Sebagaimana yang diketahui, Â Pasai atau Samudera Pasai merupakan Kerajaan Islam terbesar di Abad ke 12 Masehi. Â Kerajaan ini didirikan Meurah Silu pada tahun 1267 Masehi. Bukti arkeologisnya adalah makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara.Â
Dilansir dari Acehprov.go.id, Â makam raja-raja Pasai terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh.Â
Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam  dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pasai dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh. Ada pula yang menyatakan Kerajaan Samudera Pasai itu gabungan Kerajaan Samudera dan Pasai.
Pada era kejayaannya, Samudera Pasai adalah pusat perdagangan yang penting di kawasan Selat Malaka. Kerajaan ini sering dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri yaitu Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengedarkan mata uang emas yang disebut dirham sebagai alat transaksi yang resmi bagi para pedagang.Â
Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam. Para Wali Songo yang disebutkan sebagai penyebar Islam di Pulau Jawa sebelumnya pernah berada di Samudera Pasai.Â
Menurut Ibnu Batutah, seorang penjelajah dari Afrika Utara, Sultan Samudera Pasai disebut sebagai sosok yang menjunjung tinggi agama dan berhasil mengislamkan penduduk di daerah-daerah sekitarnya.
Kemunduran Kerajaan Samudera Pasai disebabkan oleh serangan Kerajaan Majapahit yang berambisi menyatukan nusantara, munculnya pusat perdagangan baru yang lebih strategis di Selat Malaka yaitu Kerajaan Malaka dan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang kemudian mengambil alih penyebaran Islam. Kemunduran kerajaan ini diiringi pula berpindahnya para pedagang Pasai ke Malaka.
Di Negeri Sembilan, terdapat tempat yang bernama Batuhampar. Nama Batuhampar sebagai nama tempat tidak satu di Negeri Sembilan namun empat kawasan. Yang dikenal umum ada dua yaitu Rembau dan Seri Menanti. Di kawasan tersebut tak hanya terdapat suku Batuhampar tetapi juga terdapat suku lain seperti Tanah Datar, Biduanda, Tiga Nenek, Seri Melanggang dan sebagainya. Setiap suku memiliki sejarahnya masing-masing tak terkecuali Suku Batuhampar.
Peneliti Inggeris menyebutkan asal usul Suku Batuhampar. It  is related that the founder of this group came from Pasai in Acheh but had entered the Batu Hampar Tribe in Menangkabau before coming in Sungei Ujong. In his travels he seems first to have gone to Johore after leaving Menangkabau. He became Khatib and Mudim to the Sultan who bade him forth and convert the heathern in Negeri Sembilan.Â
Ada informasi lain menyebutkan bahwa suku Batuhampar berasal dari keturunan Tok Mudim dari Pasai yang bernama Gemenyah. Kehadirannya atas undangan Sultan Johor untuk mengkhitankan puteranya setelah 24 orang yang berprofesi sebagai tukang sunat tidak berani melakukannya karena takut akan mengorbankan anak sultan yang berdarah putih (menurut firasat ahli nujum diraja).Â
Gemenyah berhasil menyunat putera maka sultan mengurniakan gelaran Khatib Raja sebagai tanda terima kasih serta menawarkan agar Gemenyah menetap di Johor dan mengajarkan agama Islam.Â
Gemenyah berlayar menuju Kuala Pahang melalui Tanjom hingga sampai ke Jelebu untuk menetap disana. Beliau menikah dengan perempuan bernama Dato' Temu. Kemudian mereka berpindah ke Sungai Ujong. Pasangan ini mendapat izin Datok Alun Tujuh dan Nenek Jenang selaku pemimpin Tok Batin Maabut untuk membuka pemukiman baru. Diyakini keturunan anak-anak perempuan mereka menjadi dasar dari terbentuknya Suku Batuhampar.
Berdasarkan pernyataan peneliti Inggeris yang disebutkan sebelumnya dapat diuraikan bahwa pendiri kelompok Suku Batuhampar berasal dari Pasai yang terletak di Aceh tetapi telah masuk ke dalam Suku Batuhampar di Minangkabau sebelum datang di Sungai Ujong.Â
Dalam perjalanannya suku tersebut tampaknya pertama kali pergi ke Johor setelah meninggalkan Minangkabau. Orang yang bersuku Batuhampar tersebut bekerja sebagai Khatib (Mubaligh Islam) dan Mudim (Tukang Sunat) bagi anak Sultan Johor.Â
Mereka juga diminta berdakwah kepada orang-orang kafir di Negeri Sembilan. Pernyataan atas terjemahan ini menjadi kontroversial pada kalimat yang menyebutkan bahwa orang Pasai itu masuk kedalam Suku Batuhampar yang berada di Minangkabau barulah kemudian mereka berhijrah ke Semenanjung Tanah Melayu.Â
Apakah memang ada Suku Batuhampar di Minangkabau (baca : Sumatera Barat) hari ini? Dari penelusuran penulis Suku Batuhampar di Minangkabau tidak ada. Batuhampar hanyalah nama tempat dalam Luak 50 Kota. Dimana persisnya Suku Batuhampar yang dimaksud?
Berdasarkan penelusuran penulis bahwa Suku Batuhampar yang dimaksud oleh peneliti Inggeris ini adalah Batuhampar yang berada di Tanah Putih, Rokan Hilir. Ini dikuatkan dengan penjelasan Wilaela (2016) dalam Het Rijk Van Siak. Dijelaskan bahwa penduduk Tanah Putih dibagi dalam empat suku yaitu Melayu Besar, Melayu Tengah, Mesah dan Batuhampar.Â
Setiap suku memiliki seorang datuk sebagai pimpinannya, dan kembali dibedakan sebagai induk, yang memimpin sebuah tungkat. Tiga suku pertama disebut memiliki utan tanah; Batuhampar tidak memilikinya. Mungkin suku ini pada mulanya terdiri atas kaum pendatang. Sebagai akibatnya mereka tidak memiliki pancong alas maupun hasil tanah. Sebaliknya mereka harus membayarnya kepada sukusuku lain, apabila mereka mengumpulkan hasil hutan atau membuka ladang. Informasi lan yang berbeda penulis dapatkan berasal dari Tengku Muhammad.Â
Kepada penulis melalui Whatsapp dijelaskan bahwa di Bangko, Rokan Hilir terdapat makam Datuk Batuhampar. Datuk Batuhampar tersebut bernama Syarif Ali yang diduga berasal dari Pasai dan juga keturunan Arab Hadramaut.Â
Beliau juga dianggap pendiri Kerajaan Batuhampar. Kerajaan Batuhampar didirikan sekitar abad ke 16. Syarif Ali diyakini keturunan dari Sultan Pasai Malikus Saleh. Beliau menikah dengan Putri Rantau Binuang dan memiliki anak tujuh orang yang kemudian membentuk Suku Tujuh Hinduk. Makam Syarif Ali sering diziarahi oleh kaum Habaib yang berasal dari Pulau Jawa.
Berdasarkan informasi dari Buku Het Rijk Van Siak, penulis menyimpulkan bahwa Suku Batuhampar ini sebenarnya keturunan pendatang Pasai yang telah lama berada diwilayah Tanah Putih. Boleh jadi juga penduduk Bangko walaupun mereka tak menyebut diri Suku Batuhampar namun tempat mereka tinggal dinamakan Batuhampar.Â
Klaim yang terjadi di media sosial selama ini menyebutkan bahwa Suku Batuhampar berasal dari nagari Batuhampar, Kabupaten Lima Puluh kota jelas tertolak karena tidak sesuai dengan faktanya. Memang Suku Batuhampar yang di Tanah Putih ini mengamalkan sistem patrilineal namun pada perjalanannya di Negeri Sembilan terjadi perubahan sehingga mereka memakai Adat Perpatih yang berteraskan suku sakat.Â
Hal ini disebabkan karena Suku Batuhampar hidup didalam lingkungan mayoritas Adat Matrilineal yang bersuku sakat. Boleh jadi juga mereka awalnya patrilineal atau juga hanya disebut orang Adat Perpatih yang pengamal Adat Matrilineal  yang tidak bersuku sakat namun disukukan sebagai Suku Batuhampar dalam Sistem Adat Perpatih yang mengadopsi sistem suku sakat paska kedatangan Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan yang berasal dari Minangkabau. Suku sakat adalah sebuah istilah yang merujuk kepada golongan orang (keluarga) yang masih memiliki garis keturunan yang sama dan tidak boleh nikah kawin sesuku.
Jejak waris Pasai hanya terdapat pada awal pembentukan Suku Batuhampar. Kemudian jejak waris Pasai ini perlahan-lahan meredup seiring tingginya intensitas pernikahan antar etnis. Di Negeri Sembilan, tepatnya kawasan Rembau, Suku Batuhampar terbagi menjadi suku Batuhampar Darat, Suku Batuhampar Minangkabau Baruh dan Batuhampar Petani.Â
Suku Batuhampar Darat kemungkinan sisa-sisa waris Pasai. Suku Batuhampar Minangkabau Baruh berasal dari pendatang Minangkabau yang kemungkinan datang dari Nagari Batuhampar sekitar abad ke 17 sampai 18 dan masuk kedalam Adat Perpatih. Suku Batuhampar Petani atau Patani merupakan Suku Batuhampar yang datang ke Rembau pada abad ke 16 di masa pemerintahan Ratu Ungu yang menguasai wilayah Patani. Kedatangan kaum tersebut karena adanya konflik di wilayah Patani.Â
Namun demikian, pendatang Kerinci yang hijrah ke Rembau karena adanya konflik di wilayahnya masa pendudukan Belanda juga masuk kedalam Suku Batuhampar. Tidak dijelaskan secara detail ke Suku Batuhampar mana pendatang Kerinci ini masuk suku.
Di dalam Adat Perpatih ada proses untuk  masuk menjadi anggota suku. Berkedim atau dalam loghat Negeri Sembilan disebut bokodim adalah satu apacara di mana seseorang diterima masuk menjadi ahli sesuatu suku dalam masyarakat Adat Perpatih. Seseorang itu boleh menjadi ahli sesuatu suku atas dua sebab :
Pertama, Orang luar yang bukan masyarakat Adat Perpatih tetapi ingin menjadi anggota suku atas sebab perkawinan.
Kedua, individu dalam masyarakat Adat Perpatih yang ingin menukar sukunya kepada suku lain atas sebab ingin menikahi seseorang yang sama sukunya dengan individu tersebut.
Eksistensi Pasai tidak hanya sekedar meninggalkan tamadun yang gemilang di bidang penyebaran Islam dan perdagangan antara bangsa tetapi juga jejak waris yang mengisi peradaban Adat Perpatih Negeri Sembilan Darul Khusus. Sebenarnya sejarah bukan milik kita; tapi kita adalah milik sejarah, demikian quote Hans-Georg Gadamer, Filsuf Jerman Abad 20.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H