Nah setelah tarawih, sebagian anak-anak pengajian menginap di mushola atau di masjid untuk bertugas berkeliling membangunkan warga untuk sahur jika saatnya sudah tiba. Zaman itu weker masih merupakan barang langka. Saya sendiri ikut membangunkan sahur dengan menarik kaleng-kaleng yang dirangkai hingga bunyi nyaring jika diseret.Â
Ada juga yang memukul kaleng bekas atau alat-alat masak. Nah kalau kalian pernah mendengar orang bernyanyi "Sahur... Sahur" itulah asal muasalnya lagu atau teriakan itu. Saat sampai rumahku, akku biasanya langsung pulang untuk sahur di rumah. Saat lebaran tiba team sahur akan berkeliling ke rumah warga untuk menerima upah berupa beras seikhlasnya. Sedih gak sih ngebayanginnya.
Saat lebaran tiba, saat yang dinanti-nanti karena itu saatnya orang yang bekerja dari kota pulang mudik. Mereka akan pulang membawa kue kering dalam kaleng dan sirup yang mungkin hanya setahun sekali kami nikmati.Â
Saat maghrib terakhir di bulan ramadhan tiba, anak-anak menyalakan api kecil dari serpihan-serpihan batang pinus yang kami ambil dari sisa sadapan pinus di hutan pinus sekitar desa. Api-api seperti lilin akan menyala di setiap sudut rumah. Dan kembali malam pun menjadi lebih terang dan kami anak-anak kembali bermain di halaman rumah dengan riang gembira di temani sayup-sayup gema takbir dari surau dan masjid desa.
Keesokan harinya kami akan sholat Ied di masjid. Selesai itu kami bersalam-salaman saling memaafkan dengan keluarga lalu bersiap menuju kuburan untuk ziarah. Perjalanan ke kuburan dilakukan dengan berjalan kaki dan akan berlangsung lama walaupun jaraknya tidak jauh. Karena sepanjang perjalanan kami berjabatan tangan dengan semua orang yang kami temui. Hmmm... rasanya bahagia sekali saat itu, berlebaran di kampung dalam kesederhanaan.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H