan akan dilakukan oleh pemerintah dan industri media untuk meminimalisir informasi hoax yang hanya akan menyesatkan masyarakat. Beberapa pihak akan mengadakan proses verifikasi untuk menghindari berita hoax, diantaranya google yang telah menyematkan fitur Fact-Checking Network untuk memverifikasi sumber berita yang dihimpun dari beberapa media, pemerintah sendiri melalui dewan pers berencana akan memberi "stempel" pada media-media yang memiliki kredibilitas sehingga memudahkan masyarakat untuk memilih rujukan media.

Sedangkan dari platform facebook sendiri sebagai pihak yang dituduh memfasilitasi bertebarannya berita hoax di dunia maya telah merencanakan beberapa langkah untuk mengantisipasi booming hoax, seperti yang dikutip dari kompas.com, ada tujuh langkah yang akan diambil oleh facebook, diantaranya, Sistem deteksi berita palsu (hoax) yang lebih yang andal, Mempermudah pelaporan berita palsu,  Menggandeng pihak ketiga berupa organisasi pemeriksa fakta untuk verifikasi informasi, Memberi label atau peringatan akan kualitas sebuah situs atau isi berita, Menampilkan artikel terkait yang berkualitas di bawah posting-an, Memblokir penayangan iklan dari pihak ketiga yang diketahui membuat dan mengedarkan informasi palsu, dan Kerja sama dengan jurnalis untuk memperoleh input.

Tahun 2017 menjadi babak baru pertarungan apakah hoax akan tetap mendominasi berita fakta sebagai rujukan dari masyarakat, ataukah menjadi titik balik bagi media untuk mengakhiri dominasi hoax yang semakin diresahkan. tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi media dan para jurnalisnya agar tidak terulang kembali "periode kelam" seperti yang terjadi di tahun 2016 yang lalu.

Muh. Iswar Ramadhan

Jakarta, 15 januari 2017

di Kantor infonawacita.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun