Mohon tunggu...
Muhammad Iswan
Muhammad Iswan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Indonesia

apa yang kau lakukan sekarang adalah masa depanmu di masa lalu, dan apa yang kau lakukan di masa sekarang adalah pengantar menuju masa yang kelak kau sebut 'hari ini'.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jerat Melingkar antara Politisi, Rakyat dan Pengusaha

10 Mei 2023   23:46 Diperbarui: 11 Mei 2023   00:01 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul di atas tentu tidak mengherankan lagi di Indonesia, di era sekarang. Era dimana hampir seluruh aktivitas individu maupun sosial, membutuhkan kekayaan sebagai modal utama untuk beraktivitas. 

Termasuk dalam ranah politik, justru segmen kehidupan yang satu ini menjadi wajah baru bagi pemusatan gravitasi ekonomi. Bahasa yang seringkali digunakan oleh para aktivis dengan istilah "Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha" sudah mulai memudar, bahkan, mungkin tidak lama lagi akan hilang dari peredaran diskusi mahasiswa.

Lalu, Siapa politisi yang dimaksud? kenapa politisi harus kaya? Bagaimana politisi akan kaya sementara hidupnya disibukan dengan aktivitas untuk menjalankan fungsi jabatannya? bagaimana pula nasib si miskin yang hendak jadi politisi? 

Definisi atau arti politisi dapat dengan mudah didapati di google. Namun, di sini kita tidak sedang mempersoalkan arti politisi itu dalam arti bahasa. Melainkan dalam arti jabatan dan fungsi yang diemban. 

Seorang politisi yang dimaksud di sini adalah mereka yang menjadi mind maker atas kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Baik mereka yang menduduki jabatan struktural dalam birokrasi pemerintahan maupun mereka yang terlibat secara langsung dalam melaksanakan fungsi kenegaraan dalam artian politik. 

Lebih khusus, dalam tulisan ini, mengarahkan pandangan kepada mereka yang menduduki jabatan melalui mandat yang diberikan oleh rakyat sebagai pemegang kuasa tertinggi di negara Republik Indonesia. Mereka adalah wakil yang dipercaya rakyat untuk memegang amanat dan tanggung jawab untuk membuat kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Baik dari kalangan pemerintah eksekutif maupun dari kalangan legislatif.

Menariknya. Berbagai fakta lapangan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, ada sebuah fenomena lama yang terus tumbuh dan mencuat setiap lima tahun sekali, pada saat pagelaran pemilu berlangsung. 

Sebuah agenda demokrasi yang marak dilangsungkan setiap lima tahun sekali. Beruntungnya, hadir sebuah kebijakan untuk melaksanakan pemilu secara serentak. 

Hal ini, terlepas dari kepentingan dan perdebatan politik di belakangnya, merupakan upaya yang baik agar agenda pemilu tidak menguras begitu banyak harta (uang) operasional untuk penyelenggaraan pemilu secara resmi maupun uang kaget untuk masuk ke kantong oknum masyarakat yang masih begitu menaruh harapan besar menguras harta calon wakilnya sendiri.

Politisi dari kalangan eksekutif maupun legislatif yang pada dasarnya juga mengakomodir kepentingan partai politik pengusungnya, tidak terlepas dari modal untuk biaya kampanye dan operasional lainnya. 

Belum lagi untuk kepentingan pembagian uang kaget. Dengan biaya atau modal besar yang akan digunakan, tidak heran bahwa pada prosesnya mereka harus turut serta merangkul dan membuka diri bagi para pengusaha untuk membantunya. 

Tolong menolong antara calon penguasa dan pengusaha ini lah yang pada akhirnya membentuk satu lingkaran elit di negara ini. Tapi, tidak lantas mengaburkan peran serta atau andil masyarakat dalam membentuk pondasinya. Khususnya bagi oknum masyarakat yang masih mempersyaratkan suara atau pilihannya sebagai barang dagang dalam transaksi politik.

Seorang politisi yang tidak memiliki kekayaan di atas rata-rata masyarakat Indonesia, berpotensi besar untuk meraup dan mengumpulkan kekayaannya ketika menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. 

Apabila ini tidak terpenuhi, maka besar kemungkinan ia akan terjerat pada lingkaran dilematis dalam keberpihakan pada saat pembuatan kebijakan. Itulah kenapa seorang politisi harus kaya, agar kepentingan, independensi dan integritasnya dapat terjaga. 

Kekayaan memang dalam perkembangan manusia, identik dengan pelaku usaha atau dalam istilah kerennya, pebisnis. Namun, itu tidak berlaku bagi sebuah wilayah dengan nuansa politik yang di dalamnya melekat fenomena, apa yang disebut sebagai Politik Transaksional.

Saat ini, sudah tidak menjadi soal, apakah anda seorang pengusaha atau penguasa (dalam artian politisi). diferensiasi antara keduanya bukan lagi merupakan dua jalan kehidupan yang perlu dipilih. Anda tidak harus meninggalkan dunia usaha untuk jadi penguasa, begitu pun sebaliknya. Anda tidak harus berhenti jadi politisi untuk menjalankan usaha. 

Tak jarang, keduanya bersanding pada satu nama dan identitas individu. Sehingga, boleh dikatakan, individu yang bersangkutan telah berhasil mengimplementasikan sistem "ekonomi-politik" dalam diri dan kehidupannya secara bersama-sama. 

Seorang politisi sangat mungkin menjadi kaya dengan kedudukan dan jabatan yang diemban. Anggapan ini tidak lantas menjadi acuan bagi kita untuk berlomba-lomba mencari penghidupan dan kecukupan atau bahkan kelebihan ekonomi (uang) dengan menjadi politisi itu sendiri. Sebab, uji kelayakan dan introspeksi diri juga penting sebagai pertimbangan. Dan, jangan lupa. Modal harus disediakan.

Selama modus uang kaget masih merajalela dalam panggung demokrasi pemilu, maka jangan pernah berharap pemilu akan menghasilkan orang-orang yang secara murni berorientasi kepada kepentingan anda dan masyarakat pada umumnya secara luas. 

Kecuali anda seorang tim sukse atau dianggap punya kedekatan khusus dengan politisi di sekitar anda. Sebab hasil pemilu dengan pola yang seperti ini akan terus terjerat dalam lingkaran, sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya. 

Mungkin diantara pembaca juga ada yang menjadi penikmat hasil uang kaget yang serupa. Terima Kasih atas kontribusi anda dalam menguatkan pondasi eksisnya lingkaran elit untuk kalangan pengusaha dan penguasa. 

Dan, dengan uang kaget itu, anda bukan saja menggadai tapi juga menjual hak anda dengan uang yang paling hanya cukup untuk bertahan selama satu minggu. Sementara anda akan dipimpin selama satu periode (5 Tahun) oleh orang yang telah membeli suara anda. 

Jangan juga ujug-ujug meminta keadilan. Sebab, suara anda sudah tidak terdengar, bahkan sudah terpenjara dalam kotak suara sejak anda menentukan pilihan dengan dasar transaksi suara.

Jika anda merasa perlu untuk masuk dan memperbaiki tatanan mekanisme pemilihan agar fenomena ini tidak terjadi lagi, atau, paling tidak, dapat direduksi. Maka, solusinya bukan kemudian tiba-tiba terjun ke sana, karena hal yang paling penting untuk dibangun adalah kesadaran hukum yang hidup di masyarakat terlebih dahulu. 

Memaksakan diri untuk terjun ke politik untuk memperbaiki kondisi pemilu yang seperti ini hanya akan menjadi tambahan bahan bakar baru bagi kelangsungan lingkaran setan ini semakin kuat. 

Mungkin anda bertanya atau sekadar berpura-pura untuk bertanya tentang harta yang mungkin dikumpulkan oleh para politisi pada jabatan struktural tertentu di bidang eksekutif maupun legislatif. Tapi, mohon maaf, jawaban itu anda dapat prediksi dengan melihat keterkaitan satu sama lain dari setiap rentetan peristiwa yang terjadi pada lingkaran menuju pemilu, pelaksanaan pemilu dan pasca pemilu serta menjelang pemilu berikutnya. Jangan lupa untuk ikut serta memperhatikan apa yang terjadi pada masa periode jabatan tertentu berlangsung. 

Selamat menikmati hidangan renyah...!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun