Keluarga yang harmonis akan meminimalisir risiko anak melakukan tindak pidana. Pernyataan tersebut, menurut saya sangat masuk akal, dan siapapun pasti setuju, ya kan. Karena sudah menjadi hukum alam, anak yang bermasalah itu pada umumnya datang dan muncul dari keluarga yang 'ada' masalah.
Entah itu masalah yang berhubungan dengan pengelolaan emosi, hubungan antar keluarga, bahkan masalah ekonomi bisa saja menjadi sumber pemicunya. Hal ini, lambat tapi pasti akan membentuk sebuah fenomena gunung es, di mana yang terlihat di permukaan itu hanyalah puncak gunungnya saja, berbentuk kerucut dan runcing, kecil saja tampaknya.
Padahal, jauh di dalam sana ada gunung yang sangat besar, menyimpan jutaan kubik lava yang sedia akan menggelegar. Saat ada sedikit saja pencetus, maka blaaar! semua ekosistem yang ada di laut hancur terkena imbas dari ledakan lava tersebut. Begitu juga halnya dengan masalah tindakan pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
Kisah tentang Mick
Mick, adalah seorang anak laki-laki berusia 14 tahun. Mick memiliki masalah yang cukup pelik, baik di sekolah maupun di rumah.Â
Dia memiliki kendala dalam mengendalikan emosinya dan seringkali bertindak impulsif, alias bertindak tanpa berfikir terlebih dahulu. Selain merasa tidak diakui oleh orang tuanya, Mick juga merasa tidak dihargai di sekolah.
Pada suatu hari, Mick dan temannya sedang berkeliling di toko-toko di kawasan dekat tempat tinggalnya. Saat melihat barang yang ia inginkan, tiba-tiba saja, reflek impulsifnya muncul. Mick mencuri barang tersebut dan ketika dikonfrontasi oleh temannya, ia menjadi marah dan menyebabkan temannya terluka.
Setelah kejadian tersebut, Mick pun diadili di pengadilan anak dan dihukum penjara. Namun, karena Mick masih kanak-kanak, di penjara tersebut ia juga diberikan terapi dan pendampingan untuk membantunya mengatasi masalah yang ia hadapi dan belajar mengendalikan emosinya. Agar Mick belajar untuk bertanggungjawab, oleh pengadilan dia juga diharuskan untuk membayar ganti rugi kepada temannya yang ia sakiti.
Dengan hukuman tersebut, Mick belajar dari kesalahannya dan mengerti bahwa tindakan yang ia lakukan itu salah. Ia juga belajar untuk mengatasi masalah yang ia hadapi dan menjadi lebih baik dalam mengendalikan emosinya. Namun, ia harus menanggung konsekuensi dari tindakannya dan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana di Usia Dini
Ketika anak seperti Mick melakukan tindak pidana, seperti mencuri, menyakiti orang lain, bahkan hal merugikan lainnya yang bersifat pidana berat seperti membunuh.
Anak tersebut mungkin mengalami masalah yang mendasar dalam hidupnya, seperti masalah keluarga, masalah sosial, atau masalah mental. Oleh karena itu, hal ini harus ditangani dengan cara yang tepat dan hati-hati, untuk membantu anak tersebut dan mencegah tindak pidana di masa depan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan anak melakukan tindak pidana pada usia dini, berikut saya rangkum dari berbagai sumber:
Masalah keluarga
Kita semua tentu sepakat jika keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar 'hidup'. Oleh karena itu, keluarga bisa menjadi sekolah awal dalam pendidikan karakter anak. Mau tidak mau, orang tua menjadi guru yang mengajarkan anak bagaimana mereka cara berperilaku.Â
Pada awal kehidupannya, anak banyak melakukan imitation atau peniruan pada hampir semua pola dan gaya hidup orang dewasa yang ada di rumahnya.
Dengan demikian, anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak stabil, konflik berkepanjangan, atau kekerasan dalam rumah tangga dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan perilaku anak. Sehingga anak menjadi tidak terkendali dan berani melakukan tindakan yang mengarah pada kriminal.
Masalah sosial
Bapak dan ibu, membeli rumah adalah membeli lingkungan. Saat anda memutuskan untuk tinggal di suatu tempat. Maka, melihat lingkungan itu baik atau tidak untuk perkembangan karakter anak adalah prioritas utama. Karena, anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, kurang akses terhadap pendidikan dan layanan sosial, atau kurang dukungan dari lingkungan sekitarnya dapat lebih mungkin terlibat dalam tindak pidana.
Jadi, hal ini harus menjadi perhatian utama kita, ya. Jangan sampai kita mengorbankan masa depan anak, hanya demi harga rumah yang terjangkau atau bahkan murah. Kita seakan tutup mata, jika banyak sekali masalah sosial yang ada di sekitar lingkungan itu.
Masalah mental dan pendidikan
Tatkala anak kita menunjukkan ada gangguan emosi atau mental, seperti tantrum berlebihan pada usia pra remaja. Maka, sudah sepantasnya sebagai orang tua kita menunjukkan perhatian lebih.Â
Jangan-jangan anak kita mengalami masalah mental seperti ADHD, gangguan kecemasan, atau gangguan perilaku. Mengapa harus waspada dan hati-hati? Karena, semua gangguan tersebut dapat menyebabkan anak melakukan tindak pidana.
Selain itu,anak yang mengalami kesulitan dalam belajar, kurang minat, atau tidak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan juga disinyalir dapat meningkatkan risiko melakukan tindak pidana.
Perilaku teman sebaya dan pengaruh media
Jaman sekarang mau tidak mau kita harus mengajarkan anak kita untuk pilih-pilih teman. Karena, anak yang berinteraksi dengan teman yang melakukan tindak pidana cenderung untuk mengikuti tindakan yang sama.Â
Selain itu, anak yang terpapar dengan media yang menyajikan tindak pidana sebagai sesuatu yang normal atau dihormati dapat mempengaruhi persepsi anak tentang tindak pidana. So, hati-hati juga ya memperkenalkan tontonan pada anak.
Lingkungan keluarga yang harmonis
Menurut pendapat dari beberapa ahli dan psikolog, diperoleh definisi bahwa lingkungan keluarga yang aman dan harmonis adalah suasana yang diciptakan oleh orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga, di mana anggota keluarga merasa aman, nyaman, dan merasa dihargai.Â
Dalam lingkungan ini, orang tua memberikan dukungan, kasih sayang, perhatian, dan pengertian kepada anak-anaknya, serta memberikan peraturan yang jelas dan tegas dengan cara yang positif.
Sehingga, outputnya adalah anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini akan merasa diterima, diakui, dan dihormati oleh orang tua dan keluarga. Mereka pun merasa memiliki tempat yang aman untuk berbagi perasaan dan pikiran mereka, serta merasa diakui sebagai individu yang unik dengan kebutuhan dan harapan sendiri.
Komunikasi yang terbuka dan jujur di dalam keluarga juga menjadi hal yang tidak kalah penting dalam membuat lingkungan yang aman dan harmonis. Orang tua jangan lelah untuk terus memberikan pendidikan tentang norma dan nilai-nilai yang positif dan menyediakan contoh yang baik dalam perilaku dan interaksi sosial.
Karena, secara umum, lingkungan keluarga yang aman dan harmonis merupakan fondasi yang kuat bagi perkembangan anak, kesejahteraan, dan kesehatan mental anggota keluarga.
Bagaimana Cara Orang Tua dalam Menciptakan Lingkungan Keluarga yang Aman dan Harmonis?
Ada beberapa tips yang bisa kita terapkan dalam menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis bagi anak-anak. Berikut sudah saya rangkumkan dari berbagai sumber.
Membuat komunikasi yang baik
Kemampuan mendengar kadang terlihat sepele, ya. Namun, ternyata saat dipraktekkan itu susah sekali, lho. Karena, sebagai orang tua kita harus membuat lingkungan yang memungkinkan anak-anak untuk berbicara dengan bebas dan mengekspresikan perasaan mereka.Â
Orang tua juga harus mendengarkan dengan seksama dan memahami perasaan anak-anak. Biarkan mereka mengeluarkan unek-unek dan perasaan hatinya, walau mungkin dengan cara yang menurut kita sangat menjengkelkan umpama, dengan cara merungut, ngomel, dan mengeluh.
Menciptakan lingkungan yang stabil
Terkadang sebagai pasangan, ada saja masalah yang dapat memantik pertengkaran. Ternyata, ini harus diminimalisir, ya. Karena, anak-anak pada umumnya sangat sensitif dan peka, mereka akan stres bila menyaksikan dan mendengar orang tuanya selalu bertengkar.Â
Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk menciptakan lingkungan yang stabil dan damai di rumah, dengan menghindari pertengkaran atau konflik yang berkepanjangan. So, kalau mau bertengkar pilih-pilih tempat dulu, ya.
Memberikan dukungan emosional
Setiap anak berhak untuk mengekspresikan perasaan mereka, dan berhak untuk merasa diterima perasaannya tersebut. Entah itu, perasaan positif atau negatif sekali pun. Tugas kita sebagai orang tua adalah memberikan dukungan emosional yang cukup kepada anak-anak, dengan menunjukkan kasih sayang dan memahami perasaan mereka.
Menciptakan lingkungan yang aman dan membuat anak merasa dihargai
Aman memiliki arti, kita merasa terlindungi dan ada aturan yang jelas. Orang tua harus menciptakan lingkungan yang aman di rumah, dengan memberikan batasan yang jelas dan membuat anak-anak merasa nyaman dan aman.
Selain itu, orang tua harus menghargai dan menghormati anak-anak, dengan memberikan mereka kesempatan untuk mengekspresikan pendapat mereka apapun itu. Orang tua harus kooperatif dalam memberikan mereka pengakuan atas kontribusi mereka di dalam keluarga.
Masalah tindak pidana yang dilakukan anak harus diselesaikan secara mendasar dan menyeluruh
Banyak kasus anak-anak yang melakukan tindak pidana menunjukkan bahwa ada masalah yang mendasar dalam lingkungan sosial dan keluarga mereka. Dari situ, kita dapat mengambil beberapa pelajaran diantaranya, perlunya pendekatan rehabilitatif bahwa kasus anak-anak yang melakukan tindak pidana menunjukkan bahwa pendekatan hukuman saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini. Pendekatan rehabilitatif yang memperhatikan perkembangan anak-anak dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sangat penting. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H