Mohon tunggu...
Iswan Heri
Iswan Heri Mohon Tunggu... Administrasi - Dreamer, writer, and an uncle

Traveller, Writer, Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kota Bisa diciptakan, Merawat Ruang Publik, Merajut Republik

30 September 2015   23:58 Diperbarui: 1 Oktober 2015   01:03 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami mau yang lebih indah

Bukan hanya remah remah

Sepah, sudahlah

 

Kami hanya akan mencipta

Segala apa yang kami cinta

Bahagia

Kami bawa yang membara

Di dasar jiwa, di dasar jiwa

 

Menembus rimba dan belantara sendiri

Pasar bisa diciptakan

Membangun kota dan peradaban sendiri

Pasar bisa diciptakan

………

(Pasar Bisa Diciptakan – Efek Rumah Kaca)

 

Lama tidak terdengar, tetiba salah satu band kesukaan saya, Efek Rumah Kaca (ERK) merilis lagu baru mereka “Pasar Bisa Diciptakan”, pada tanggal 10-Juli-2015 yang lalu. Peluncuran lagu ini ditandai dengan pemutaran lagu tersebut secara serentak di radio-radio di Indonesia. Mungkin banyak yang sudah mendengar lagu tersebut, namun jika belum, anda bisa mengunduh lagunya secara gratis di akun soundcloud ERK. Penggalan lirik lagu tersebut seperti yang saya kutip pada pembuka tulisan ini.

Band Efek Rumah Kaca (ERK) yang beranggotakan Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (bass, vokal latar), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar), pada tahun ini genap memasuki satu dekade perjalanan karir musik mereka. Dalam kurun waktu tersebut, mereka sudah menelurkan dua album, yaitu album “Efek Rumah Kaca” (2007) dan “Kamar Gelap” (2008). Sedangkan lagu “Pasar Bisa Diciptakan” adalah single perdana untuk album baru mereka yang rencananya akan keluar tahun ini.

Lagu “Pasar Bisa Diciptakan” sebenarnya adalah “manifesto” ERK yang sudah digaungkan sejak awal mereka berdiri, dan mengusung ide tentang kemandirian berkarya seni dalam pusaran industri musik. Manifesto yang bukan main dan bukan main-main. Di tengah kecenderungan karya seni (khususnya dalam bentuk lagu) yang cenderung mengikuti selera pasar demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya sekaligus secepat-cepatnya, ERK justru menyerukan bahwa pasar sebenarnya bisa diciptakan. Jadi tidak ada lagi alasan bagi musisi untuk harus tunduk dan patuh pada selera pasar, karena sebenarnya musisi mampu menciptakan pasar mereka sendiri.

Pasar yang semula menduduki posisi superior, tiba-tiba turun kasta dihadapan ERK. Ini jelas sebuah hal yang tak lazim dan pemikiran diluar arus kebanyakan. Kritis, mengusik, namun sekaligus cerdas dan mencerahkan. Pada akhirnya saya teracuni juga oleh pemikiran ERK ini, sekaligus menemukan jawaban atas kebosanan level akut pada lagu-lagu mainstream yang selama ini tema dan liriknya seputar itu-itu saja. Coba bayangkan bagaimana jika diseluruh dunia, manusianya memakai baju yang sama dan tidak pernah berganti. Berkemeja putih dan bercelana merah layaknya siswa SD. Membosankan bukan? Itulah gambaran kondisi musik dominan di negeri ini dan bisa jadi di dunia saat ini. Nyaris sama dan seragam, kalau tidak disebut stagnan.

MEMBANGUN KOTA DAN PERADABAN SENDIRI

ERK dikenal bukan hanya saja pada tema-tema lagunya yang unik dan tidak biasa, namun juga mampu menyihir pendengarnya dengan lirik yang puitis dan inspiratif. Tak terkecuali pada lagu “Pasar Bisa Diciptakan”. Coba simak penggalan lirik nya berikut ini:

 

Menembus rimba dan belantara sendiri

Pasar bisa diciptakan

Membangun kota dan peradaban sendiri

Pasar bisa diciptakan

……

Entah kenapa lirik tersebut seolah-olah membius saya. Lirik “Membangun kota dan peradaban sendiri” mengendap di kepala berhari-hari, menyelipkan tanda tanya, sekaligus membangkitkan imajinasi. Sampai sekarang masih terbersit dikepala saya, mungkinkah saya atau masyarakat pada umumnya mampu (dan mau) membangun kotanya sendiri? Bahkan lebih dari itu, mampukah masyarakat kita membangun peradabannya sendiri?

Saya tidak tahu kenapa Cholil cs. menyelipkan kata tersebut dalam lirik lagu mereka. Tapi mungkin inilah keunikan dan daya tarik dari karya-karya ERK. Lagu-lagu yang diciptakan ERK bukan hanya menghibur, tapi juga seringkali menyelipkan pertanyaan-pertanyaan menggelitik seputar realita sosial di masyarakat. Gagasan serius tentang membangun kota dan peradaban, mampu diselipkan kedalam alunan nada yang sederhana namun sarat makna. Untuk itu, saya harus berterimakasih sekali lagi kepada ERK.

Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul adalah apakah musik, karya seni, budaya mampu menjadi sarana untuk membangun kota, bahkan membangun peradaban itu sendiri? Lantas karya seni atau budaya yang seperti apa yang mampu mendorong kota sebagai zona yang mampu menjadikan warga penghuninya berkembang sedemikian rupa menuju insan yang paripurna?

KEBUDAYAAN DAN KEMUNCULAN RUANG PUBLIK

Sebelum ruang publik terbentuk dan mempunyai fungsi politis dalam relasi antara negara dan masyarakat di Eropa pada abad ke-18, perintisan kesusastraan sudah terlebih dahulu mendorong kesadaran kritis di ranah politik. Diskusi kritis akan produk budaya yang tumbuh subur di ruang baca, teater, musium, dan konser-konser, lambat laun bergeser ke tema-tema mengenai isu sosial dan politik.

Ruang publik pertama di dunia sastra, muncul dalam wujud kedai-kedai kopi, salon-salon, dan Tischgesellschaften (table societies, himpunan masyarakat meja). Kehadiran ruang publik yang semula didominasi kelompok elit, lambat laun berkembang menjadi wacana kritis yang lebih luas di masyarakat. Kota bukan kemudian tumbuh, bukan hanya menjadi pusat aktivitas ekonomi masyarakat sipil semata, namun juga mempunyai peran sebagai oposisi kultural-politis atas kekuasaan yang lebih besar, yaitu negara.

Ruang Publik (Offentlichkeit) menurut Habermas (Habermas:2015), dapat dibagi menjadi:

  • Ruang Publik Politik/Politis (Politische Offentlichkeit)
  • Ruang Publik Sastra/Literer (Literarische Offentlichkeit), serta
  • Perepresentasian/Perwakilan Publik (Reprasentative Offentlichkeit)

Secara sekilas, kita dapat melihat peranan seni budaya dalam mendorong kemunculan wacana kritis akan tatanan sosial politik yang ada. Akibatnya kota menjadi tempat yang lebih hidup, karena bukan hanya aktivitas ekonomi yang ada di dalamnya, melainkan berbagai aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak menjadi topik pembicaraan warga kota.

 

MERAWAT RUANG PUBLIK, MERAJUT REPUBLIK

Dari uraian singkat diatas, kita dapat melihat bahwa keberadaan ruang publik khususnya dalam ranah politik, adalah syarat mutlak bagi tumbuhnya kota dan peradaban. Demokrasi yang seutuhnya hanya akan diraih jika warga masyarakat diajak untuk duduk bersama mendiskusikan problematika yang dihadapi dalam rangka membangun kota sebagai tempat hidup bersama. Dari perbincangan seputar isu kota, kesadaran yang lebih luas akan konstruksi negara akan tumbuh. Apalah arti membangun kota jika tidak melibatkan warganya? Di negara-negara maju telah membuktikan, bahwa pembangunan sumber daya manusia dengan berbagai instrumennya adalah kunci utama akan kemajuan kota, bahkan bangsa.

Penting kiranya untuk kita pikirkan, bagaimana mewujudkan (serta merawat) ruang publik seluas-luasnya di masyarakat, baik itu dalam hal politis, sastra, dsb. Gerakan di masyarakat dalam mengkritisi kota, hendaknya dilihat sebagai suatu kepedulian, alih-alih dianggap ancaman. Sebagai contoh gerakan Save Sriwedari di kota Solo dalam rangka mempertahankan ruang publik patut dijadikan pertimbangan bagi pemangku kebijakan yang ada untuk menata kembali Kota Solo agar menjadi tempat yang benar-benar nyaman bagi warganya. Di kota lain, seperti Yogyakarta juga memperlihatkan kesadaran warga yang mulai tumbuh untuk membangun kota menjadi tempat yang lebih bersahabat.

Di sisi lain, ruang publik yang spesifik seperti seminar maupun diskusi ilmiah harus didorong terus sebagai salah satu sarana untuk menambah khasanah ilmu dan pengetahuan. Jangan ada lagi pelarangan diskusi, pembubaran bedah buku maupun film, terlebih lagi di Universitas karena itu hanya akan membuat pemikiran kita semakin kerdil. Mari bersama kita rawat ruang publik, karena dengannya kita dapat merajut republik.

Referensi:

Habermas, Jurgen, Ruang Publik : Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Kreasi Wacana, Jogja, 2015 hal. xi

[caption caption="Foto diambil dari laman Facebook Anti Tank"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun