Mohon tunggu...
Iswara Rusniady
Iswara Rusniady Mohon Tunggu... Human Resources - Pustakawan

sekedar mencoba berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memperbaiki Kondisi Budaya Baca yang Rendah dengan Pembenahan Sarana Baca

18 Oktober 2019   16:30 Diperbarui: 29 Oktober 2019   09:26 2476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan.

Bangsa kita  termasuk  bangsa yang mempunyai minat dan budaya baca yang sangat  rendah, hal itu berdasarkan data hasil survai Unesco tahun 2011, yang menunjukan indeks membaca bangsa Indonesia masih sekitar 0,001 %. Itu artinya dalam setiap 1000 orang penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kemudian menurut hasil survai yang dilakukan oleh central connecticut state university Most litterate nations in the world tahun 2016, yang membuat rangking minat baca masyarakat dunia. Dari 61 negara yang di survai atau diteliti tersebut bangsa kita berada di rangking ke 60. Berdasarkan  kedua hasil survai tersebut bangsa kita, ternyata  masih dikelompokan pada bangsa berminat baca sangat rendah. Walaupun data atau hasil survai tersebut masih diragukan kebenarannya, bila kita mencoba melihat dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita terutama pelajar dan mahasiswa pasti tidak lepas dari bahan bacaan terutama  membaca  berformat digital, dengan hanya  menggunakan HP. 

Kalau  kita  mencermati hasil survai seperti digambarkan di atas, sekarang timbul pertanyaan kita kenapa bangsa Indonesia digolongkan sebagai berminat baca rendah bahkan didudukan pada rangking ke 60 dari 61 negara yang disurvai. Apa  memamg  benar masyarakat kita tak suka  membaca. Berdasarkan data Kementrian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan, yang menyatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku sebanyak tiga hingga empat kali dalam seminggu, dengan menghabiskan waktu 30 -- 60 menit per hari. Jumlah buku yang dibacapun hanya 5 hingga 9 buku pertahun.

Mencermati pernyataan dan data yang disebut di atas, tentu kita bangsa Indonesia yang sudah 74 Tahun Merdeka,  sangat prihatin sekali dengan penilaian seperti tersebut di atas. Budaya baca bangsa kita digolongkan sebagai bangsa berbudaya baca rendah, malah hampir terendah di antara 61 negara yang diteliti.  Padahal hampir semua orang mengakui bahwa, ciri  bangsa yang maju dan sejahtera ditandai dengan budaya literasinya sudah tinggi.

Padahal para  pakar pendidikan mengakui  bahwa kemajuan bangsa ditentukan dari budaya baca/budaya literasi. Semakin tinggi budaya literasi suatu bangsa akan semakin maju bangsa itu. Sinyalemen yang disebutkan itu tidak mengada-ngada, kita liat negara Jepang. Negara Jepang budaya baca masyarakatnya sangat tinggi, maka nampak sekali kemajuan negara Jepang dari sektor ekonomi juga hasil teknologinya, demikian juga bangsa Cina, yang sekarang perekonomian cina hampir merambah ke seluruh dunia.

Kalau kita melihat contoh kasus seperti digambarkan di atas, bangsa Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dan perlu belajar banyak pada negara Finlandia dalam memajukan budaya literasi. Negara Finlandia dalam penelitian tersebut, digolongkan sebagai negara berminat baca paling tinggi/paling literat di dunia. Penulis kutip dari artikel yang dibuat Shofi awanis, di www.hippwee.com Pemerintah finladia benar-benar mendukung pendidikan anak sejak dini. Keluarga jadi gerbang pendidikan awal untuk anak, terutama dalam tahap belajar dalam usia dini.

Oleh karena itu, setiap keluarga yang baru memiliki bayi berhak mendapatkan bingkisan paket perkembangan anak, isinya adalah berbagai keperluan bayi, termasuk buku bacaan untuk ibu, ayah dan bayi itu sendiri. Perpustakaan adalah institusi budaya yang jadi kebanggaan orang finlandia, setiap tahun jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum selalu tinggi. Finlandia paling banyak menerbitkan buku anak-anak, dibanding negara lainnya, sehingga stock buku baru yang sesuai dengan rentang  usia selalu tersedia. Sistem pendidikan di finlandia lebih menekankan pembelajaran dengan metode bermain, berimajinasi, dan self-discovery, mereka lebih menekankan kolaborasi daripada kompetisi.

Kalau melihat contoh kasus yang terjadi di negara finlandia.  Budaya literasi, sebenarnya tidak lepas dari tersedianya prasarana dan sarana baca, tersedianya akses terhadap berbagai sumber informasi yang mudah, baik yang disediakan di Lembaga Pendidikan maupun yang tersedia di masyarakat. Mungkin sekarang pertanyaannya apakah di setiap Lembaga Pendidikan sudah tersedia perpustakaan, bagaimana kondisi penyelenggaraan perpustakaannya? Kemudian apakah setiap daerah atau sekitar lingkungan anda sudah ada perpustakaan? Karena perlu dipahami, orang mau membaca bila tersedia buku bacaan dan sarana bacanya, bila tidak ada buku dan  tidak ada sarana bacaan/fasilitas untuk membaca seperti adanya perpustakaan dan taman bacaan, bagaimana tumbuh minat dan budaya baca.

Kadang kala kita melihat sudah ada perpustakaan di sekolah atau di perpustakaan umum daerah, tetapi jumlah koleksinya masih sangat terbatas, kalau demikian apanya yang mau dibaca, dan bagaimana menggerakan minat dan budaya baca.? Salah satu cara memperbaiki kondisi minat dan budaya baca rendah, sebenarnya terletak dari kemauan untuk segera membenahi dan memperbaiki sarana baca (perpustakaan).

 Salah satu kendala utama dalam mengatasi persoalan rendahnya budaya baca adalah masih kurang atau masih terbatasnya sarana baca (perpustakaan) yang tersedia di setiap lapisan masyarakat. Karena masih kurang tersedianya akses informasi yang dapat dimanfaatkan masyarakat, hal ini menyebabkan minat dan budaya baca masyarakat tidak berkembang.

Hal ini sesuai apa yang pernah dikemukakan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI, Moch. Syarif Bando pada suatu rapat yang mengatakan bukannya masyarakat kita tidak mempunyai minat dan budaya baca, tetapi lebih pada akibat sarana untuk membacanya tidak ada, atau sarana untuk membaca masyarakat kurang tersedia. Namun demikian sebenarnya bangsa kita, seperti apa yang dikemukakan Kaperpusnas, masyarakat sudah mempunyai minat baca tinggi, buktinya hampir kita sering jumpai disetiap kereta api, di bus, di tempat wisata maupun tempat lainnya banyak coretan-coretan, begitu juga di media sosial facebook, twiter, istigram banyak sekali status dan komentar dan ungkapkan. Hal ini sebenarnya masyarakat kita sudah mempunyai minat baca dan menulis. Walau masih terbatas, lewat media yang seperti disebutkan di atas.

Dari beberapa alasan tersebut, jelas bahwa sebenarnya bangsa kita sudah ada  minat baca, tetapi lagi-lagi pada masih kurang sekali penyediaan sarana baca  ini. Kalau memperhatikan hasil penelitian Unesco 2011 dan Worlds most literate nations tahun 2016 yang menyatakan minat dan budaya literasi Indonesia yang masih rendah. Walau sebenarnya sudah ada sarana baca di berbagai perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum daerah, tetapi kenyataannya masih saja ada penilaian minat baca bangsa kita rendah, hal ini sebenarnya bisa dimaklumi mengingat wilayah Indonesia yang demikian luas, dengan jumlah penduduk lebih dari 265 juta orang, yang mempunyai jumlah provinsi 34,  mempunyai 514 Kabupaten/kota dengan jumlah desa/kelurahan berdasarkan data BPS 2018, mencapai 83.141 (74.754 desa dan 8.430 kelurahan).

Melihat kondisi jumlah penduduk dengan provinsi,kabupaten, dan desa yang demikian banyak, wajarlah bila masih ada penilaian bangsa Indonesia masih berbudaya baca yang rendah, karena sarana baca (perpustakaan) yang tersedia, tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang demikian banyak. Memperhatikan masih ada penilaian permasalahan minat dan budaya baca yang rendah, hal ini merupakan PR besar Pemerintah beserta masyarakatnya, bagaimana mengatasi persoalan minat dan budaya baca yang rendah ini, karena hal ini berpengaruh terhadap kualitas  SDM dan kesejahteraan masyarakat. Sebenarnya penulis dalam penulisan ini,hanya membatasi  pada ,

Bagaimana kondisi umum penyelenggaraan sarana informasi yang tersedia  ? dan bagaimana layanan perpustakaan sudah bisa meningkatkan budaya baca?

Kedua persoalan tersebut diatas, yang akan penulis coba uraiankan  sekilas, supaya  sedikit  ada  gambaran terutama  yang  terkait dengan permasalahan budaya baca bangsa kita yang rendah, dan mencari solusi bagaimana meningkatkan budaya baca. Salah satunya dengan memperbaiki kondisi penyelenggaraan perpustakaan yang ada. Karena kemungkinan masih banyak faktor yang menyebabkan penyelenggaraan tidak bisa berfungsi sebagai pengembang budaya baca.  Karena kenyataan yang ada sekarang sarana membaca ( perpustakaan) dan jumlah koleksi bukunya masih dirasakan sangat kurang, bila dibandingkan dengan masyarakat yang harus dilayani, baik itu di lembaga pendidikan, maupun di daerah tingkat provinsi/kabupaten/kota apalagi ditingkat desa.

Penyelenggaraan perpustakaan yang ada masih kurang mendapat perhatian yang serius dari setiap penyelenggara Pendidikan, dan setiap pemangku kebijakan di daerah. Jika saja perhatian Pemerintah Daerah, penyelenggara pendidikan, dan pihak yang terkait lainnya peduli, terhadap penyelenggaraan perpustakaan di daerah, tidak mustahil akan terjadi peningkatan budaya baca masyarakat di daerah. Budaya baca yang rendah ini sebenarnya diakibatkan salah satunya karena jumlah sarana bacanya yang tersedia sangat terbatas  atau kalaupun ada, jumlah koleksi buku dan fasilitas yang disediakan masih sangat kurang. Padahal semua orang hampir mengakui pernyataan,

"Tidak ada pengetahuan tanpa membaca."

Membaca merupakan kegiatan yang sangat penting dalam menggali ilmu pengetahuan, untuk meningkatkan wawasan pengetahun dan keterampilan. Dengan membaca, setiap anggota masyarakat akan memiliki kesempatan mengembangkan pengetahuan, keterampilannya. Sekaligus akan  terjadi perobahan pola fikir, pola tindak dan prilakunya. Membaca yang dimaksud disini tentu bukan saja dalam arti membaca hurup perhurup, tetapi mampu memahami makna dari suatu yang dibaca, sehingga mempu mempraktekan dari apa yang dibacanya.

Itulah yang disebut istilah sekarang  literasi. Seperti apa yang dikatakan oleh Amich Alhumami, Direktur pendidikan tinggi Bappenas mengatakan bahwa "Literasi dalam pengertian sekarang bukan berarti hanya memiliki kemampuan baca, tulis dan hitung saja, tetapi lebih dari itu memahami bagaimana suatu persoalan hidup dan kehidupan seseorang itu dapat teratasi dengan budaya literasi. Misalnya bagaimana seseorang hidupnya kurang sejahtera, dengan budaya literasi yang tinggi, orang tersebut bisa menjadi lebih sejahtera, karena mampu menterjemahkan dan mempraktekan dari buku yang dibacanya."

Membaca berkorelasi dengan kecerdasan, karena aktivitas membaca akan merangsang otak dalam memproses setiap permasalahan. Manakala aktivitas otak bekerja secara optimal dalam mengolah, menganalisa, merumuskan dan membuat ikhtisar dari setiap data dan informasi, maka akan dapat menghasilkan sebuah kecerdasan dan pengetahuan. Aktifitas berfikir adalah bagian terpenting dari fungsi otak. Melalui berpikir, maka potensi nalar manusia akan berkembang. Apalagi dengan berpikir hal-hal yang positif dan bermanfaat, maka nilai manusia akan semakin berkualitas. Oleh karena itu membaca dan berfikir akan mengantarkan seseorang menjadi cerdas.

Pengertian, Peran dan fungsi Pengelolaan sarana literasi informasi.

Dalam UU No.43 Tahun 2007 tentang perpustakaan dalam pasal 1 disebutkan : Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Kemudian dalam pasal 3 dan pasal 4  dijelaskan bahwa : Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan penjelasan UU Perpustakaan tersebut, mengandung arti dan makna bahwa perpustakaan adalah suatu institusi pengelola karya tulis, karya cetak dan karya rekam, yang dikelola secara profesional. Jadi perpustakaan yang dimaksud disini adalah suatu institusi/lembaga, apakah itu di lembaga negara, lembaga daerah/desa, sekolah, maupun di perusahaan, Jadi perpustakaan karena berupa institusi, berarti ada status kelembagaan/organisasinya jelas termasuk didalamnya  ada penanggungjawab, pengelola dan ada yang bekerjanya, tidak bisa suatu perpustakaan dibentuk bila tidak ada penanggungjawab, pengelola dan  tidak ada yang bekerjanya. 

Para pengelolanya, juga bukan sembarang orang, tetapi pegawai profesional  yang berlatar belakang pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi,  memiliki kemampuan mengelola karya tulis, karya cetak dan karya rekam, serta berkemampuan collection management, knowledge management dan transfer (sharring) management. Karena Perpustakaan jaman sekarang, bukan hanya wahana/tempat yang berfungsi sebagai tempat untuk pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi masyarakatnya (pemustaka) saja, tetapi lebih dari itu sebagai tempat/wahana untuk beraktifitas dan berkreativitas masyarakat (inklusi sosial). Selain itu  tujuan dari diselenggarakannya perpustakaan, adalah untuk dapat memberikan layanan kepada masyarakat untuk meningkatkan kegemaran membaca, memperluas wawasan pengetahuan dalam rangka mencerdaskan bangsa dan keberdayaan bangsa.

Sekarang kalau kita tarik makna dari fungsi perpustakaan sebagai suatu institusi untuk meningkatkan dan memberdayakan bangsa. Perpustakaan yang bagaimana yang bisa meningkatkan kecerdasan dan memberdayakan bangsa tersebut.? Untuk menjawab itu kembali kepada difinisi perpustakaan yang pertama di pasal 1, yaitu perpustakaan itu sebagai institusi pengelola. Karena perpustakaan itu perpustakaan akan dapat berdayaguna bila mempunyai pengelola dalam arti mempunyai pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan. Hal ini dijelaskan dalam UU Perpustakaan pasal 29, Tenaga perpustakaan terdiri atas pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan.

Pustakawan yang dimaksud disini, harus memenuhi kualifikasi sesuai standar nasional perpustakaan. Jika suatu perpustakaan tidak mempunyai tenaga pengelola (pustakawan) sudah dipastikan perpustakaan itu tidak akan berfungsi maksimal. Karena letak berhasilnya program dan kegiatan perpustakaan, dalam menggerakan minat dan budaya baca masyarakat, sangat tergantung kepada  tenaga pengelola ini.

Kalau kita kembali menengok hasil penelitian pihak asing seperti di ulas dalam pendahuluan, disitu bisa nampak kenapa minat dan budaya baca bangsa Indonesia didudukan ke urutan ke dua terakhir, dan kenapa Indonesia hanya mempunyai 0.001 % dalam minat minat baca.?  Kalau penulis kaji persoalan tersebut, terletak pada kurang meratanya jumlah perpustakaan dan kurang sekali tenaga pengelola perpustakaan. Kedua persoalan tersebut memang perlu segera dijadikan solusi untuk segera dihadirkan, kalau memang mau  memperbaiki kondisi minat dan budaya bangsa Indonesia yang rendah, walaupun memang banyak faktor lain yang terkait dengan itu yang dapat berpengaruh.

Ada kabar baru tentang budaya baca bangsa Indonesia dalam lamanya membaca, seperti apa yang dikemukakan oleh Kaperpusnas, M. Syarif Bando, yang menyatakan berdasarkan penelitian pihak asing  world reading habit 2018   yang menyatakan bangsa Indonesia dalam lamanya membaca,berada di rangking 16 dari 22 negara yang diteliti. Tetapi sekarang persoalannya, sebenarnya bukan terletak pada orang per orang dalam menilai tentang lamanya membaca, tetapi harus melihat jumalah keseluruhan dari masyarakat Indonesia yang membaca. Karena tetap persoalannya kembali kepada sarana baca yang tersedia di masyarakat.

Sudahkah sarana baca ini tersedia di semua lapisan masyarakat?

Sudahkah ada pengelola perpustakaannya?

Itu yang mesti menjadi persoalan yang semestinya dapat dipecahkan, karena keberadaan perpustakaan atau keberadaan sarana baca yang tersedia dimana-mana akan berpengaruh banyak terhadap minat dan gemar baca masyarakat, tanpa itu sangat mustahil minat dan budaya baca meningkat.

Tetapi langkah pemerintah lewat Kemendikbud, yang telah mengambil peran yang cukup baik, dalam rangka mengelaborasi kelemahan budaya baca bangsa kita, dengan menelorkan kebijakan dengan sejumlah program gerakan literasi seperti;  Gerakan Literasi Nasional (GLN), Gerakan Literasi Keluarga (GLK), Gerakan Literasi Masyarakat (GLM),Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

Berbagai gerakan literasi yang digaungkan Kemendikbud tersebut, merupakan suatu upaya untuk mengatasi persoalan rendahnya minat dan budaya baca bangsa Indonesia. Selain itu, Perpustakaan Nasional RI, sebagai institusi pembina perpustakaan di Indonesia, tidak ketinggalan terus berupaya meningkatkan program Pembudayaan gemar membaca lewat Roadshow  bina budaya baca dengan melibatkan tokoh duta baca Indonesia Najwa Shihab, guna terus memasyarakatkan pentingnya dan manfaatnya membaca untuk meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan kesejahteraan. Tak ketinggalan  GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca) ikut serta menyuarakan pembudayan gemar membaca ini.

Untuk mengatasi permasalahan rendahnya minat dan budaya baca masyarakat, memang bukan hanya tugas dari satu instansi, tetapi melibatkan berbagai instansi yang terkait dan juga melibatkan masyarakakat (komunitas). Langkah dan upaya yang dilakukan Perpustakaan Nasional, dalam mengatasi persoalan rendahnya minat dan budaya baca, terus melakukan pembinaan perpustakaan, dengan menelorkan beberapa regulasi dan membuat MOU dengan beberapa kementrian terkait, hal ini dalam memacu pengembangan perpustakaan di daerah termasuk membantu meningkatkan kualitas tenaga pengelolanya.

Data jumlah Perpustakaan terbanyak didunia, yang penulis kutip dari sumber data Perpusnas.

Berdasarkan data tersebut,  posisi Indonesia berada direngking ke 2 setelah India, yang memiliki jumlah Perpustakaan terbanyak di dunia, dengan memiliki sejumlah perpustakaan 164.610 buah perpustakaan, terdiri dari 42.460 perpustakaan umum, 6.552 perpustakaan perguruan tinggi, 2.057 perpustakaan khusus dan 113.541 perpustakaan sekolah.

Kalau kita perhatikan data di atas, coba kita perhatikan jumlah perpustakaan umum jumlahnya sebanyak 42.460 atau sekitar 25,79 % dari jumlah pemprov, pemkab/pemkot/desa/kelurahan. Kalau dilihat dari segi jumlah perpustakaan umum tersebut, hal itu artinya dari segi kuantitas jumlah perpustakaan telah terjadi peningkatan, dengan peningkatan jumlah perpustakaan itu, diharapkan juga terjadi peningkatan minat dan budaya baca masyarakat, tetapi kondisi jumlah perpustakaan itu harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pengelolaan perpustakaan, karena dari kualitas pengelolaan yang baik ini yang memungkinkan terjadinya lompatan untuk mengatasi rendahnya minat dan budaya baca.

Kemudian Jumlah Perpustakaan Perguruan Tinggi 6.552 atau hanya sekitar 3,98 % dari jumlah perguruan tinggi yang ada di Indonesia, melihat data jumlah perpustakaan perguruan tinggi dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi yang ada masih relatif sedikit, kemungkinan perguruan tinggi selain hanya mengembangkan perpustakaan juga menginginkan peningkatan kualitas pengelolaan yang lebih baik.

Jumlah perpustakaan khusus  2.057 atau hanya sekitar  1,25 % dari lembaga/instansi yang punya perpustakaan, selanjutnya jumlah perpustakaan sekolah sebanyak 113.541 atau sekitar 68,98 % dari jumlah perpustakaan sekolah yang ada di Indonesia, kalau melihat jumlah perpustakaan sekolah jumlahnya yang cukup banyak 113.541 (68,98 %) dari jumlah sekolah yang ada, tetapi inipun kondisi perpustakaan sekolah, kalau kita mencoba survai ke beberapa perpustakaan sekolah SD dan SMA, kondisi perpustakaannya umumnya masih sangat memprihatinkan, karena pengelolaannya masih jauh dari ketentuan standard  nasional perpustakaan sekolah. Umumnya perpustakaan sekolah mengalami kendala pada gedung/ruangan, sarana dan prasarana, koleksi, layanan perpustakaan, tenaga dan dana perpustakaan.

Tetapi untuk langkah pembinaan atau sebagai evaluasi penyelenggaraan perpustakaan sekolah, ini hanya sebagai saran kedepan, perlu juga monev kebeberapa sekolah, kaitannya dengan ketentuan standarisasi nasional perpustakaan sekolah (SNP : 009 :2012), sekaligus memonev apakah pihak sekolah sudah menjalankan ketentuan UU no,43/2007,) pasal 23, tentang dana minimal  5 persen untuk pengembangan perpustakaan sekolah.

Hal itu mengingat sudah ada kebijakan dari Mendikbud mengenai ketentuan untuk pendanaan pengembangan perpustakaan sekolah telah diatur Permendikbud No.3/2019 tentang petunjuk teknis bantuan operasional sekolah (dana bos). Nah, untuk mengecak apakah terlaksana atau tidaknya aturan tersebut, alangkah baiknya bilamana Perpusnas dan Kemendikbud melakukan monitoring dan evaluasi (kerjasama monev), sejauh mana pihak sekolah telah menjalankan isi perundangan dan peraturan tersebut.

Demikian kiranya salah satu alternatif yang dapat penulis kemukakan untuk mengatasi permasalahan rendahnya minat baca dan budaya baca, mungkin ini saran penulis;

1. Agar dapat membantu memperlancar masyarakat untuk mendapatkan akses informasi, Dinas perpustakaan provinsi, dinas perpustakaan kabupaten/kota, perlu terus menerus menyempurnakan dan meningkatkan penyelenggaraan perpustakaannya, yang disesuaikan dengan dinamika yang terjadi dimasyarakat.

2. Perlu dijadikan alternatif pilihan masyarakat, untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

3. Perlu terus membina hubungan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait di pusat maupun di daerah dalam rangka membina dan mengembangkan perpustakaan dan pengembangan minat dan budaya baca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun