Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ibu adalah Kunci Kesuksesan Seorang Anak

22 Desember 2022   19:12 Diperbarui: 22 Desember 2022   19:35 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu adalah kunci kesuksesan seorang anak (Pexels.com/Tatiana Syrikova)

Sepuluh orang anak bermain tiktok bersama gurunya, mereka melakukan aktivitas game berupa kuis. Pertanyaannya sederhana saja, "Bagaimana sosok ibu menurut pendapat kamu?" Anak pada urutan pertama menjawab, "Ibu suka marah." Begitu juga anak dengan urutan kedua mengatakan bahwa, "Ibuku tukang ngomel-ngomel setiap hari." 

Baru pada urutan ketiga, kita akan mendapati jawaban yang cukup melegakan. Ibuku adalah perempuan paling baik, masakannya selalu enak, sosok yang penyabar, wanita yang tangguh, dan sebagainya. Pada akhir tayangan, pak Guru memberikan penguatan. Bahwa, "Meskipun suka marah dan ngomel-ngomel, sebenarnya ibu sangat sayang kepada anaknya. Marah dan ngomel adalah salahsatu bentuk cinta dan kasih sayang ibu kepada kita.

Ibu dan ingatan masa kecil

Video yang muncul di beranda tiktok itu membuat ingatan masa kecil saya kembali terbuka. Terbayang dengan jelas di pelupuk mata, bagaimana ibu waktu saya kecil dulu, sangat tegas dan protektif. Beliau tidak pernah memanjakan apalagi mengumbar ungkapan kasih sayang. Tapi, entah mengapa saya nyaman berada di dekatnya. 

Saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Perempuan sendiri di tengah, diapit oleh kakak laki-laki dan adik laki-laki. Biasanya, posisi tersebut akan menjadikan anak perempuan satu-satunya sebagai curahan kasih sayang dan perhatian, dimanja, dan diperlakukan dengan istimewa.

Tapi, tidak bagi ibu. Beliau memperlakukan kami dengan hak dan kewajiban yang sama. Ibu dan bapak adalah petani. Setiap hari, berangkat setelah subuh, bahkan sebelum fajar menyingsing menyusuri jalanan, padang rumput, dan menembus semak belukar menuju ke sawah dan ke kebun yang jaraknya lumayan jauh. 

Sekitar satu jam dengan berjalan kaki, karena tidak ada kendaraan yang bisa menuju ke sana. Kadang pulang ke rumah menjelang magrib. Bahkan, kalau lagi masa panen, suka menginap di sawah sambil menunggui padi yang sudah dituai.

Kerasnya perjuangan sebagai petani dalam mencari nafkah untuk keluarga. Telah menempa ibu menjadi sosok yang mandiri, tidak suka mengeluh, pantang menyerah, dan selalu memiliki solusi untuk setiap masalah yang datang. Kelembutan seorang perempuan, beliau tunjukkan dalam garangnya sinar mentari yang membakar kulit cantiknya hingga hitam legam. Bersama bapak ibu memastikan bahwa kehidupan saya, kakak, dan adik layak, tercukupi, dan baik-baik saja. 

Hal tersebut menjadikan beliau sebagai ibu dengan kepribadian tegas dan tidak suka menya-menye. Sikap tersebut ia tunjukkan juga kepada saya, sebagai anak perempuan satu-satunya. Setiap subuh saya harus berjalan sekitar setengah kilo dari rumah menuju bedengan air, yang tempatnya berada di bawah bukit untuk mandi dan mengambil air untuk menanak nasi. Tentu saja, hal itu kami lakukan bertiga, saya, kakak, dan adik.

Ibu memiliki sikap Anti-Mainstream atau out of the box

Sepulang sekolah, saya diberi tanggungjawab untuk menyabit rumput guna pakan ternak, sambil menggembala domba di lapang rumput. Ibu selalu berkata bahwa, "Semua nabi dan rasul itu masa kecilnya pasti pernah menjadi penggembala. Kenapa? Karena, mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin umat. Orang yang sudah terbiasa menggembala ternak sejak dini. Maka, bila ia dewasa pasti bisa memimpin." Begitu selalu kata ibu.

Waktu itu saya kurang tahu, apakah kata-kata beliau itu berasal dari buku, hadits, atau sumber ilmiah lain. Ataukah hanya kata-kata hasil karangan dia, sebagai penyemangat saja agar anak-anaknya mau menggembalakan ternaknya. Karena, setahu saya ibu hampir tidak pernah terlihat membaca buku, koran, atau sejenisnya. Paling banter membaca komposisi pupuk atau membaca catatan penjualan padi. Bahkan, di rumah pun hampir tidak nampak ada buku. Ya, meski sebenarnya saya suka membaca, walau dari sobekan koran bekas bungkus pindang atau bungkus bawang dari warung.

Ibu juga selalu berkata, saat beliau mengajari saya menjahit pakaian yang sobek. "Kita orang kecil, jangan manja atau hidup sok-sokan. Harus terbiasa untuk mandiri, bekerja menghasilkan uang meskipun kamu seorang perempuan. Agar nanti kalau punya suami, kita tidak bergantung pada suami." Menurut saya, beliau sudah anti-mainstream dari dulu dalam mendidik saya.

Padahal, saat itu tahun 1990-an semua ibu di kampung selalu berharap untuk cepat-cepat menikahkan anak perempuannya. Agar bisa cepat mendapatkan lelaki yang akan menafkahi putrinya, membelikan rumah, memberi uang. Lalu, orang tua dapat hidup dengan tenang. Karena, anak perempuannya sudah mendapatkan jodoh. Bagi anak perempuan saat itu, kerja dan menghasilkan uang bukanlah suatu keharusan. Karena, bagi perempuan akan dipinang oleh lelaki, dinikahi, dan kehidupannya berada di bawah tanggung jawab lelaki yang menjadi suaminya.

Tidak pernah memuji

Ibu saya berbeda dari ibu kebanyakan. Walau hanya perempuan dengan tamatan Sekolah Rakyat (SR), beliau sangat menekankan pentingnya pendidikan. Ibulah satu-satunya orang yang mendukung keinginan dan cita-cita saya melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Meski dukungan itu tidak pernah dia tampakkan secara gamblang. Dia selalu bersikap biasa saja, lurus, dan seakan tidak terjadi apa-apa. 

Termasuk saat saya dengan girang memamerkan raport dan hadiah juara umum saat SD. Dia biasa saja responnya, sama sekali datar dan tanpa ekspresi. Bahkan, saat dia diminta datang ke sekolah. Karena, anaknya mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke SMU yang ada di kota. Menurut saya, semua itu adalah pencapaian yang luar biasa. Karena, untuk mendapatkannya saya berjuang, bermandi peluh dan keringat, serta membagi waktu antara belajar, mengaji, menggembala domba, dan seabreg pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan.

Tidak ada sepatah kata pun pujian atau seulas senyum penuh kebanggaan yang tersungging dari bibirnya. Entahlah, sesaat saya pernah merasa kecewa. Tapi, akhirnya saya sadar, "Memang semua hasil ini sebenarnya biasa saja, tidaklah saya harus euforia untuk merayakannya. Justru keberhasilan adalah pintu gerbang yang menuntut perjuangan berikutnya yang lebih berat." Jadi, sikap ibu sudah benar. Saya jangan terlena dengan keberhasilan.

Saat saya lulus SMU dengan nilai lumayan memuaskan, ibu berkata "Kamu boleh kuliah, asal di negeri. Kalau tidak lolos UMPTN berarti tidak ada kuliah. Kamu harus rela hanya menjadi istri dari seorang lelaki desa yang bekerja sebagai petani." Kata-kata itu, alih-alih mematahkan semangat, justru menjadi ajimat yang sangat ampuh bagi saya.

Hingga akhirnya, saya bisa lolos UMPTN dan bisa kuliah di Universitas Padjadjaran mengambil jurusan Sastra Sunda. Qodarulloh, sekarang saya sudah diangkat menjadi PNS guru, dan mengajar mata pelajaran Bahasa Sunda.

Ibu adalah Kunci kesuksesan bagi anak-anaknya

Saya yakin dan sadar, dibalik semua keberhasilan yang saya dapatkan. Sebenarnya, daya upaya saya hanyalah 20 persen saja. Delapan puluh persennya adalah keberuntungan alias 'gede milik' dalam bahasa Sunda dan doa orang tua, dalam hal ini perjuangan ibu. Hal ini, berlaku untuk kakak dan adik saya juga.

Walaupun lahir dari ibu dan bapak seorang petani, alhamdulillah ketiga anak ibu sudah berhasil dalam kehidupannya. Baik diukur secara moril maupun materil. Itulah, mengapa saya berani menyebut bahwa 'Ibu adalah kunci kesuksesan seorang anak.'

Menurut sebuah kisah yang saya baca, menyebutkan bahwa kesholihan seorang anak itu berasal dari kesholihan ibu. Lihat saja, Nabi Musa meskipun berada di lingkungan kekafiran, yakni Fir'aun. Tetapi, karena dia dibesarkan oleh Siti Asyiah yang sholehah. Maka, nabi Musa menjadi Nabi utusan Allah. Hal sebaliknya pun berlaku, sesholih apapun seorang ayah seperti Nabi Nuh, bila ibu atau istrinya tidak sholihah. Maka, akan menghasilkan anak seperti Kan'an yang kafir dan tidak mau mengikuti agama yang dibawa oleh ayahnya.

Di momen hari ibu ini, saya hanya ingin berkata, "Ibu kaulah pemegang kunci bagi kesuksesan kami, anak-anakmu. Semoga kau selalu bahagia menikmati hari-harimu. Jangan lupa selalu ridloi dan doakan kami. Karena, doa dan ridlomulah yang menjadikan Allah melimpahkan ridlo dan berkah-Nya kepada kami." Selamat Hari Ibu, Emakku tersayang. (*)

#Hadiah Buat Hari Ibu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun