Makanan adalah pemersatu umat manusia. Setidaknya itulah pesan yang ingin disampaikan dalam film Abe (2020). Tokoh utama dalam film itu bernama Ibrahim atau Avraham atau biasa dipanggil Abe. Nama berbeda yang dipakai oleh Abe ini berasal dari latar belakang keluarga kedua orangtuanya.
Ayahnya berasal dari keluarga muslim, sedangkan ibunya berasal dari keluarga Yahudi. Ayah Abe sendiri memilih menjadi seorang atheis dan tidak terlalu mementingkan pilihan agama seseorang, termasuk bagi Abe.Â
Tapi masalahnya tidak begitu dengan kakek dan nenek Abe dari kedua belah pihak. Tarik-menarik kepentingan dua keluarga inilah yang menjadi masalah besar bagi Abe di masa remajanya.Â
Soal makanan misalnya. Keluarga ibu Abe yang belatar belakang Yahudi menyuguhkan anggur saat makan malam, sedangkan keluraga ayah Abe tentu mengharamkan anggur di meja makan mereka.
Sebagai jalan tengah yang adil (menurut sudut pandang Abe), ia memilih melakukan tradisi kedua keluarga. Termasuk dalam hal ibadah. Abe berencana melaksanakan pergi ke masjid di hari Jumat dan pergi ke sinagog di hari Sabtu. Ketika Abe menyatakan rencana briliannya ini saat pertemuan keluarga, hal ini justru membuat kebingungan dan masalah baru bagi kakek-nenek Abe.
Pada akhirnya Abe ikut kebingungan juga dalam menentukan kepercayaannya sekaligus mancari cara mendekatkan kedua keluarga. Dan dunia kuliner menjadi pelarian bagi Abe. Masuk akal, karena roti dan gandum memang tidak mengenal agama sih..
Setidaknya kalau mereka beragama, mereka tidak berbicara dalam bahasa manusia, sehingga Abe  tidak perlu larut dalam perdebatan antar agama sepanjang hidupnya.  Film ini menurutku sangat menarik karena tidak hanya membahas mengenai krisis jatidiri yang dihadapi kaum remaja, tapi juga krisis sosial dalam masyarakat, relasi agama, dan yang pasti sesuatu yang diminati banyak orang, yaitu makanan atau kuliner.
Ayah dan ibu saya juga punya pandangan yang berbeda soal pilihan makanan, walaupun tidak sepelik yang terjadi dalam film Abe. Contohnya dalam memilih olahan daging. Ibu lebih menyukai tengkleng, sedangkan ayah menyukai sate. Tengkleng adalah masakan khas kota Solo berupa kuah kental panas dan gurih yang berisi daging yang masih menempel pada tulang. Bahan dasarnya bisa berupa daging sapi atau kambing. Â
Sedangkan sate adalah masakan berupa daging yang dipotong dadu, ditusuk menggunakan batang bambu kecil, serta dibakar menggunakan arang. Sate biasa dihidangkan bersama sambal kecap atau sambal kacang. Sedangkan bahan utama sate adalah daging ayam, kambing, atau sapi. Â Ibu menyukai tengkleng karena rasanya yang segar dan penuh kalsium karena ada sumsum tulang yang bisa disesap.
Sedangkan ayah lebih memilih sate karena lebih praktis dan mudah dimakan. Beruntung, saya tidak pernah menemui keduanya berdebat panjang karena perbedaan selera makanan tadi. Kedua orang tua saya membebaskan saya memakan apapun asalkan bergizi dan tidak melanggar aturan agama. Hal sederhana yang mungkin sangat dirindukan Abe kecil.
Bagi saya, sate bukan saja sekadar hidangan pemuas rasa lapar, tetapi mempunyai untaian kenangan pada masa-masa kebersamaan bersama mendiang ayah. Bagi Abe, memasak hidangan tertentu adalah cara yang ia tempuh untuk menyalurkan kreativitas sekaligus ikhtiar mempersatukan dua keluarga berbeda suku, agama, ras, dan golongan. Bagi kami dan mungkin bagi semua orang, makanan mempunyai fungsi dan makna yang berbeda-beda dan personal.
Kenangan pada sate menyeruak kembali saat saya pembaca buku "Sate Ratu Kok Bisa Gitu? Rahasia Memiliki Pelanggan Dari 85 Negara" karya Fabian Budi Seputro. Pada awalnya saya berpikir kalau buku ini hanya akan berisi testimoni maupun sejarah berdirinya Sate Ratu belaka. Dugaan saya salah total. Ada hal penting yang disajikan oleh Fabian melampaui jenama Sate Ratu itu sendiri. Hal yang saya maksud adalah MAKNA.
Hal paling penting bagi saya dalam buku ini adalah bagaimana Fabian membagikan prinsip dan paradigma bisnis yang ia pegang dan praktikkan selama menjalankan bisnis Sate Ratu. Prinsip berbisnis Fabian ini langsung diuji di lapangan seketika ia memutuskan berbisnis Sate Ratu.
Dulu saat masih di dunia entertainment, saya selalu setia menggunakan gel rambut ke mana pun, rapi, pakai sepatu dan tidak lupa menggunakan parfum. Dengan tanpa gengsi, gaya itu harus saya ubah, menyesuaikan dengan apa yang sedang saya jalani. (Hal. 23)
Fabian memulai bisnis Sate Ratu dari dasar. Bisnis kuliner adalah semesta baru bagi Fabian yang sebelumnya menggeluti dunia entertainment selama bertahun-tahun. Bahkan Fabian tidak malu-malu untuk terjun ke dapur dan mengolah masakannya sendiri. Sate Ratu adalah dunia baru yang ingin ia susun keping demi keping secara perlahan.
Perubahan gaya hidup adalah bagian kecil dari upayanya membangun semua itu. Dari dunia entertainment yang penuh gemerlap ke dunia kuliner yang tidak biasa, tapi sungguh amat menantang. Apalagi yang lebih memicu adrenalin selain keluar dari zona nyaman? Â Â
Saya mau bikin sesuatu yang berangkat dari bawah dan tumbuh dengan benar; di mana saya tahu, paham, dan menguasai keseluruhan prosesnya. Saya ingin terlibat dalam proses tersebut, ikut mengalami perkembangannya dari waktu ke waktu. (Hal. 35)
Dalam buku ini, Fabian secara tidak langsung "menyuguhkan" kiat-kiat bisnis bagi siapapun yang ingin terjun ke dunia bisnis kuliner melalui aktivitas-aktivitas yang ia lakukan bersama Sate Ratu. Misalnya pendapat Fabian tentang membuka franchise.
Setiap orang yang baru memulai bisnis hendaknya tidak tergiur dan terburu-buru dalam membuka franchise. Hal ini dikarenakan dibutuhkan waktu yang tidak sedikit bagi sebuah jenama untuk membentuk pondasi usaha yang kokoh, disiplin, dan profesional. Membuka satu cabang tentu berbeda dengan membuka banyak cabang. Banyak hal-hal non teknis yang seringkali berpengaruh besar. Semisal soal standar pelayanan maupun citarasa.
Buat kami sebuah perusahaan baru bisa di franchise-kan jika perusahaan tersebut sudah benar-benar kuat. Sudah teruji dan sudah punya sistem serta punya manajemen yang kuat. Untuk mencapai itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar.
(Hal. 61)
 Langkah berliku Fabian dan Sate Ratu akhirnya mulai menemui jalan terang. Pada tahun 2019, Sate Ratu berhasil memenangkan Juara Nasional Kategori Sate dalam acara Ngulik Rasa Unilever Food Solution 2019 setelah menyisihkan ratusan kandidat. Inovasi dan kreasi dalam racikan bumbu dan olahan daging sate ditempuh demi menemukan komposisi masakan dengan kualitas prima.
Pengalaman-pengalaman dari kompetisi yang pernah diikuti sebelumnya menjadi guru yang paling berharga dalam menjajaki kompetisi kuliner di level nasional. Satu demi satu pameran kuliner skala lokal maupun nasional yang pernah Fabian ikuti, menjadi modal berharga dalam mengembangkan bisnis dan memetakan pasar.
Bagi Fabian, menjadi peserta pameran bersama jenama-jenama (brand) yang bagus dan berpengalaman akan membawa dampak positif dalam bisnis. Selain meningkatkan daya tarik konsumen, kita juga melihat bagaimana sisi profesionalitas sesama jenama dalam menjalankan bisnis maupun melihat bagaimana konsep pemasaran kreatif dijalankan secara langsung di lapangan. Pameran bukan hanya ajang kompetisi belaka, namun sarana belajar yang luar biasa.
Buat kami, berada di pameran yang diikuti brand-brand bagus adalah penting, karena tidak membahayakan brand kami. (Hal 93)Â
Membaca buku ini rasanya menambah kerinduan saya pada Jogja dan Sate Ratu. Rasanya tidak sabar untuk menikmati hidangan sate sembari menikmati indahnya suasana Jogja.
Bravo Sate Ratu dan teruslah berinovasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H