Di tengah kebanggaan akan predikat Guru Penggerak yang diraih, ada sebuah kisah tersembunyi yang jarang diceritakan: beban imajiner yang dipikul oleh para Guru Penggerak.Â
Di balik sorotan publik yang memuji pencapaian mereka, tersembunyi tekanan batin yang tak terlalu terlihat. Beban ini tidak terlihat, tapi terasa. Mereka adalah agen perubahan, diharapkan memimpin rekan-rekan guru lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
Ekspektasi itu berat, terutama ketika mengenal dunia pendidikan di Indonesia yang serba kompleks.Â
Pemerintah, masyarakat, bahkan diri sendiri, menaruh ekspektasi tinggi pada mereka. Mereka diharapkan menjadi pahlawan tanpa cela, yang mampu mengubah paradigma pendidikan di negara ini.
Namun, di balik senyum bahagia ketika menerima predikat, ada rasa cemas yang menghantui. Mereka harus tampil sempurna, tak boleh goyah sedikit pun.Â
Tak heran jika tekanan ini memicu stres dan kecemasan yang mengganggu kesehatan mental mereka. Mereka merasa terbebani, takut gagal, takut kecewa.
Beban imajiner ini pun memengaruhi kinerja mereka di sekolah. Harapan untuk terus memberikan inovasi dan terobosan baru dalam pembelajaran membuat mereka terombang-ambing antara tugas rutin dan ambisi besar.Â
Mereka ingin memberikan yang terbaik, tapi kadang lupa bahwa mereka juga manusia dengan keterbatasan.
Penting bagi para Guru Penggerak untuk menyadari bahwa mereka tak boleh terjebak dalam belenggu ekspektasi yang tak realistis.Â
Mereka perlu belajar untuk mengelola harapan, tidak hanya dari luar, tapi juga dari diri mereka sendiri. Mereka harus belajar untuk mengakui bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tapi bagian dari proses pembelajaran.