Mohon tunggu...
Iswadi Suhari
Iswadi Suhari Mohon Tunggu... Passion catcher

Penulis opini, buku, dan novel "Cintaku Setengah Agama"

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadhan di Kampung Tahun 80an

2 April 2023   23:58 Diperbarui: 3 April 2023   00:29 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kamu anak milenial atau generasi Z pasti tidak bakal bisa ngebayangin bagaimana suasana bulan Ramadhan di sebuah desa di kaki gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Trijaya begitulah nama desa tersebut. Dan di sanalah kenangan masa kecilku saat bulan Ramadhan tiba menyeruak kembali dalam ingatanku. Begini ceritanya.

Mungkin paling enak kalau settingnya aku aku ceritakan di tahun 1981. Saat itu aku masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Saat itu, listrik belum masuk ke desa yang senantiasa sejuk dan damai. Jadi saat malam tiba, jalanan akan terlihat gelap dan jarang ada kegiatan di luar rumah kecuali saat terang bulan. Saat terang bulan anak-anak seusiaku pasti akan bersenang-senang bermain di halaman rumah.

Permainannya sangat sederhana, petak umpet, sodor, tokle, atau sekedar main seret-seretan pakai pelepah daun kelapa. Kamu pasti gak bisa ngebayangin karena mungkin saat ini tidak akan terlihat lagi pemandangan seperti itu. Tapi kalau bukan saat terang bulan desa akan terlihat mati di malam hari, gelap, dan sedikit menyeramkan bagi anak kecil karena sering ditakuti dengan cerita seram dari orang dewasa seperti genderewo, kuntilanak, wewegombel, tuyul, dan babi ngepet.

Namun, suasana akan tetap ramai saat sejenak setelah maghrib tiba. Tapi ramainya bukan di halaman rumah melainkan di masjid atau mushola-mushola tempat kami mengaji. Kebayang dong tidak ada listrik, jalanan tetap tampak gelap. Jadi untuk penerangan kami membawa obor dari bambu yang diisi minyak tanah dan disumpel dengan kain. Kalau kalian melihat film-film horor, yah seperti itulah kira-kira. 

Saya ingat setiap pulang dari mengaji akan keluar bersama-sama teman-teman dari mushola lalu kemudian berpisah satu per satu dan akhirnya aku akan menjadi sendirian di malam gelap berjalan menuju rumahku. Walaupun masih jauh aku akan berteriak memanggil ibuku untuk segera dibukakan pintu. Yah walaupun tiap hari terbiasa seperti itu tetap saja saat sendirian di gelap malam membawa obor ada aja perasaan horor yang menjalar di sanubari.

Tapi kalau bulan puasa berbeda. Tidak hanya anak-anak yang berangkat ke surau, mushola, atau masjid. Tetapi termasuk orang-tua juga berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat tarawih. Jadi jalanan desa akan terasa lebih ramai di malam hari. Banyak orang lalu lalang membawa obor. Kalau aku ingat-ingat berbeda sekali rasanya malam ramadhan saat aku kecil dengan sekarang setelah dewasa. 

Saat kecil di desa jam 8 atau jam 9 malam itu terasa sudah dangat larut dan mata terasa sangat mengantuk. Sering tiba-tiba tersadar dan bangun dari tidur saat sholat Tarawih sudah selesai. Terbangun karena setelah sholat Tarawih selesai akan ada jamuan makan kue-kue yang tidak selalu bisa dinikmati setiap hari. 

Maklum sebagian besar warga desa adalah petani dengan pendapatan minim sehingga tidak bisa membuat kue-kue lezat setiap hari. Dan itu salah satu daya tarik anak-anak untuk sholat Tarawih di masjid.

Panganan-panganan tersebut disediakan oleh warga secara bergiliran. Berbeda dengan zaman sekarang dimana informasi bisa dengan mudah disebarluaskan melalui medsos. Zaman tahun 80an di desa terpencil pengumuman disampaikan secara langsung face to face oleh pengurus masjid atau perangkat desa. Dan saat malam tiba petugas akan berkeliling untuk mengambil makanan dari rumah warga yang terkena giliran.

Sayangnya, kue-kue lezat itu diprioritaskan untuk orang dewasa, sementara anak-anak hanya menanti kebesaran hati orang tua untuk sedikit-sedikit membagi makanan tersebut dengan anak mereka. Sedih juga sih kalau ingat masa-masa itu, padahal saat itu rasanya biasa-biasa saja memang orang tua harus diprioritaskan.

Nah setelah tarawih, sebagian anak-anak pengajian menginap di mushola atau di masjid untuk bertugas berkeliling membangunkan warga untuk sahur jika saatnya sudah tiba. Zaman itu weker masih merupakan barang langka. Saya sendiri ikut membangunkan sahur dengan menarik kaleng-kaleng yang dirangkai hingga bunyi nyaring jika diseret. 

Ada juga yang memukul kaleng bekas atau alat-alat masak. Nah kalau kalian pernah mendengar orang bernyanyi "Sahur... Sahur" itulah asal muasalnya lagu atau teriakan itu. Saat sampai rumahku, akku biasanya langsung pulang untuk sahur di rumah. Saat lebaran tiba team sahur akan berkeliling ke rumah warga untuk menerima upah berupa beras seikhlasnya. Sedih gak sih ngebayanginnya.

Saat lebaran tiba, saat yang dinanti-nanti karena itu saatnya orang yang bekerja dari kota pulang mudik. Mereka akan pulang membawa kue kering dalam kaleng dan sirup yang mungkin hanya setahun sekali kami nikmati. 

Saat maghrib terakhir di bulan ramadhan tiba, anak-anak menyalakan api kecil dari serpihan-serpihan batang pinus yang kami ambil dari sisa sadapan pinus di hutan pinus sekitar desa. Api-api seperti lilin akan menyala di setiap sudut rumah. Dan kembali malam pun menjadi lebih terang dan kami anak-anak kembali bermain di halaman rumah dengan riang gembira di temani sayup-sayup gema takbir dari surau dan masjid desa.

Keesokan harinya kami akan sholat Ied di masjid. Selesai itu kami bersalam-salaman saling memaafkan dengan keluarga lalu bersiap menuju kuburan untuk ziarah. Perjalanan ke kuburan dilakukan dengan berjalan kaki dan akan berlangsung lama walaupun jaraknya tidak jauh. Karena sepanjang perjalanan kami berjabatan tangan dengan semua orang yang kami temui. Hmmm... rasanya bahagia sekali saat itu, berlebaran di kampung dalam kesederhanaan.

  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun