Mohon tunggu...
Iswara Rusniady
Iswara Rusniady Mohon Tunggu... Human Resources - Pustakawan

sekedar mencoba berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud featured Pilihan

Perpustakaan dan Pustakawan Perlu Sentuhan untuk Mengubah Paradigma

22 Januari 2020   13:31 Diperbarui: 6 Juli 2022   06:01 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto: pixabay via pexels)

Masih ingat peristiwa saat ketika Jokowi mengangkat mantan walikota di Jakarta, yang sebelumnya dinonjobkan, menjadi Kepala Perpustakaan Umum DKI Jakarta. pejabat tersebut sempat tidak mau dilantik menjadi Kepala Perpustakaan umum di DKI karena mungkin dianggapnya tempat bekerja di Perpustakaan hanya sebagai tenaga buangan saja. 

Kemudian kalau membaca berita di media cetak maupun media online (website), ada seorang guru bermasalah, kemudian oleh Kepala Sekolahnya tidak diberi jam mengajar, tetapi ditugaskan/ditempatkan di Perpustakaan Sekolah.

Hal ini mengesankan bahwa seseorang pejabat bermasalah atau guru bermasalah, harus dihukum secara pekerjaan atau "pekerjaannya dikerdilkan." Bila ditempatkan di Perpustakaan. 

Kemudian ada seorang Pustakawan lulusan PGT, yang bekerja atau ditugaskan untuk mengelola Perpustakaan sekolah, mendapat perlakuan berbeda dengan seorang guru.

Padahal jam kerja Pustakawan itu, sesuai dengan waktu jam sekolah dari pagi hingga siang. Tetapi ketika mendapatkan honor, jauh berbeda bila dibandingkan dengan seorang guru yang sama-sama sebagai honorer.

Para pustakawan yang bekerja di Perpustakaan Sekolah, sering mengeluh karena honornya kecil atau tidak sebanding dengan profesi guru.

Berdasarkan contoh kasus seperti tersebut di atas, kita dapat memperoleh gambaran bahwa, prediksi masyarakat terhadap tempat bekerja "perpustakaaan" masih dianggap lebih rendah, bila bekerja di tempat lain atau profesi pustakawan dianggap lebih rendah dari profesi lain. Mungkin masih ada anggapan yang bekerja di Perpustakaan sebagai tempat "penjaga gudang" yang tidak bergengsi.

Begitu juga sebaliknya yang berprofesi sebagai Pustakawan, bila bekerja di Perpustakaan Sekolah atau tempat lainnya, dianggap lebih rendah dari seorang guru, atau hampir sama atau disamakan dengan petugas Tata Usaha.

Begitulah diantara anggapan yang ada selama ini terbentuk, masih ada yang menganggap dari sebagian masyarakat terhadap yang bekerja di perpustakaan dan pustakawan di Indonesia, yang menganggap tidak penting atau masih memandang sebelah mata.

Hal itu mungkin terbentuk karena diakibatkan karena masih ada di dalam ingatan yang melekat di sebagian orang bahwa perpustakaan adalah gudang buku, hanya tumpukan buku-buku tua, ruangan berdebu dan sebagainya.

Karena itu untuk yang berkerjanya di tempat itu dianggap sebagai penjaga gudang buku. Karena memang melihat perpustakaan waktu dulu begitulah, karena tidak dikelola oleh tenaga yang terdidik di bidang ilmu perpustakaan, jadi bukunya tidak ditata, ruangan sumpek, berdebu, juga kadang tidak ada tempat untuk membaca, sarana penelusuran informasi (Katalog) tidak ada.

Paradigma Perpustakaan dan Pustakawan.

Prediksi masyarakat tentang perpustakaan dan pustakawan, sebagai gudang buku dan penjaga gudang buku, rupanya masih melekat diingatan dikalangan masyarakat tertentu.

Padahal paradigma Perpustakaan zaman sekarang jauh sekali dengan Perpustakaan Zaman dulu. Dimana koleksi perpustakaan sekarang bukan hanya buku saja, tetapi berbagai jenis karya cetak,karya tulis dan karya rekam, malah beberapa buku sudah ada yang beralih ke dalam bentuk ke format digital atau disebut e-book. Untuk majalah atau jurnal, dalam bentuk format digital e-jurnal, e-magazine, dan lain sebagainya. 

