Mohon tunggu...
Iswan Heri
Iswan Heri Mohon Tunggu... Administrasi - Dreamer, writer, and an uncle

Traveller, Writer, Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

MQK 2017: Merayakan Literasi di Kampung Santri

9 Desember 2017   19:59 Diperbarui: 10 Desember 2017   01:47 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banner MQK Nasional VI (dokpri)

k. Tauhid : Hâsyiyah ad-Dasûqî ‘alâ Umm al-Barâhîn li asSanûsiy, karya asy-Syaikh Muhammad ad-Dasûqî.

Desa ternyata bukan hanya tempat kaum marhaen memanen hasil bumi. tapi desa juga menjadi tempat para santri menggali ilmu dan budi pekerti. Memupuk nalar dan jati diri. Desa bukanlah tempat yang sunyi dan tak berarti. Desa memiliki kemewahannya sendiri dalam balutan tradisi. Aku kagum jua bahagia melihat adik-adikku santri, putri maupun pria, sibuk membaca buku bertajuk kitab kuning. Membaca tulisan Arab gundul dan tafsir kitab beragam tema. Tak ada beda satu dengan yang lainnya. Baik yang berasal dari kota ataupun desa. Di depan ilmu pengetahuan, semua anak manusia sama dan setara.

Santriwan lantang membaca kitab Fiqih, santriwati lihai berdebat bahasa Inggris. Aku jadi malu dibuatnya. Bahasa Inggrisku belum tentu lebih baik dari mereka. Apalagi bahasa Arab. Padahal aku ini (katanya) sarjana dan hidup di kota. Tapi tak lihai bahasa Inggris, tak mahir bahasa Arab. Untung saja, kawan-kawan seperjalananku tak tahu itu semua. Kalau tidak, mau ditaruh mana mukaku ini?

Peserta MQK VI membaca kitab kuning (dokpri)
Peserta MQK VI membaca kitab kuning (dokpri)
Kaum Santri dan Budaya Literasi

Dari pertemuan dan perbincangan dengan penyelenggara, aku semakin tahu bahwa pesantren kental dengan budaya literasi. Kitab suci, hadis, dan tentu saja kitab kuning dibaca sedari dini. Kitab kuning berisikan beraneka ilmu pengetahuan penting, mulai dari tata bahasa Arab, hadis, tafsir, fiqih, aqidah, akhlak, serta tidak lupa mu`amalah(kemasyarakatan) dan ilmu sosial. Semua dipelajari agar tak hanya pandai melaksanakan ibadah ritual, tapi juga pandai membawa diri di masyarakat. Kitab kuning dan tradisi masyarakat hidup serasi berdampingan.

Hari-hari ini cukup lelah rasanya melihat potret agama yang eksklusif. Sibuk menonjolkan kelompoknya sendiri, kafilahnya sendiri. Memandang rendah pada kelompok yang lain. Seolah Islam menjadi miliknya sendiri. Yang tidak sewarna, patut dicerca dan dihujat. Cobalah tengok sosial media sesaat. Isinya melulu perdebatan tak bermanfaat.

Padahal Nabi mengajarkan perilaku santun. Islam disyiarkan dengan merengkuh hati, bukan menyakiti. Islam selayaknya merangkul, bukan memukul. Islam menyebarkan keselamatan, bukan melulu ancaman. Sungguh, sosial media kadang membuat jengkel. Katanya banyak orang memakai telepon pintar, tapi tidak banyak yang menjadi pintar. Rasanya percuma saja memakai telepon pintar, tapi hati dan kepala tidak ikutan pintar. Huh!

Tapi di sini kurasa berbeda. Santriwan dan santriwati berdebat (bukan adu otot) dalam hal ilmu pengetahuan demi mencari pemahaman yang lebih baik. Kalah menang dalam lomba itu biasa. Yang kalah harus tekun belajar, yang menang tak boleh besar kepala. Oh, alangkah indahnya jika kita semua mampu menerima. Bukankah hidup sejatinya adalah lomba beribadah kepada Tuhan?

Tapi jangan lupa, berbuat baik kepada sesama juga perbuatan berpahala. Bahkan memberi senyum pun dianggap ibadah. Apalagi jika mau berbuat lebih dari itu. Berbuat baik kepada seluruh umat manusia. Bukan hanya kepada umat seagama. Bukankah itu yang dicontohkan dalam hikayat para Nabi?

Kafilah Kompasiana berdikusi dengan Bapak Muhtadin (dokpri).
Kafilah Kompasiana berdikusi dengan Bapak Muhtadin (dokpri).
Fenomena Selfie dalam Agama

Tak bermaksud sombong. Aku memang berasal dari kota. Rumah kos yang kutinggali berada diantara hotel dan mall. Tentu jauh dari sawah dan desa. Kebiasaan orang kota kalau berada di tempat baru, langsung selfie dan upload di media sosial. Tapi bukan untuk selfie, kafilah Kompasiana diundang datang. Petuah dari Koordinator Humas MQK VI, Bapak Muhtadin, S. Ag. begitu menggugah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun