Lillian mengisi setengah cangkir ibunya dengan kopi, lalu menambahkan cokelat susu seraya menahan kulit jeruk dan kayu manis agar tidak ikut jatuh sehingga minuman itu akan terasa lembut dilidah.
Hiasi dengan krim kocok agar lebih lembut. Berikan kepada ibumu. Begitulah bunyi tulisan dalam resep.
“Bau harum apa ini?” Tanya ibunya saat Lillian membawa cangkir ke ruang tamu.
“Sihir,” kata Lillian.
(Kelas Memasak Lillian, hal.27)
***
Berbekal alamat dari seorang kawan, saya berangkat menuju Yogyakarta siang itu. Sekalipun saya sering menghabiskan waktu di Jogja, namun sampai sekarang saya masih belum juga hapal nama-nama jalan disana. Matahari tepat berada diatas kepala saat saya tiba di tempat itu, sebuah kedai nan cantik yang berada dalam satu halaman dengan sebuah toko buku. Sambil menyelam minum ,air pikir saya. Setelah makan siang, saya bisa mencari beberapa buku yang telah saya incar beberapa hari ini.
Belum banyak orang ketika saya sampai disana. Hanya beberapa kursi kayu yang telah diduduki beberapa orang. Meja dan kursi kayu dengan desain natural, semakin menambah cantik tempat yang nyaman untuk bercengkerama ini. Rombongan Kompasianer Jogja pun belum berkumpul semua. Karena adzan dzuhur telah bergema, saya langkahkan kaki menuju masjid yang ada di depan kedai.
Setelah sholat, rombongan kami sudah mulai berdatangan. Hari ini Kompasianer Jogja mengunjungi sebuah kedai makan yang berada di tengah kota Jogja. Namanya kedai Miago (Mie Ayam Goreng) Pangsit Juwita. Pertama kali info kuliner ini muncul di halaman Kompasianer Jogja (KJog), saya langsung penasaran. Kira-kira seperti apa ya wujud dan rasa Miago itu? Beruntung, saya mendapatkan kesempatan untuk menuntaskan rasa penasaran itu pada hari ini.
Acara dimulai dengan perkenalan dan ramah tamah dengan tuan rumah, yakni Bapak Agus Yudi, pemilik kedai Miago Pangsit Juwita. Kedai yang mulai berdiri sejak bulan juli 2016 ini, kini mulai mempunyai penggemar sendiri. Buktinya saat makan siang itu, semakin banyak orang yang datang ke kedai. Tua, muda, semuka suka dengan olahan rasa di Miago Pangsit Juwita. Kedai Miago Pangsit Juwita adalah kerjasama dari Bapak Agus dan Mbak Juwita. Selain sebagai koki, nama Mbak Juwita juga digunakan sebagai identitas dari kedai ini.
Setelah perkenalan usai, kami diberikan daftar menu yang ada. Berbagai nama hidangan yang menarik berbaris rapi seolah menggoda mata dan imajinasi. Pilihan saya jatuh ke Miago coklat ceker pangsit. Untuk level pedas, saya mencoba level tujuh. Sebagai tambahan informasi, di Miago Pangsit Juwita semua makanan dan toping mempunyai pilihan level dari kosong sampai tigabelas.
Level ini menunjukkan berapa jumlah cabai yang diinginkan dalam makanan yang kita pesan. Sebagai contoh: jika kita memilih Miago level tujuh, maka akan dimasukkan tujuh cabe ke dalam miago tersebut. Untuk toping sendiri tersedia banyak pilihan. Ada ceker, sosis, bakso, rolade, maupun jagung.
Untuk Miago pesanan saya, warna mie maupun “mangkok” nya berwarna lebih gelap daripada Miago pesanan kawan-kawan yang lain. Warna ini berasal dari coklat yang dicampurkan ke dalam mie maupun pangsit. Selain warna coklat, ada juga Miago yang berwarna hijau dan merah. Warna hijau berasal dari campuran sayur bayam, dan warna merah dari buah strawberry.
Ada sedikit rasa manis, gurih, dan tentu saja pedas saat mie masuk kedalam mulut. Rasa pedasnya menempel di bibir dan lidah saya, membuat keringat semakin deras mengucur. Ceker yang ada di atas Miago juga terasa manis, dan lembut saat dikunyah. Kombinasi rasa manis dari coklat, gurihnya mie, serta pedas begitu pas di lidah. Tidak kurang, tidak lebih. Sungguh nikmat rasanya.
Puas mencicipi Miago, saya beralih ke Siomay Pelangi. Sesuai namanya, siomay ini mempunyai tiga warna; yakni coklat, merah, dan hijau serupa pelangi. Rasa siomay pelangi begitu gurih dan lembut. Bahkan adik Renjana, putra salah satu Kompasianer, pun menyukainya. Mencampurkan sayuran maupun buah ke dalam bahan makanan bisa menjadi salah satu cara mengenalkan sayuran kepada buah hati yang kurang menyukainya. Anda bisa menambahkan saos pedas ke dalam siomay jika ingin mencoba sensasi lainnya.
Kadang saya merasa bahwa koki masakan tak ubahnya seperti seorang penyair. Bila penyair mengolah kata dan rima, lalu merangkainya menjadi sebuah sajak yang indah, maka koki atau juru masak meramu berbagai jenis bahan makanan dan menjadikannya sebagai sebuah hidangan lezat. Keduanya memiliki kerumitan dan tantangan sendiri, namun jika dilakukan dengan ketekunan dan kecintaan akan profesi yang dilakukan, niscaya akan tercipta sebuah karya maupun hidangan yang akan memukau banyak orang.
Bagi saya, Miago adalah hasil dari sebuah pencarian dan imajinasi akan sebuah cita rasa baru. Ia adalah buah dari ketekunan dan kerjakeras dalam mengolah dan meracik berbagai bahan makanan. Hanya orang dengan ketekunan tingkat tinggi lah yang mampu membuatnya, sebagaimana kisah Lillian yang senantiasa berusaha mengkreasi bahan makanan baru untuk memikat hati ibunya. Dan kali ini, saya benar-benar terpikat akan rasa dan tekstur dari Miago. Miago bukan hanya sekedar makanan belaka. Miago adalah sebuah imajinasi. Imajinasi akan cita rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H