Sepulang sekolah, dalam perjalanan rekan kerja bercerita :
Tetangga aku, anak kecil berusia lima tahun, semalam dibawa ke rumah sakit. Kata dokter, anak tersebut menderita diabetes, gula darahnya sangat tinggi. Pagi ini, dia dibawa pulang sudah tidak kuat, dia meninggal tadi pagi.
"Masa sih, bukannya diabetes itu pada umumnya menyerang orang dewasa?" Agak sedikit bergumam, saya seperti bertanya kepada diri sendiri. "Katanya sih, terlalu banyak mengkonsumsi minuman berperasa yang dijual bebas di warung-warung. Ibu kan punya anak kecil juga, ya. Hati-hati, supaya jangan terlalu banyak jajan minuman seperti itu."Â
Mendengar nasihat tersebut, saya hanya terdiam. Batin mengembara, terngiang lagi ucapan ibu warung depan rumah yang mengingatkan terkait si tengah yang selalu jajan minuman manis di warungnya, tidak tanggung-tanggung hingga dua belas cup. "Itu di warung saya, belum mungkin di warung yang lain." Kata ibu warung menegaskan.
"Saya memberitahu, karena khawatir takutnya ada efeknya bagi anak-anak." Ibu warung menutup pembicaraannya dengan bijak. Sebagai seorang ibu dengan tiga anak yang sedang dalam masa-masa 'suka jajan'. Sejujurnya, ada perasaan ketar-ketir di lubuk hati. Mengingat ternyata efek dari asupan yang mengandung pemanis ini sangat berbahaya, bahkan bisa berakibat kematian.
Muncul benjolan di bawah dagu
Belum berlalu satu minggu dari obrolan tentang dampak minuman manis tersebut. Tiba-tiba di bawah dagu si  tengah, putra laki-laki saya yang suka minuman berperisa hingga dua belas cup sehari itu, tumbuh sebuah benjolan. Pertama kali, saya menduga itu sejenis penyakit gondongan. Saya pun bertanya pada saudara yang bekerja sebagai apoteker, obat yang cocok untuk benjolan tersebut. Dua hingga tiga hari mengkonsumsi obat tersebut, benjolan bukannya kempes tapi semakin membesar dan terasa keras ketika diraba.
Saya panik dan langsung membawa si tengah ke klinik. Setelah diperiksa, dokter tidak memberikan resep obat, dia menyarankan agar saya melakukan rontgent hari itu juga dan segera membawa anak saya ke rumah sakit. Dia memberikan surat rujukan ke dokter bagian bedah syaraf.
"Ini harus secepatnya dioperasi, Bu. Karena, dalam jangka waktu tiga hari sudah tumbuh besar seperti itu." Ucapan dokter semakin menambah kekhawatiran saya semakin menjadi-jadi. Siang itu juga, saya membawa si tengah untuk dilakukan rontgent. Tidak bisa dilukiskan bagaimana kalutnya perasaan saya. Saking stresnya, saya merasa kunang-kunang dan semua badan terasa seperti bergetar hebat.Â
Apalagi, saat si tengah yang biasanya cuek, kalau sakit tidak pernah dirasa, selalu enjoy dan nenangin. Mungkin karena melihat saya, begitu pucat dan tidak banyak bicara, dia bertanya : "Penyakitku gawat, ya Ma!" Mendengar hal tersebut, air mata yang sudah saya tahan sejak pagi, buyar begitu saja seperti menemukan jalannya. Dia memeluk saya erat, "Mama, tenang saja aku tidak takut dirontgent, kok. Mama tunggu di luar saja." Ujarnya memberikan ketenangan.Â