Matahari tepat bertengger diatas kepala saat rombongan kami menjejakkan kaki di tempat itu. Beruntung sinar matahari di tempat ini tidak segarang matahari di kota Solo yang membakar sepanjang perjalanan tadi. Angin sejuk pegunungan Lawu membelai kulit kering kami, seolah ingin mengusir semua penat yang ada setelah seminggu penuh bekerja. Tak sabar rasanya ingin menjelajah tempat yang baru pertama kami kunjungi ini.
Barang bawaan diturunkan, dan kami bersiap-siap untuk memulai berkeliling di tempat baru ini. Sesaat sebelum kami beranjak, Mbak Sri Rejeki atau yang akrab dipanggil Mbak Iik,pengelola tempat ini menawari kami dengan segelas teh panas khas pegunungan Lawu dan sepiring singkong goreng yang baru turun dari penggorengan. Tawaran yang menarik ini tentu tak kami sia-siakan. Teh asli pegunungan Lawu memiliki aroma dan kepekatan yang khas sehingga memanjakan tenggorokan kami. Dipadu dengan singkong goreng yang nikmat, seolah mengobati kerinduan akan jajanan tradisional yang mungkin akan susah ditemukan di perkotaan.
Tempat yang kami kunjungi kali ini memang unik. Sebelum sampai di lokasi, dari kejauhan saya melihat sebuah bangunan unik berupa persegi panjang dengan rongga-rongga sebagai lubang angin di seluruh sisinya. Sekilas, agak mirip dengan rumah lebah, hanya saja bentuknya persegi dan sangat besar. Saya menduga tentulah lubang angin sebanyak ini dibuat agar sirkulasi udara dalam gedung lancar dan mengurangi panas akibat aktivitas yang dilakukan.
Bangunan yang sudah berumur ini tetap berdiri kokoh diantara rumah-rumah penduduk dan hamparan sawah yang membentang luas. Bangunan ini dulunya adalah pabrik minyak Atsiri, namun sudah lama berhenti beroperasi. Kini bangunan tersebut sedang dalam tahap renovasi dan akan dijadikan museum Rumah Atsiri, sebuah tempat rekreasi sekaligus wisata edukasi.
Pabrik minyak Atsiri dibangun pada tahun 1963 sebagai bentuk kerjasama pemerintah Indonesia dan Bulgaria pada saat itu. Pabrik ini diproyeksikan Soekarno sebagai Presiden Indonesia sebagai pabrik minyak Atsiri di Asia Tenggara. Bahkan saat masih aktif beroperasi, Pabrik Atsiri sanggup mengekspor produknya sampai ke Perancis. Komoditi eksport tersebut adalah minyak Lakton yang berasal dari kayu pohon Masoi yang hanya tumbuh di Papua. Minyak Lakton dijadikan sebagai bahan baku pembuatan parfum dan hanya Indonesia yang mampu menyediakannya.
Sayang seribu sayang, impian tinggal impian. Pabrik Atsiri tidak sanggup dibangun hingga usai. Tragedi dan gejolak politik di tahun 1965 memaksa Pabrik minyak Atsiri layu sebelum berkembang. Seluruh insinyur dan tenaga ahli dari Bulgaria terpaksa kembali ke negaranya untuk menyelamatkan diri. Dan bisa kita tebak selanjutnya, proyek ini pun harus rela tumbang karena perbedaan visi ekonomi yang besar antara Soekarno dan Soeharto, Sang Bapak Orde baru. Â Â Â Â Â
*****
Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Nampaknya nasehat Bapak Proklamator, Bung Karno tersebut belum lepas dari ingatan kita. Namun apakah nasehat tersebut juga sudah dilaksanakan dalam aktivitas keseharian bangsa, perlu kita kaji dan pikirkan kembali. Padahal bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya sendiri? Mungkin itu pula yang menjadi faktor kenapa bangsa kita belum mampu menyusul negara-negara di kanan kiri kita.
Lantas apa sebenarnya kekurangan bangsa kita? Sumber daya alam berlimpah, Sumber Daya Manusia bak buih di lautan. Namun, tampaknya kita masih perlu banyak belajar untuk menjadi bangsa besar. Alih-alih dikenal sebagai macan asia, hari ini bangsa ini dikenal karena korupsi nya yang merajalela. Belum lagi dengan ancaman teror, kekerasan terhadap anak dan perempuan, kekerasan dan intoleransi berbau SARA dan berbagai problem lain seolah tak berhenti mengintai kita.
Lalu apa yang lantas harus kita pelajari kini? saya berpendapat sudah saatnya kita kembali membaca sejarah dan belajar untuk berani bermimpi. Kita harus belajar merawat imajinasi sebagaimana dulu Bung Karno pernah ajarkan. Bukankah kemerdekaan bangsa ini juga berasal dari impian? setelah itu, sebagaimana yang Bung Karno lakukan, kita harus mulai mengajak seluruh elemen bangsa untuk berbagi satu impian yang sama. Impian menjadi bangsa yang maju dan sejahtera dibawah satu panji bhineka tunggal ika, kesetaraan, dan keadilanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H