Sebenarnya ada atau tidaknya AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) tidak terlalu membawa dampak, karena tanpa disadari era pasar bebas sudah berjalan. Indikasinya jelas, banyaknya investor dan pekerja asing yang datang dan bekerja di Indonesia tentu menjadi parameternya dan kiat tak bisa menolak mereka hingga 2015. Saat ini kebutuhan Indonesia akan tenaga ahli dan professional asing sangatlah tinggi. Keberadaan mereka secara utuh menyebabkan terjadinya transfer teknologi dan ilmu pengetahuan melalui proses asimilasi sumber daya manusia antar negara. Makanya. apa yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh terakhir, menurut saya sangat terlambat khususnya untuk wilayah ASEAN.
Seharusnya tonggak pasar bebas ASEAN ini diberlakukan ketika era millennium bug tahun 2000. Bagi Indonesia AFTA adalah sebuah peluang dan kesempatan emas, begitu juga sebaliknya buat negara negara ASEAN lainnya. Dengan jumlah penduduk yang besar, potensi pasar Indonesia sangat menjanjikan. Untuk bisa bersaing dengan negara negara ASEAN lainnya, maka penguatan sumber daya manusia adalah harga mutlak, karena sumber daya manusialah yang akan berperan penting dalam kompetisi ekonomi regional tersebut.
Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland dalam bukunya  "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" mengulas bagaimana bangsa bangsa di Asia kalah kreatif dari negara negara barat, dan faktor yang paling menentukan adalah sumber daya manusia. Banyak hal hal yang menyebabkan sumber daya manusia kita kalah bersaing dengan tenaga asing. Kebanyakan sumber daya manusia Indonesia takut salah dan takut kalah, akibatnya sifat untuk mengembangkan diri (eksploratif) terhambat, kita tidak berani mengambil resiko.
Pemerintah harus diingatkan, bahwa ketika AFTA diberlakukan maka hanya ada satu sistem pasar yang melingkupi aliran bebas yakni: barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Kelima elemen ini akan menjadi landasan penting dalam pasar bebas tersebut. Untuk itu Indonesia harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya dalam membangun infrastruktur, baik itu jalan, transportasi dan sarana pendukung investasi lainnya, termasuk bagaimana membuat birokrasi kita sedikit luwes buat para investor. Kalau ini tidak berjalan, maka bersiaplah menanggung malu di negeri sendiri, dan kita akan dijajah oleh negara negara ASEAN. Secara peringkat GCR (Global Competitiveness Report), negara kita masih berada jauh di bawah negara negara ASEAN lainnya, kita hanya menduduki peringkat 44 pada tahun 2012 dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand.
Bagaimana kesiapan sumber daya manusia kita? Secara jujur kondisi pendidikan kita masih belum merata, konsentrasi pendidikan yang berkualitas masih ada di Jawa. Begitu juga dengan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Kurikulum kita juga belum terintegrasi menciptakan output yang kreatif. Pelajar kita masih dijejali dengan hafalan berbasis ‘kunci jawaban’ bukan pada filosofi pengertian, hal ini berlanjut ketika diperguruan tinggi, mahasiswa hanya bisa menghafal teori teori dan rumus rumus secara cepat tanpa pernah memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tadi dalam kehidupan keseharian dan lapangan kerja. Prestasi pelajar pelajar Indonesia juga cukup menggembirakan di perlombaan internasional, ada yang menjuarai olimpiade fisika, biologi, kimia dan matematika, tetapi kita belum bangga untuk mengangkat sebuah Nobel yang menuntut inovasi dan kreativitas. Pemerintah, dalam hal ini kemendikbud tidak konsisten dalam menjalankan amanah UUD 1945 dalam menyelenggrakan pendidikan. Kurikulum yang terus berganti dari periode keperiode ikut membingungkan proses pendidikan di daerah, sehingga terjadi ketimpangan yang cukup signifikan. Padahal anggaran pendidikan kita termasuk besar, belum lagi program program pemerintah pusat seperti BOS, pendidikan beasiswa buat mahasiwa dan lain sebagainya, ini yang belum bisa di optimalkan menjadi sebuah karya nyata. Kebijakan pendidikan kita arahnya harus jelas dari hulu kehilir dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak boleh terputus.
Membangun sumber daya manusia yang tangguh harus didukung oleh seluruh stakeholder, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Persaingan yang ketat memasuki AFTA 2015 tidak hanya berbicara tentang kemampuan pengetahuan tetapi juga bagaimana mempersiapkan skill sumber daya manusianya. Indonesia harus banyak membangun sekolah sekolah kejuruan yang siap kerja, guru yang berkualitas sehingga output lulusannya pun tidak hanya mempunyai hard skill tetapi juga mempunyai soft skill. Pendidikan harus mampu diarahkan bagaimana merangsang kreativitas pelajar dalam mengembangkan wawasan berpikirnya. Konsep learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together harus padu dan menjadi kesatuan utuh. Dengan demikian, diharapkan terbentuk manusia manusia professional yang berkualitas. Kita sebenarnya bisa jika kita mau, keseriusan kita menghadapi AFTA akan terasa ketika kita sudah berada didalamnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H