Dalam keheningan ruang guru, seorang guru yang penuh dedikasi duduk di depan layar, memandangi hasil refleksi kompetensi yang baru saja diisi di platform Merdeka Mengajar.Â
Ekspresi wajahnya mencerminkan kombinasi antara kekecewaan dan kegalauan. Detik-detik tersebut menjadi momen yang menghantui, karena nilai yang tertulis tidak sesuai dengan jenjang jabatannya.
Matanya melayang, merenungi setiap pertanyaan yang dipilihnya dengan hati-hati. Kepahitan menyelinap di benaknya, menciptakan tembok antara pencapaian dan ekspektasi diri.Â
Guru tersebut, yang selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya, kini dihadapkan pada hasil refleksi yang tidak sesuai harapannya.
Dalam keheningan yang dipenuhi galau, guru itu merenung, menelaah setiap pilihan jawaban dan refleksi yang telah diungkapkannya.Â
Di hatinya, pertanyaan-pertanyaan muncul seperti arus deras. "Apakah saya sudah memberikan yang terbaik? Apakah peserta didik saya merasakan dampak positif dari pengajaran saya? Apa yang kurang dari pendekatan pembelajaran saya?"
Namun, di tengah kepahitan itu, tumbuh keinginan untuk memahami dan berkembang. Guru tersebut menyadari bahwa refleksi kompetensi bukan sekadar penilaian, melainkan pandangan jujur dan transparan tentang dirinya sendiri.Â
Langkah-langkah yang diambil saat itu menjadi batu loncatan menuju perbaikan dan pengembangan lebih lanjut.
Sejenak, guru itu meresapi galau tersebut, namun tak lama kemudian, ia mengambil nafas dalam-dalam. Mata yang sempat berkaca-kaca kini bersinar dengan tekad baru.Â
Keputusan untuk menghadapi tantangan dan melihatnya sebagai peluang menjadi semakin nyata. Guru itu menyadari bahwa refleksi kompetensi, bagaimanapun hasilnya, adalah langkah awal menuju pertumbuhan dan peningkatan yang lebih besar.
Oleh karena itu, dalam langkah-langkah berikutnya, guru tersebut tidak hanya mencoba memahami setiap nilai dan umpan balik, tetapi juga merancang strategi perbaikan.Â