Karena, suami melarangnya bekerja. Atau ada alasan lain, seperti anak-anak yang masih balita, atau ada lansia yang harus diurus.
Maka, hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi beban kerja ganda bagi perempuan.
Lantaran suami merasa bahwa dirinya telah bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah. Maka, secara otomatis dia berpikir bahwa tidak ada lagi kewajibannya untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah.
Dengan demikian, ia menganggap bahwa pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci, dan mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan. Laki-laki dianggap tabu untuk melakukan semua hal tersebut.
3. Budaya patriarki yang berkembang di masyarakat.
Masyarakat kita sudah dari sejak dulu menganut paham patriarki. Budaya tersebut mengantarkan kita pada anggapan bahwa ada perbedaan perlakuan, sikap, dan juga pekerjaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Budaya patriarki telah membuat batasan yang jelas, meski tidak tertuang dalam undang-undang atau dalam hukum tertulis apapun.
Batasan tersebut berkenaan dengan pengkotak-kotakan antara pekerjaan domestik yang akan dilakukan oleh perempuan, dan pekerjaan non-domestik yakni mencari nafkah yang biasa dilakukan oleh laki-laki.
Budaya ini telah berurat dan berakar dalam jiwa masyarakat kita. Sehingga, agak sulit untuk menyadarkan laki-laki, bahwa yang harus menyapu itu bukan hanya perempuan.Â
Tapi, laki-laki pun harus bisa dan mau menyapu. Karena, yang paling utama dari pekerjaan ini adalah tujuannya, yakni agar terjaga kebersihan. Bukan pada siapa yang harus melakukannya.
4. Sub-ordinasi pada salah satu jenis kelamin.