[caption caption="Sumber foto: www.goodreads.com"][/caption]
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : September 2014
TebalBuku : 256 halaman, 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
“Kadang, sikap tulus dapat menyelamatkan kita dari carut-marut dunia yang tidak kita pahami”
Setiap manusia mempunyai masalah dalam hidupnya. Entah itu berat atau ringan, yang rumit maupun sederhana. Tiap orang lalu mencari dan merumuskan cara uniknya masing-masing untuk mengatasi rupa-rupa masalah yang mereka hadapi. Ada yang dengan tangan terbuka menerima masalah yang datang dan berusaha menghadapinya perlahan. Ada pula yang memilih lari dari masalah, bersembunyi, atau bahkan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain demi menghindarkan diri dari masalah kehidupan.
Padahal bukankah hidup adalah rangkaian dari masalah? Oleh karenanya, lari dari masalah justru akan menjadi masalah baru, alih-alih menemukan solusi yang mencerahkan. Untuk meresapi makna kehidupan, seringkali manusia harus belajar untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Kadangkala masalah hidup yang hadir akan menempa kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang. Belajar menghadapi masalah bahkan sanggup membuat seseorang mengenali jati dirinya secara lebih baik.
Namun, ada juga tipe orang yang memilih untuk memendam masalah, menutup diri, dan mengenakan topeng agar terlihat semua baik-baik saja. Ada banyak faktor yang membuat orang memilih memendam masalah dan enggan membuka diri. Ada yang dipengaruhi pola pendidikan dan interaksi di dalam keluarga, sikap mental yang tertutup (introvert), ada juga yang merasa takut dan ditambah oleh kurangnya perhatian dari orang-orang sekitar.
Memendam masalah dalam kurun waktu yang lama bisa berakibat fatal. Beban hidup yang semakin berat karena tumpukan masalah sekian lama dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan mental atau sering disebut skizophrenia. Skizophrenia dan segala seluk-beluknya inilah yang kemudian dirangkai menjadi menjadi kisah nan apik dalam novel “Bulan Nararya” oleh Sinta Yudisia.
***
Cerita bermula di sebuah klinik kesehatan mental di pinggiran kota Surabaya. Nararya-yang biasa dipanggil Rara-, seorang perempuan muda energik nan kaya akan ide-ide segar, menghabiskan hari-harinya sebagai seorang terapis kesehatan mental. Kecintaannya akan profesi dan dunianya tersebut menghantarkannya pada pencarian akan metode penyembuhan baru demi penyembuhan pasien.
Transpersonal adalah nama metode penyembuhan mental baru yang sedang ia dalami. Transpersonal adalah suatu aliran psikologi baru yang menerapkan pendekatan budaya maupun pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Dan Zen kepada penderita gangguan mental. Dengan metode ini, ketergantungan pasien kepada obat-obatan berusaha dilepaskan.
Sekalipun transpersonal adalah metode baru, namun Rara begitu bersemangat untuk mencobanya sebagai alternatif terapi penyembuhan di klinik ia berada. Dengan penuh optimisme, Rara mempresentasikan metode transpersonal ke hadapan Direktur Klinik, Bu Sausan, petinggi yayasan, dan para penyandang dana.
Namun, karena transpersonal adalah metode baru dan masih membutuhkan banyak pengujian, ide Rara ditolak keras mentah-mentah oleh Bu Sausan dan petinggi yayasan. Penolakan ini tentu memberikan hantaman keras terhadap rasa percaya diri Rara. Penolakan ini adalah masalah pertama yang hadir, diantara beragam kerumitan yang hadir dalam hidup Rara selanjutnya.
Rara merasa sangat kecewa. Harapannya untuk mencoba metode terapi yang baru kandas di tengah jalan. Namun, penolakan yang dilakukan oleh Bu Sausan dan pihak yayasan bukannya tanpa alasan. Kasus seperti skizophrenia atau hilang akal sering dianggap sebelah mata dan bersinggungan dengan keterbatasan dana yang ada.
Dengan realita seperti itu, klinik kesehatan mental bukanlah tempat yang tepat untuk melakukan penelitian baru yang memakan waktu dan biaya. Bu Sausan dan yayasan tidak mau mengambil resiko mencoba metode terapi baru yang mungkin bisa memakan waktu sepuluh sampai lima belas tahun untuk melihat hasilnya. Problematika seperti inilah yang membuat pergolakan batin Rara tak kunjung usai.
***
Dalam suasana murung, Rara berjalan perlahan menuju paviliun pasien. Bila sedang merasa sedih dan tertekan, Rara seringkali menemui tiga “sahabat” spesial yang sekaligus menjadi pasiennya di klinik tersebut. Sania, Pak Bulan, dan Yudhistira adalah nama dari tiga sahabat spesial Rara itu. Perhatian aneh dari ketiga orang tersebut, acapkali membawa sebentuk kebahagiaan dalam diri Rara.
Sania kecil sering meminta Rara mengusap air mata nya dengan telinga boneka kelinci saat ia menangis, Pak Bulan mengajak Rara untuk melihat rembulan jika merasa sedih, dan Yudhistira akan menyodorkan kuas serta mengajak Rara melukis dalam suasana yang tenang dan khidmat. Ketiganya memberi perhatian kepada Rara dalam cara yang unik dan tidak biasa.
Sania adalah seorang gadis kecil yang temperamental. Ia dibesarkan oleh dalam kondisi keluarga yang berantakan. Hidup dalam keadaaan miskin, diperparah dengan kehadiran nenek yang sering mencambuknya dengan rotan, ibu yang pemarah, dan ayah yang pemabuk. Sania ditemukan dinas sosial di sebuah terminal dengan luka di kaki kiri, gigi depan patah, dan punggung yang penuh memar. Tidak menangis, tak mau bicara, dan hanya mengigit kuat boneka yang kala itu dilakukan Sania.
Pak Bulan adalah lelaki renta berusia tujuh puluh tahun. Dia pernah menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan karena dituduh mencuri. Skizophrenia sering membuat orang berada dalam kondisi terisolasi, tersisih, tercerabut dari ikatan kekeluargaan, kekurangan gizi, yang pada akhirnya membuat kemampuan akal turun drastis.
Dari ketiganya, Yudhistira adalah orang yang berasal dari keluarga yang paling mapan, bahkan mewah. Namun hidup dalam kemewahan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dibesarkan oleh seorang ibu dan kakak perempuan yang menjadi pengusaha sukses, justru membuat Yudhistira menjadi seorang yang kecil hati. Yudhistira tak pernah belajar menjadi orang yang mandiri. Ibu dan keluarga yang mengekang, dan tak berhenti mencampuri urusan pribadinya, bahkan setelah menikah membuatnya depresi.
Istri Yudhistira, Diana yang mendambakan sosok suami yang tegas dan mandiri tak bisa bersabar hati. Tuntutannya kepada Yudhistira agar hidup mandiri, lepas dari bayang-bayang keluarga besarnya menjadikan Yudhistira limbung. Rasa cinta yang sedemikian besar kepada Diana dan penghormatan yang berlebihan kepada Ibu,membuat Yudhistira tak bisa mengambil sikap. Saat tak kuasa lagi menahan tekanan, Yudhistira memilih mengunci diri berhari-hari di dalam kamar. Tidak bicara, tidak mandi, tidak makan, dan hanya melakukan aktivitas yang disukainya, melukis.
Sania, Pak Bulan, dan Yudhistira dengan beragam masalah dibelakangnya, hanyalah sedikit contoh dari tantangan yang harus dihadapi Rara setiap harinya. Masalah semakin rumit ketika rumah tangga yang dibina Rara bersama Angga selama sepuluh tahun mulai diterpa goncangan. Goncangan yang akhirnya membuat ikatan suci itu berakhir.
Perceraian tersebut menguras energi dan konsentrasi Rara, serta membuatnya tidak fokus bekerja. Ditambah keretakan hubungan antara Rara dan sahabat baiknya sesama terapis, Moza, pasca perceraian membuatnya berada dalam titik paling rendah dalam hidup. Dalam kondisi tertekan, Rara melihat genangan darah dan kelopak mawar berceceran di depan ruang kerjanya.
Apakah yang dilihat Rara adalah halusinasi karena depresi hebat? Apakah Rara akan menjadi salah satu pasien di tempat ia bekerja selama ini? Dapatkah Rara menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi tersebut?
***
“Bulan Nararya” adalah novel bertema psikologi pertama yang pernah saya baca. Melihat covernya sekilas, saya sempat mengira bahwa novel ini ditujukan untuk kalangan remaja. Ternyata saya salah, novel ini menurut saya justru ditujukan untuk kalangan dewasa. Tema yang unik, cerita yang sedikit rumit, dan banyaknya bahasa ilmiah yang bertebaran di sepanjang jalan cerita mungkin akan membuat kalangan remaja agak kesulitan dalam memahami novel ini.
Awalnya saya cukup merasa kesulitan dalam memahami cerita dalam novel ini. Bahasa ilmiah yang menghiasi isi novel membuat saya yang awam akan dunia psikologi menjadi bingung akan makna kata yang dituliskan. Apalagi tidak ada catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut. Andaikan ada penjelasan sedikit saja, mungkin akan sangat membantu pembaca seperti saya dalam mengikuti jalan cerita.
Namun, walaupun agak kesulitan pada mulanya, tidak mengurangi ketertarikan saya terhadap novel ini. Gaya bahasa yang mengalir dan alur maju-mundur yang digunakan penulis, membuat cerita yang dituliskan sedemikian hidup. Disisi lain, nilai kebajikan yang termuat dalam novel ini sangat patut kita renungi. Nilai penting yang saya ambil dari novel ini adalah pentingnya kita berbuat tulus. Manusia harus belajar kembali nilai ketulusan dalam dunia yang mulai gila ini. Gila karena disekitar kita hari ini, banyak orang yang “gila” akan harta, tahta, dan jabatan.
“Kadang, sikap tulus dapat menyelamatkan kita dari carut-marut dunia yang tidak kita pahami” (hal 205).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H