Penelusuran Informasipun sudah tidak lagi menggunakan Katalog manual (katalog kartu), tetapi sudah menggunakan alat terlusur otomasi, yang dinamakan OPAC (online public acces catalogue). Selain itu buku-buku sumber informasi sudah tersedia e-resource.

Karena pengelola perpustakaan bukan penjaga gudang lagi. Karena sekarang dikelola oleh para pegawai yang mempunyai skill di bidang perpustakaan yang diperoleh dari PGT jurusan Perpustakaan dan informasi.

Para pegawai perpustakaan yang disebut PUSTAKAWAN. Pustakawan tenaga profesi yang membutuhkan keahlian khusus yang didapat dari pendidikan lewat jalur pendidikan maupun lewat diklat pengelolaan perpustakaan ( Permenpan No.9 Tahun 2014).

Untuk itulah barangkali perlu mengubah paradigma bahwa perpustakaan sebagai gudang buku. Sekarang pola fikir masyarakat termasuk para pejabat/pemegang kebijakan perlu mengubah mindset tersebut, karena para pengelola perpustakaan sekarang tidak bisa sembarang orang, karena harus dibekali melalui pendidikan di jenjang PGT; D3, S1, dan S2 ilmu perpustakaan dan informasi serta diklat kepustakawanan. 

Pustakawan yang telah dibekali pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi, sangat jauh berbeda dengan pustakawan jaman dulu yang dikesankan sebagai penjaga gudang.

Dari tangan para pustakawan yang profesionalah yang bisa mengubah image perpustakaan sebagai gudang buku, sehingga bisa menjadikan Perpustakaan Modern, menjadi Pusat sumber informasi pengetahuan, pusat sumber keterampilan, sumber inspirasi dan sumber motivator mengubah kehidupan supaya lebih baik.

Selain itu ditangan para pustakawan itulah, bagaimana bahan pustaka menjadi mudah ditelusur/mudah dicari, mudah digunakan. Apalagi sekarang dengan perkembangan teknologi informasi, perpustakaan bukan hanya kumpulan buku tercetak, terekam dan digital saja, tetapi sudah ada yang semula bentuk tercetak, melalui tangan para pustakawan telah dirubah kebentuk format digital dikenal buku digital atau e-book, terutama buku-buku langka/naskah kuno.

Selain yang disebutkan itu, ada dibeberapa instansi/perusahaan tertentu menghususkan sebagai Perpustakaan elektronik/perpustakaan digital dikenal dengan istilah e-library.

Gedung perpustakaan yang dulu sering dianggap "Gudang buku" lewat sentuhan Pustakawan, telah berubah seperti contoh Perpustakaan Nasional yang mempunyai gedung berlantai 24 dan 3 basement, telah menjadi tempat yang menyenangkan dengan adanya ruang koleksi, ruang baca, ruang audio visual, ruang diskusi, ruang pemutaran film, ruang santai, dan dilengkapi sarana bacanya.

Begitu juga untuk menelusur informasi, bukan hanya menggunakan katalog manual tetapi sudah menjadi katalog elektronik dikenal "OPAC" (online public access catalogue). 

Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat seperti seperti ditemukan gadget/HP android yang berlayar sentuh. Sekarang HP bukan hanya sebagai alat untuk tilpon dan sms, saja, tetapi lebih dari itu bisa menemukan berbagai sumber informasi hanya dalam satu genggaman tangan.

Yang sebelumnya harus dengan Komputer atau laptop, untuk menemukan informasi dengan berselancar internet, tetapi sekarang lewat HP saja bisa berselancar mencari informasi. 

Perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat memunculkan penemuan baru baru dalam pencarian informasi dan sumber infomasi. Berbagai sumber informasi sudah banyak yang berubah format digital. Maka tidak heran Perpustakaan juga menyesuaikan pengelolaan koleksinya, tidak saja bentuk bahan pustaka berbentuk buku tetapi telah berubah ke bentuk digital.

Perubahan yang serba digital tersebut, lewat tangan para Pustakawan sekarang bahan pustaka yang tadinya hanya tercetak, sudah banyak yang sudah digitalisasi, dan sudah dapat di akses, bukan saja masyarakat yang berkunjung ke perpustakaan, tetapi yang tak dapat berkunjungpun masyarakat dapat mengakses perpustakaan tersebut dengan ipustaka, ipusnas, ikaltara, ikalbar dan masih banyak yang lainnya.

Kondisi perpustakaan dan pustakawan dulu dengan sekarang sudah berbeda jauh sekali, dulu bekerja di perpustakaan tidak bergengsi, sekarang bekerja di perpustakaan menjadi tempat bergengsi, karena di gedung/ ruangan sudah bertingkat, serba AC, serba internet, termasuk difasilitasi area makan minum (mini market/kantin), ada tempat hiburan seperti tempat mendengarkan musik atau menonton film dan lain-lain sebagainya.

Melihat perubahan kondisi perpustakaan dan pustakawan dulu dan sekarang, seharusnya telah merubah paradigma masyarakat Indonesia, bahwa perpustakaan hanya sebagai gudang buku tetapi sekarang Perpustakaan sebagai tempat sumber informasi ilmu pengetahuan.

Kalau saja di daerah masih dijumpai Perpustakaan umum, termasuk perpustakaan sekolah, tidak merubah pola pengelolaan perpustakaan apabila tidak menyesuaikan kondisinya dengan keadaan sekarang yang serba komputer, serba digital, maka jangan heran bila tidak ada pengunjung/pemakainya.

Karena mau tidak mau Perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, harus menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK, hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh SDM pengelola perpustkaan/Pustakawan yang professional dibidang itu. 

Untuk itulah para pengambil kebijakan di daerah perlu berfikir ulang untuk mengangkat pegawai perpustakaan dengan sembarang orang.

Karena itu para pengambil kebijakan di daerah perlu sekali memahami ketentuan UU No.43/2007 pasal 30, yang dijelaskan bahwa untuk memimpin (Kepala Perpustakaan) suatu perpustakaan umum daerah, Kepala Perpustakaan PGT, harus dari pustakawan atau ahli di bidang perpustakaan.

Sudah tentu pegawai perpustakaannya harus banyak yang mempunyai keahlian di bidang perpustakaan dan punya keterampilan dalam pengetahuan teknologi informasi.

Untuk membangun bangsa saja harus bersatu dan berjuang semua elemen masyarakat, jadi untuk membangun perpustakaan tidak bisa difikirkan oleh satu atau dua orang saja, tetapi alangkah lebih baiknya bila semua elemen "dalam ruang lingkup pendidikan, perpustakaan dan pustakawan" harus bersatu padu memikirkan/memberikan kontribusi memberikan solusi dengan penuangan ide dan gagasan untuk " memecahkan permasalahan pengembangan perpustakaan, pengembangan pustakawan dan pengembangan minat dan budaya baca" di Indonesia. 

Kalau melihat sejarah pengembangan perpustakaan dan pustakawan, pengembangan minat baca budaya baca, ide/konsep yang pernah digagas senior kita almarhum Sukarman (mantan Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan, Depdikbud), termasuk para Pejabat Perpustakaan/Pustakawan waktu dulu seperti; Bapak Wirawan, Hernandono, Rompas dan banyak lagi para mantan pustakawan lainnya., cukup membanggakan dan masih terbukti sampai sekarang banyak program/kegiatannya merupakan kelanjutan dari program/kegiatan yang lama terbentuk.

Saya istilahkan saja program pengembangan perpustakaan dan pengembangan minat baca sekarang, seperti hanya "copy paste" dari program/kegiatan yang dulu. Yang arahan dan dasarnya yang sudah ada atau sudah terbentuk sebelumnya.

Sebenarnya jangan sampai pembuatan program jangan sampai "terpleset" atau "diplesetkan". Maksudnya jangan sampai peran dan fungsi perpustakaan sebagai "pusat pembinaan perpustakaan", yang di dalamnya terdapat "pembinaan sistem perpustakaan" tak tentu arah. 

Saya sedikit masih ingat konsep bapak Sukarman ( Mantan Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan Indonesia) tentang pengembangan perpustakaan di Indonesia, yaitu ditiap provinsi harus ada perpustakaan wilayah/negara, perpustakaan keliling, perpustakaan sekolah.

Pola pembinaannya waktu itu dikenal perpustakaan sekolah printis (perpustakaan sekolah model/contoh), perpustakaan desa perintis/contoh, perpustakaan khusus (perpustakaan khusus contoh), makanya dia menganalisis pengembangan perpustakaan dan pustakawan, dari tahun sekian sampai tahun sekian, jumlah perpustakaan harus berjumlah sekian, jumlah pustakawan/pengelola perpustakaan harus berjumlah sekian, selain itu juga dia menganalisis minat baca/budaya baca harus meningkat dari tahun sekian sampai tahun sekian.

Tapi sekarang apa yang dikonsepkan almarhum Bapak Sukarman, menjadi agak berbeda (ini menurut pengamatan atau pendapat saya ). Nah entah salahnya dimana? atau mungkin karena disebabkan situasi dan kondisi perpolitikan/era otonomi daerah atau entah apa.? Yang sekarang seluruh Perpustakaan daerah merupakan Unit pelaksana daerah (UPD) dibawah Gubernur.

Dulu, seluruh Perpustakaan daerah/wilayah Provinsi masih dibawah naungan Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdikbud. Dulu pengembangan perpustakaan umum, sekolah, khusus, PGT, terus meningkat dari tahun ke tahun, begitu juga pengembangan pustakawan, prediksinya sampai tahun sekian pustakawan berjumlah sekian. Juga minat bacanya prediksinya sampai dengan tahun sekian. 

Masyarakat yang berminat baca/berbudaya baca sekian.? Tapi saya yakin hal itu Bapak almarhum Sukarman dkk di Pusbinpustak (Pusat pembinaan perpustakaan), memprediksi itu sebelumnya lewat penelitian,pengkajian, survai dan analisa yang cukup tajam. Hal ini nampak dari program pembinaan dan pengembangan perpustakaan dan pustakawan, bertahap terpadu dan terkoordinasi dari pusat dan daerah. Kalau kita lihat atau bandingkan kenyataan yang ada sekarang (saya tidak punya data pasti) jumlah pustakawan di Indonesia baru sekitar 3000 orang yang tersebar di wilayah NKRI). Sedangkan jumlah Pustakawan di Perpusnas sekitar 243 orang (Data Pustakawan Perpusnas tahun 2016). 

Jadi kalau dibandingkan rencana/prediksi yang dulu, Jumlah Pustakawan di Indonesia masih sedikit, bila dibandingkan dengan jumlah perpustakaan yang ada sekarang. Jumlah perpustakaan, jumlah pustakawan maupun jumlah minat baca/jumlah pengunjung perpustakaan. Masih jauh dengan apa yang menjadi prediksinya, harusnya jumlah perpustakaan dan pustakawan sudah di atas 6 ribuan orang pustakawan. Juga jumlah perpustakaan, seharusnya jumlah perpustakaan meningkat atau sejalan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas jumlah penduduk Indonesia. 

Dulu saja anggaran perpustakaan sebenarnya tidak terlalu besar, malah bisa dianggap minim, tetapi dalam pembinaan dan pengembangan, sudah cukup baik. Tapi sekarang sebenarnya anggaran sudah cukup/lumayan besar, namun dalam pengembangan jumlah pustakawan tidak terlalu banyak, begitu juga jumlah perpustkaan, juga jumlah minat/pembacanya. Walau program promosi perpustakaan, program promosi minat/budaya baca terus meningkat, dengan adanya talk show, road show, dan berbagai gerakan minat baca. Tetapi kalau boleh mempertanyakan, apa dengan adanya kegiatan tersebut apakah sudah terjadi peningkatan minat baca. 

Padahal penggunaan dana termasuk sudah cukup besar, untuk program kegiatan tersebut. Kalau menurut pendapat saya, masalah tersebut, kalau melihat data lama atau melihat kembali konsep para senior pustakawan dulu, tanpa promosi yang "jor joran", tetapi terbukti minat baca cukup meningkat. 

Dulu sebelum pengembangan perpustakaan atau pengembangan pustakawan atau pengembangan minat baca, kalau saya mengamati, sebelum program/kegiatan dilaksanakan, sebelumnya lewat sebuah "semacam ada penelitian/pengkajian walau sederhana." baru di programkan secara bertahap, misalnya dalam kebijakan pengembangan perpustakaan sekolah, maka dulu dikenal perpustakaan sekolah perintis/perpustakaan model. Dulu hampir tiap provinsi mempunyai perpustakaan sekolah perintis, perpustakaan desa contoh.

Dengan adanya perpustakaan model tersebut barangkali, tujuannya agar supaya, kedepannya dalam pengembangan perpustakaan sekolah, agar setiap sekolah yang mau mengembangkan perpustakaan sekolah, yaitu dengan melihat perpustakaan sekolah printis/perpustakaan model tersebut.

Sekarang, bentuk pembinaan dan pengembangannya, nampaknya tidak seperti dulu. Contohnya; pengembangan perpustakaan desa, tidak ada lagi perpustakaan desa perintis atau perpustakaan desa model, ditiap provinsi/kabupaten/kota di wilayah NKRI, kalau semua desa dikembangkan perpustakaannya seperti pola pengembangan perpustakaan desa seperti sekarang, hampir semua desa diberi bantuan sejumlah buku, rak buku dan pelatihan singkat, agaknya kalau bentuk pembinaan dan pengembangan seperti itu, menurut pendapat saya terlalu berat? Kenapa terlalu berat, ya itu tadi, kalau setiap desa diwilayah NKRI secara karakteristik beragam, dan tingkat pendidikan, ekonomi, budaya dan basic minat bacanya berbeda. 

Kalau boleh saya berpendapat atau hanya sebagai saran, sebaiknya yaitu setiap desa perlu dikelompokan berdasarkan potensi desa dan kemampuan desa, misalnya; ada desa kelompok desa A, kelompok desa B, kelompok desa C. Dalam arti tiap kelompok desa itu pencapaian minat/budaya baca, tingkat pendidikan dan perekonomian berbeda-beda kondisinya. Makanya dalam pola pembinaan dan pengembangan perpustakaan desanya, termasuk bantuan koleksinya tidak bisa diperlakukan seragam. Mungkin sebaiknya pembinaan dan pengembangan koleksinya disesuaikan dengan mata pencaharian, karakteristik dan budaya tiap daerah/desa berbeda, secara bertahap disesuaikan dengan pengelompokan desa. Tapi saya tidak tau pasti, apa sekarang dalam membuat program/kegiatannya, apa sudah lewat pengkajian, analisa yang cukup jelas seperti dulu atau tidak atau asal bikin progam/kegiatan saja.

Kalau melihat atau mengamati permasalahan yang dikemukakan di atas, kalau menurut saya, karena "Pusbinpustak dan bina sistem perpustakaan" yang perlu ada perbaikan. Termasuk didalamnya apabila Perpustakaan Nasional termasuk Perpustakaan Daerah, jika masih ada yang memperlakukan atau mengkondisikan seperti pustakawan penjaga gudang atau mengkondisikan pustakawan "bagai katak dalam tempurung" tentu pustakawan nanti akan seperti "tikus mati dalam lumbung padi" rasanya sulit perpustakaan dan pustakawan untuk berkembang sesuai apa yang dicita-citakan senior kita dulu. Pustakawan sekarang tidak seharusnya lagi dijadikan sebagai penjaga gudang atau sebagai "tukang ketik", "tukang lap buku", dan tukang jaga buku, serta tukang atau kuli angkut. Harus menjadikan pustakawan sebagai profesi professional dibidang informasi, teknologi dan komunikasi sebagai pengelola sumber informasi yang bisa mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat.

Belum terlambat sebenarnya, karena faktor pendukung sebenarnya sudah ada, yaitu adanya UU No.43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, adanya PP No.24 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU No.43 Tahun 2014, adanya Permenpan & RB No.9 Tahun 2014 tetang jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya dan ada Undang-undang dan peraturan lainnya yang mendukungnya. sekarang tinggal komitmen pimpinan/manajerial saja mau melaksanakan peraturan-peraturan itu atau tidak. 

Tupoksi pustakawan, tinggal tupoksi ( artinya bagaimana pustakawan mau melakukan penelitian/pengkajian atau tugas lainnya) karena kesempatan itu tidak ada, kalaupun ada ya pustakawan disuruhnya jadi penonton. Kalau melihat seperti kasus seperti disebutkan diatas, untuk kedepan sebagai upaya perbaikan kondisi bahwa pustakawan perlu wadah, perlu tempat berdiskusi, perlu solusi untuk memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi, tapi lagi-lagi tidak ada yang mengkoordinir, pustakawan perlu ada yang mengkoordinir. Pustakawan perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan kegiatan sesuai Permenpan No.9 Tahun 2014. Sekian dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun