Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu mungkin cocok juga jika dikaitkan dengan angka ramalan produksi tanaman pangan khususnya padi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tiga kali dalam setahun. Banyak pengguna data yang kurang bijak menyikapi angka yang dirilis oleh lembaga pemerintah non departemen yang menurut undang-undang no 16 tahun 1997 tentang statistik bertugas dan bertanggungjawab dalam penyediaan data statistik dasar tersebut. Angka produksi tanaman pangan yang dikeluarkan BPS sebenarnya dihasilkan dari dua data utama yaitu data luas panen dan produktivitas (hasil per hektar). Kedua data tersebut kemudian dikalikan dan menghasilkan angka produksi.
Luas Panen
Data luas termasuk didalamnya luas tanam, luas tanaman, luas rusak/puso, dan luas panen merupakan data yang sangat sulit dikumpulkan. Sulit dalam artian sulit mendapatkan data yang memenuhi metodologi statistik dengan keakuratan yang dapat diukur dengan mudah. Tidak banyak yang tahu bahwa data luas termasuk data luas panen yang digunakan dalam menghitung angka produksi tanaman pangan BPS merupakan data yang dikumpulkan oleh Dinas Pertanian atau Dinas serupa yang bertanggung jawab akan data pertanian di tingkat kabupaten/kota di bawah koordinasi Kementerian Pertanian . Dalam hal ini BPS hanya sebagai pengolah dan pengguna data.
Dari sisi metodologi pengumpulan data, mungkin banyak metode pengumpulan data luas yang lebih mutakhir dan akurat. Dari mulai penggunaan GPS hingga penggunaan teknologi pengindraan jarak jauh. Akan tetapi, ketika teknologi tersebut diaplikasikan dalam pengumpulan data yang sebenarnya, belum ada satupun yang bisa diadopsi dengan baik dan berkesinambungan. Satu metode lebih baik dari sisi akurasi tapi terbentur waktu pengumpulan data yang dibutuhkan cukup lama. Padahal perlu diketahui data luas seperti luas panen dan luas tanam harus dikumpulkan setiap bulan. Kendala lain adalah dari sisi biaya, bayangkan jika setiap bulan kita harus menggunakan jasa satelit dalam memantau luas panen, luas tanam, dan luas lainnya untuk seluruh wilayah Indonesia. Dana yang dibutuhkan akan sangat besar, padahal dana kita harus dibagi untuk pemenuhan kebutuhan lain yang mungkin lebih mendesak seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan lainnya.
Kembali pada ungkapan tak kenal maka tak sayang, selama ini Dinas Pertanian Kabupaten/Kota mengumpulkan data luas dengan beberapa metode konvensional sebagai berikut:
1. Perkiraan luas dengan menggunakan informasi penggunaan air
Pengumpulan data luas dengan menggunakan informasi penggunaan air dilakukan pada sawah dengan sistem pengairan irigasi yang baik. Sistem irigasi yang baik memungkinkan pengaturan debit air yang dibutuhkan untuk pengairan sawah. Lamanya pengairan dan volume air yang dikeluarkan dari saluran irigasi inilah yang kemudian dijadikan patokan untuk mengukur luas terutama luas tanam. Informasi penggunaan air diperoleh dari petani dan juga sumber lain seperti pengelola irigasi.
2. Perkiraan luas dengan menggunakan informasi penggunaan pupuk.
Dengan metode ini, petugas memperkirakan luas dengan mengkaitkan kebiasaan petani setempat dalam penggunaan pupuk. Jika kebiasaan petani setempat menggunakan pupuk sebanyak 200 kg per hektar maka jika seorang petani menggunakan pupuk sebanyak 400 kg dapat diperkirakan luasnya 2 (dua) hektar.
3. Laporan petani pada pengurus desa
Di beberapa wilayah, pengurus desa mewajibkan warganya untuk melaporkan informasi kegiatan usaha tani yang dilakukannya. Administrasi pedesaan seperti ini telah mencakup juga data pertanian yang mencakup juga data luas. Pada desa seperti ini petugas tinggal menyalin data luas dari rekap yang telah tersedia di kantor desa setempat.
4. Metode eye estimate berdasarkan data luas baku lahan
Metode eye estimate merupakan metode yang paling dinilai kurang akurat. Metode ini dilakukan dengan menggunakan informasi luas baku lahan yang ada, kemudian dengan memandang hamparan fisik lahan diperkirakan luas tanam, luas panen, atau luas lainnya. Metode ini seharusnya memang dilakukan oleh petugas yang benar –benar ahli dan sangat mengenal wilayah tugasnya secara fisik. Akan tetapi kenyataan yang ada, pergantian petugas di dinas setempat sangat sering dilakukan.
Setelah data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner tertentu, data tersebut kemudian dikirim ke BPS Kabupaten/Kota dan informasi yang sama juga dikirim kepada Dinas Pertanian setempat bahkan hingga ke Kementerian Pertanian untuk kebutuhan pemantauan program pembangunan pertanian.
Produktivitas (Hasil per Hektar)
Data produktivitas atau hasil per hektar dikumpulkan oleh BPS melalui Survei Ubinan yang dilakukan setiap subround (empat bulanan). Data produktivitas ini dikumpulkan dengan mengikuti kaidah pengambilan sampel pada ilmu statistik. Perlu diketahui hingga tahun 2010, BPS hanya melakukan survei dengan target estimasi hingga tingkat provinsi. Artinya hingga tahun 2010, BPS tidak menyediakan data produktivitas maupun produksi untuk estimasi tingkat kabupaten. Hal ini berkaitan dengan dana yang tersedia. Namun, Pemerintah Daerah di beberapa provinsi dan kabupaten seperti di DI Yogyakarta dan Lampung menyediakan dana untuk menambah sampel sehingga estimasi tingkat kabupaten untuk beberapa tahun terakhir dapat tersedia.
Data produktivitas dikumpulkan dengan pengukuran langsung pada petak sampel yang disebut plot ubinan dengan ukuran 2,5m x 2,5m. Tanaman pangan seperti padi pada area plot tersebut kemudian di panen sesuai kebiasaan petani untuk kemudian ditimbang. Data dari seluruh kabupaten dalam satu provinsi kemudian diolah dan dikonversikan pada satuan kuintal per hektar. Angka inilah yang kemudian dikalikan dengan data luas panen yang diperoleh dari Dinas Pertanian maka diperolehlah angka produksi untuk estimasi tingkat provinsi.
Untuk menambah informasi maka selain pengukuran langsung pada petak terpilih juga dilakukan wawancara pada petani penguasa petak terpilih tersebut. Informasi yang dikumpulkan mencakup cara penanaman, penggunaan pupuk, penggunaan benih, serangan hama dan lain-lain yang digunakan untuk mengevaluasi hasil pengukuran.