Saya mencoba memahami topik yang diminta Kompasiana,  sebagai topik pilihannya yaitu pahlawan 4.0: SJW.  Setelah memahami sedikit apa itu SJW akhirnya saya  bisa menuangkan dalam bentuk tulisan ini. supaya paham apa itu SJW?  Baiklah, saya jelaskan dulu apa itu  yang dimaksud  SJW (social justice warrior), jadi intinya SJW ini  hanya merupakan istilah bagi para aktivis atau komunitas tertentu dalam berjuang bagi keadilan pihak yang terpinggirkan, kurang beruntung, hingga mengalami diskriminasi. Itu kira-kira batasan yang diberikan kompasiana yang menjadi acuan saya dalam menggoreskan tulisan. Â
Saya juga bisa menterjemahkan SJW adalah sebagai alat atau sarana untuk para pejuang keadilan social, untuk memperjuangkan dari belenggu kebodohan dan kemiskinan.Itu barangkali tema pokoknya sehubungan adanya Peringatan  Hari Pahlawan, 10 November 2019.Â
Baiklah, saya akan mencoba menuangkan dalam bentuk  tulisan dan bagaimana saya menarasikannya supaya terkait dengan isu Peringatan Hari Pahlawan.Â
Pada peringatan Hari pahlawan, merupakan momentum yang sangat tepat, untuk kita sama-sama merenungkan makna kepahlawanan dengan mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan, yang tentunya perlu menjadi contoh bagi kita dan teladan generasi masa kini, dengan menunjukan semangat untuk terus berjuang, dengan cara dan bentuk yang berbeda dengan pahlawan tempo dulu dalam mengusir penjajah, tetapi kini lebih diorientasikan pada kegiatan bagaimana cara untuk mengusir kebodohan dan kemiskinan.Â
Saya kutip dari Kompas.com, Pesan Kemensos, yang dibacakan Menristek Bambang Brodjonegoro dalam upacara hari peringatan hari pahlawan di lapangan institut teknologi sepuluh November (ITS) Surabaya 10/112019, "peringatan hari pahlawan kita bangkitkan semangat berinovasi bagi anak bangsa untuk menjadi pahlawan masa kini sebagaimana tema peringatan hari pahlawan tahun 2019: Aku pahlawan masa kini."Â
Selanjutnya Menristek Bambang menyampaikan, " kita perlu juga menumbuhkan semangat kepahlawan dengan cara menorehkan prestasi di berbagai bidang kehidupan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan membawa nama harum bangsa di mata internasional. Jangan sampai tangan-tangan jahil atau pihak tidak bertanggungjawab merusak persatuan dan kesatuan bangsa, jangan biarkan negeri kita terkoyak tercerai-berai terprovokasi untuk saling  menghasut dan berkonflik satu sama lain. Mari kita maknai hari pahlawan dengan nyata bekerja dan bekerja membangun negeri menuju Indonesia maju." Pesannya.
Kita, juga perlu mengenang Pesan Bung Karno sang proklamator Bangsa Indonesia, Â supaya kita jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Hari pahlawan 10 November 2019, kita mengenang para tokoh pejuang kemerdekaan tempo dulu mengusir penjajah, mulai dari perjuangan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dengan arek-arek suroboyo yang telah berani mati, mereka bertempur memperjuangkan kemerdekaan, dengan mengusir penjajah, bermodalkan semangat dan bermodalkan bambu runcing tak mengenal takut mengusir penjajahan.Â
Sesuai arahan Kemensos, yang dibacakan Menristek Bambang Brodjonegoro, Kini generasi millennial, sebagai generasi digital, bak ibarat pahlawan 4.0 . Pahlawan pada  generasi digital, rupaya tantangn generasi digital tak kalah menarik untuk dikupas dan disajikan dalam tulisan ini, karena perjuangan generasi digital lebih condong dalam mewujudkan perjuangan dalam suatu gerakan literasi digital.Â
Ibaratnya pahlawan dulu berjuang mengusir penjajah dengan membawa senjata bambu runcing, kini generasi digital berjuang lewat  senjata pena atau senjata tulisan yang dicengkramkan dalam bentuk berkegiatan literasi, yang berjuang melawaan belenggu kebodohan dan kemiskinan, yang tentunya tak kalah serunya melawan kemiskinan dan kebodohan itu,  karena belenggu kemiskinan dan kebodohan ini jika terus dibiarkan mengakibatkan menyengsarakan rakyat. tanpa solusi untuk membukakan mata hati segenap rakyat, yang tak lepas dari teknologi informasi, generasi yang memperjuangkan kemerdekaan berliterasi digital.Â
Jadi generasai digital yang berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan. Generasi ini, umumnya menggandrungi  kegiatan dan aktivitasnya yang tak lepas dari media digital, dan selalu membawa kebahagiaan orang lain melaui bagaimana cara mengeluarkan dari praktek yang tak biasa dilakukan menjadi terobosan yang bisa terformulasikan lewat tuangan nuansa baru yang lebih provokatif untuk mendorong masyarakat tertentu merubah kebiasaan dalam kehidupannya, supaya lebih baik. Saya lebih tertarik menggiring opini pada titik sentral yaitu pekerja social,  mungkin lebih cocok istilah ini daripada pejuang keadilan social. Pekerja keadilan social.
Karena titik sentral bangsa ini  dari sejak Indonesia merdeka Yaitu melawan kemiskinan dan kebodohan itu, hal itu jelas tergambar dalam tujuan bangsa mencerdasakan kehidupan bangsa dan mensejahteraan bangsa. Dari melawan kemiskinan dan kebodohan itu, yang terus diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Sebenarnya, kalau menurut saya  pejuang  keadilan social, lebih tepat lagi disematkan pada pejuang literasi, siapa saja itu pejuang literasi? Kalau boleh saya kelompokan, pejuang literasi ini ada dua yaitu  pejuang dilapangan, dan pejuang diluar lapangan. Tapi sama-sama keduanya mempunyai daya ampuh untuk mengusir penjajah dalam arti mengusir  dari belenggu kebodohan dan belenggu kemiskinan.Â
Saya tak akan membahas  kontek pejabat, karena itu saya batasi kontek masyarakat atau individu saja, yang tentunya saya sesuaikan dengan kondisi sekarang -- pahlawan masa kini. Saya hanya ingin mengetengahkan perjuangan dari pejuang literasi/para pahlawan literasi sebagai berikut;
(1) Ridwan Sururi, yang terkenal dengan kuda pustakanya, si kuda pustaka dari kaki gunung slamet. Kita patut bangga pada sosok Ridwan Sururi Bersama kuda kesayangannya yang bernama Luna. Ridwan dengan ciri khas menggunakan topi lebar ala seorang koboi, pria berusia 43 tahun ini menyusuri jalanan terjal di lereng gunung selamet, dengan membawa kuda, yang tumpangi boks/kotak tempat buku-buku disimpan untuk di bagikan pada para pembacanya.Â
Dia berkeliling desa menyusuri setiap jalanan terjal dan berliku, menapakan kaki dan langkah, untuk menyapa dan mempersilahkan warga desa untuk membaca, guna menambah pengetahuan dan keterampilan. Dia berjuang untuk mengikis kebodohan dan kemiskinan, sekaligus mengikis  sebutan bangsa kita sebagai bangsa yang berminat baca rendah, berdasar hasil penelitian pihak asing, yang menempatkan posisis ke 60 dari 61 negara yang diteliti.
(2) Mbah Topo, dengan nama lengkap Fransiskus Xaverius Sutopo, di usia yang ke 70 tahun. Yang terkenal dengan becak Pustaka. Mbah Topo, walau usia tua, tetapi berjiwa muda, dia seorang penarik becak yang ada di jogyakarta, yang telah mengubah becaknya menjadi "wadah untuk menampung pengetahuan", dengan puluhan buku-buku yang disusun di becaknya, yang dipilah dan pilih untuk menyirami pengetahuan  masyarakat/warga yang tak berkesempatan untuk membeli buku atau membaca di perpustakaan.Â
Walau usianya sudah kepala 7, bapak itu, setiap saat mengayuh becaknya yang telah dimodif menjadi wadah pengetahuan, yang mungkin bapak ini berharap kedepan warga yang membaca itu terinspirasi dari bahan bacaan yang ia sajikan, yang tujuan ahirnya berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.
(3) Muhammad Fauzi, seorang pejuang literasi dari Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkenal dengan  menjajakan jamu pake speda motor. Cara  Fauzi,  ini cukup unik selain membawa botol-botol jamu, dia  membawa buku-buku pengetahuan, untuk dilayankan pada warga yang miskin informasi, supaya terbuka wawasan pengetahuannya. Para pembaca yang menggunakan buku-buku yang dibawa fauzi, ini adalah kaum buruh di daerah Sidoarjo, Jawa Timur.
(4) Sutiono Hadi, seorang pejuang literasi dari Jakarta, yang menyulap bemonya, menjadi bemo pustaka, dengan bemonya dia membawa buku-buku, buku cerpen, buku cerita bergambar dan buku lainnya buat bacaan anak-anak.
Sebenarnya banyak sekali para pejuang literasi seperti tersebut di atas, tapi penulis hanya menyebutkan itu saja sebagai contoh dari para pejuang literasi yang  ada dilapangan, semoga perjuangan mereka -  pejuang literasi yang sederhana, bisa menginspirasi generasi millennial, untuk lebih menghargai, dan menteladani perjuangan mereka, mungkin dalam bentuk dan cara yang berbeda.Â
Seperti tadi pesan Menristek Bambang Barojonegoro, dalam hari pahlawan, supaya generasi millennial tumbuh semangat kepahlawan dengan cara menorehkan prestasi di berbagai kehidupan yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan negara.Â
Selain pejuang literasi  seperti yang disebutkan diatas,  pejuang  literasi yang tak kalah penting yaitu  pejuang literasi kepenulisan, salah satunya para penulis di kompasina  yaitu kompasioner ini (para penulis kompasiana), dengan berbagai  beraneka profesi yang tergabung sebagai kompasiner, berusaha mencari solusi, menerangi setiap pembaca (masyarakat), agar mempunyai kecerdasan nalar dan kecerdasan fikir, dengan menggoreskan tintanya, coretan dan tulisannya, sedikit atau banyak untuk menguak suatu tabir ketidak tahuan, suatu ketidak mengertian, suatu yang  gelap gulita, dicobanya, diterangi lewat goresan-goresan yang dikemukakannya dengan berbagai gaya penyampaian yang berbeda-beda tapi tujuannya sama, membela keniscayaan, dengan menepis isu yang kurang pada tempatnya, yang mencari solusi dan jawaban supaya kedepan membawa suatu perobahan.Â
Dengan berbagai latar belakang profesi, latar belakang budaya, latar belakang Bahasa daerah yang berbeda, kompasianer,  bercerita lewat goretan yang dituangkan dalam suatu media beyondblogging -- Kompasiana, dari aneka gagasan, opini dan sebagainya. Dari situlah perjuangan para kompasiner memberikan semangat untuk berbagai macam tujuan. Selamat berjuang,  para  pejuang literasi, selamat berjuang kompasianer- selamat hari pahlawan- Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H